Bab 11 Her House
Raja memperlambat mobilnya saat mendekati Rumah berpagar putih disamping kirinya. Nomor rumah yang tercetak besar di kolom pagar sudah sesuai dengan alamat yang diberikan Sei. Namun Raja masih belum yakin rumah yang tampak sederhana itu adalah rumah Sei, hingga Ceri yang barusan dikiriminya pesan keluar dari rumah dan membukakan pagar untuknya. Raja sempat khawatir tak bisa menemukan rumah Sei saat gadis itu meminta bantuannya menjemput Ceri dan orang tuanya sementara dia dan Felix menjemput Roa di bandara. Mirza sendiri masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan lain hingga tak dapat membantu untuk pagi ini. Namun pria itu berjanji akan menemui mereka di Restaurant milik Raja saat semua berkumpul di jam makan siang nanti, untuk menyambut Raja sekaligus membicarakan tentang pernikahan Roa dan Sei kepada keluarga mereka.
Raja tersenyum tanpa menyadari kaca depan mobilnya yang gelap takkan mungkin memperlihatkan senyumnya pada Ceri. Karena gadis itu langsung mengenali dirinya, Raja lupa kalau dia membuat pemandangan mobilnya tak terlihat dari luar seperti dia bisa dengan jelas melihat keluar dari dalam mobil. Pria itu hanya tersenyum geli mentertawakan kebodohannya sendiri.
“Nyampe juga, akhirnya kak!” kata Ceri saat Raja keluar dari mobilnya.
“Iya, arah yang lu kasih lebih gampang diikutin dari pada yang dikasih kakak lu.” Jelas Roa.
“Beneran sempet nyasar?”
Raja mengangguk, “Makanya tadi minta nomor lu sama Sei.”
Ceri mengangguk angguk pelan, “Ya udah kak. Masuk dulu yuk! Ibu sama papa masih pada siap siap.”
Raja mengikuti Ceri yang masuk kerumahnya lebih dulu. Diluar dugaan, setelah masuk kedalam rumah tersebut ternyata cukup besar. Meski dari luar terlihat kecil, namun ternyata ruangan tengahnya sendiri terbilang luas, dan terdapat tangga menuju ke lantai dua yang sama sekali tak akan bisa diduga ada jika hanya melihat dari luar saja. Ceri mempersilakan Raja duduk sebelum berlalu untuk memanggil orang tuanya. Dan tak lama gadis itu kembali bersama papa dan ibunya.
“Bu, Pa. ini kak Raja.” Kata Ceri.
Satu hal lagi yang diluar dugaan, orang tua Ceri ternyata terlihat masih sangat muda. Penampilan ibunya bisa diperkirakan sekitar awal 40-an dan papanya menjelang usia lima puluh. Meski pada kenyataannya Sei pernah memberi tahu usia asli mereka yang lebih dari pada itu, penilaian Raja tentang penampilan orang tua Ceri tak lantas berubah. Keduanya memang tampak masih muda dan segar bugar.
“Salam tante.” Kata Raja saat menyalami ibunya Ceri. Yang tersenyum dengan sangat Ramah menunjukan kecantikan sisa masa belianya. Ceri dan Sei yang mirip satu sama lain juga ternyata sangat mirip dengan ibunya. Ibarat duplikat yang diselang oleh dekade. “Apa kabar om?” Katanya lagi pada papanya Ceri.
“Sok, sok, duduk aja.” Kata papanya Ceri.
“Ceri, bikin minum atuh.” Kata ibunya.
“Oh, nggak usah tante, nggak usah repot repot.” Kata Raja, “Nggak usah, Cer. Nyantei aja.”
“Buru buru gitu kak?” Tanya Ceri.
“Nggak juga, tapi kalo udah pada siap, enaknya langsung pergi. Macet soalnya.”
“Oh, gitu ya?” Tanya papanya. “Padahal nggak usah dijemput segala macam. Sei ini aneh aneh aja, papa juga masih bisa nyetir sendiri kok.”
“Iya, kasihan kamu, jadi cape harus bolak balik.” Tambah ibunya.
“Nggak kok om, tante. Nggak apa apa. Raja malah lega nggak harus bolak balik Bandung-Tangerang-Bandung.” Katanya menahan seringai leganya.
“Bentar atuh kalo gitu, ibu bawa tas dulu. Ayo Cer siap siap pergi.” Kata ibunya yang menghilang dibalik pintu diikuti Ceri yang berlari kecil meniti tangga.
“Jadi, Sei pergi sendiri?” tata papanya Sei.
“Nggak kok om, Sei ditemenin sama Felix.”
“Felix?”
“Iya, temen kita juga om.”
Papanya Ceri mengangguk angguk, “Jadi kalian awalnya temen Roa, atau memang temen Sei?”
Raja sedikit bingung menanggapinya, “Roa, om. Tapi sejak mereka jalan, otomatis dengan Sei juga jadi akrab.”
“Baguslah kalau Sei bisa seflexible itu.” Kata papanya lega. “Papa nggak pernah nyangka akhirnya Sei malah dengan Roa. Jodoh itu memang aneh.”
“Kenapa gitu om?”
“Ibunya Sei dan ibunya Roa itu sahabat sejak kecil, dan sejujurnya masih ada ikatan Family dengan papanya. Papa tahu Roa sejak masih dalam pangkuan.”
Raja tersenyum simpul, “Nggak ada keraguan dong om, kalau pun mereka menikah nantinya?”
Papa menggeleng, “Semua itu Tuhan yang mengatur, Sei yang memutuskan, dan papa juga ibu hanya merestui.”
“Jadi pilihan Sei adalah pilihan om juga.”
“Nggak selamanya, orang tua kan punya penilaian sendiri. Tapi kali ini, papa tak akan menilai. Karena papa tahu, Sei punya tekad yang kuat yang diwariskan dari papa sendiri. Saat dia mengambil keputusan, dia akan bertahan hingga dia berdiri setegak tegaknya, atau pecah sehancur hancurnya. Itu juga yang papa ajarkan padanya.”
Raja mengulum senyum, “Roa yang Raja kenal juga seperti itu om. Berarti pilihan Sei memang tak salah. Mereka punya banyak persamaan.”
“Kalau begitu mereka juga akan butuh banyak perbedaan. Karena ketika dua insan bersatu dalam sebuah pernikahan, mereka tak bisa mengandalkan kesamaan. Harus ada perbedaan, dimana hal itu nantinya akan jadi pelengkap bagi kecacatan dan kekurangan satu sama lain.”
“Ayo, papa ceramah lagi ya!” kata Ceri yang sudah kembali ke ruang tengah.
“Kok ceramah, papa cuma mengobrol Cer.”
“Iya gitu, kak?”
Raja mengangguk, “Sharing biasa.”
“Ya lah. Ibu mana?” Ceri menghampiri pintu ke ruangan yang lebih dalam, “Bu….ayo pergi, kata teteh jam dua loh.”
“Iya ayo.” Kata ibunya yang telah siap menbawa tasnya.
“Ayo, om.” Kata Raja mengajak papa Ceri untuk keluar lebih dulu. Dan papanya mengikuti hingga ke mobilnya, “Mari om silakan.”
“Biar papa dibelakang saja sama ibu. Nanti bisa Ceri yang didepan.” Katanya lalu masuk ke jok belakang. “Cer, duduk didepan sama kak Raja aja. Ya!” lanjutnya.
Raja hanya tersenyum dan membukakan pintu depan untuk gadis lugu itu.
