Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 5

Cukup lama memilih dan berkat bantuan Diandra, akhirnya Helena membeli beberapa buku cerita untuk Mayra. Kini mereka menuju area food court untuk bersantai sekaligus makan siang. Setelah mendapat tempat duduk, Helena mewakili Diandra memesan makanan dan minuman untuk mereka nikmati.

“Sayang sekali Sonya dan Mayra tidak bisa ikut ya, Len,” ucap Diandra ketika Helena sudah kembali dari memesan makanan dan kini telah duduk di hadapannya.

“Sonya sibuk bekerja, sedangkan Mayra bersekolah,” jawab Helena sambil terkekeh. “Oh ya, Dee, kapan wisudamu?” tanyanya.

“Sabtu depan, Len. Selain acara wisuda, nanti juga akan ada fashion show dan pameran dari masing-masing jurusan. Aku jamin acaranya pasti seru,” beri tahu Diandra seraya menyandarkan punggungnya pada kursi yang didudukinya. “Kamu dan Sonya datang ya,” pintanya dengan penuh harapan.

Helena memberikan jempol tangan kanannya sebagai persetujuan. “Kamu sudah memberi tahu orang tuamu atau Dea untuk menghadiri acara penting itu?” tanyanya ingin tahu.

“Jika diberi tahu pun mereka pasti tidak akan menghadirinya, apalagi setelah masalah yang menimpaku,” jawab Diandra jujur. Perhatian Diandra teralih ketika mendengar ponselnya bergetar di atas meja.

“Siapa? Suamimu?” Helena bertanya sambil melihat perubahan ekspresi Diandra saat menatap ponselnya.

Diandra menggeleng. “Dea,” ucapnya. Tanpa membuang waktu ia langsung membaca pesan yang dikirimkan kakaknya tersebut. “Ia ingin bertemu,” beri tahunya setelah selesai mengetikkan balasan.

Kini giliran Helena yang mengerutkan kening mendengar pemberitahuan Diandra. “Bukannya Kakakmu masih menemani Mamamu di Singapura?”

“Entahlah,” Diandra menjawabnya dengan singkat. “Ayo, kita makan dulu. Selesai makan, antar aku ke taman yang ada di samping bangunan mall ini. Aku menyuruhnya untuk menemuiku di sana,” imbuhnya ketika melihat pramusaji menuju ke arahnya dan mengantarkan pesanan mereka masing-masing.

***

Deanita menatap ke sekeliling taman untuk mencari keberadaan adiknya. Ia mengambil ponselnya guna melihat alamat yang diberitahukan oleh adiknya tadi. Selesai membaca alamat, ia melihat Diandra sedang duduk di bangku taman sambil berbicara dengan seorang wanita. Tanpa mengulur waktu, ia pun bergegas menghampiri sang adik.

“Dee.” Interupsi Deanita membuat Diandra langsung menghentikan obrolannya dan menoleh ke sumber suara.

“Dee, aku mau berkeliling dulu,” pamit Helena saat melihat Deanita berdiri di belakang Diandra. Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan kakak beradik tersebut.

“Aku kira kamu sedang di Singapura?” Diandra langsung bertanya setelah Deanita duduk di bangku yang sebelumnya ditempati Helena. “Oh ya, bagaimana keadaan Mama?” sambungnya.

“Aku baru pulang tadi pagi, Dee. Kondisi Mama sudah membaik, dan sekarang Papa yang sedang menjaganya. Jika kondisinya terus membaik, secepatnya Mama akan kembali ke Indonesia,” beri tahu Deanita sedikit canggung.

Semenjak peristiwa kecelakaan yang dialaminya dan merenggut nyawa Wira, hubungan Deanita dengan Diandra merenggang. Bahkan, Diandra secara terang-terangan bersikap dingin padanya. “Selamat atas pernikahanmu ya, dan maaf kemarin lusa aku tidak bisa hadir,” imbuhnya sambil memaksakan senyum.

Diandra mendengkus. “Tidak perlu pura-pura bersikap tegar di hadapanku. Meski bukan paranormal, tapi aku mengetahui dengan jelas alasanmu tidak hadir. Lagi pula tidak ada yang istimewa dari pernikahan itu.”

“Bukan seperti itu, Dee. Kamu jangan salah paham dulu padaku. Aku benar-benar turut bahagia dengan pernikahanmu meski Hans itu sebelumnya kekasihku. Sebagai seorang laki-laki sejati ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya padamu,” Deanita berkilah dan membela diri.

“Oh ya, sepertinya laki-laki yang sangat mencintaimu itu akan menelan kekecewaan karena tidak menemukan keberadaanmu di Singapura.” Diandra mengabaikan ucapan kakaknya. Ia tersenyum tipis ketika melihat kebingungan Deanita atas ucapannya.

“Maksudmu Hans ke Singapura? Buat apa?” Deanita bergumam dan yakin sang adik mendengarnya.

“Yang jelas karena merindukanmu, selain ingin menjenguk Mama.” Diandra menyeringai ketika memergoki wajah Deanita memerah setelah mendengar jawabannya. “Bahkan, Mamanya pun sedang dalam penerbangan ke sana,” imbuhnya yang kembali membuat sang kakak terkejut.

“Sudah ada Papa di sana yang akan menyambut kedatangan mereka,” Deanita mencoba menanggapi serangan-serangan adiknya dengan santai.

“Tapi kasihan juga laki-laki itu, usahanya sia-sia. Sudah datang dari jauh, eh ternyata yang dicari malah ada di sini,” gumam Diandra. Ia menggelengkan kepala sambil menatap ke sekeliling taman.

“Baiklah, Dee. Seperti katamu, sebaiknya aku tidak perlu lagi menutupi perasaanku.” Deanita akhirnya menyerah atas sikap dan perkataan adiknya yang terus saja mengintimidasinya.

“Aku memang mengakui masih sakit hati atas kandasnya hubunganku dengan Hans. Aku juga belum bisa sepenuhnya menerima pernikahan kalian. Apakah salah jika aku berusaha bersikap tegar dan mencoba untuk menerimanya?” tanya Deanita dengan mata berkaca-kaca dan suara serak.

Diandra mengalihkan perhatiannya dari sekeliling taman. “Kamu melakukannya hanya agar aku berhenti membencimu kan? Bukankah kebencianku pada kalian merupakan suatu kewajaran? Mengapa aku katakan wajar, karena kamu dan laki-laki itu secara tidak langsung telah membunuh kekasihku,” cecarnya dengan nada dan tatapan menusuk.

“Aku memang ingin kamu berhenti membenciku, Dee.” Deanita memberanikan diri menatap mata Diandra yang sorotnya sangat menusuk. “Anggap saja sekarang kita sudah impas. Kamu sudah berhasil menghancurkan hubunganku dengan Hans, malah sekarang kalian telah menjadi pasangan suami istri. Asal kamu tahu, Dee, hatiku sangat sakit setiap membayangkan kalian bersama.” Deanita sudah tidak bisa membendung air matanya. Ia menumpahkan semua sesak yang mengimpit dadanya selama ini.

“Impas katamu? Selamanya tidak akan pernah ada kata impas, Deanita!” hardik Diandra yang emosinya mulai naik. “Jika kamu merasakan sakit hati setiap membayangkanku bersama laki-laki berengsek itu, bagaimana denganku? Leherku seperti tercekik ketika melihat tubuh laki-laki yang sangat peduli dan mencintaiku terbujur kaku. Hatiku sangat sakit sekaligus tercabik-cabik ketika membayangkan bajingan itu menjamah tubuhku dan memperkosaku yang tengah tidak sadarkan diri. Bahkan, napasku seakan terenggut saat mengetahui benih yang bajingan itu tanam telah berkembang di rahimku. Kamu salah besar jika berpikiran pernikahan ini menjadi penyelesaian yang tepat,” ungkapnya dengan penuh luapan emosi.

Deanita yang mendengar perkataan Diandra hanya bisa terisak.

“Sejak kecil hidupku selalu dikelilingi oleh ketidakadilan. Perlakuan yang aku terima dari orang tua kita sangat berbeda denganmu. Mereka selalu menjadikanmu prioritasnya. Sikap mereka yang tidak pernah berhenti memujimu dan selalu menuruti semua permintaanmu benar-benar membuatku muak. Untuk mendapat perhatian orang tua kita, aku terpaksa menjadi seorang anak yang pemberontak. Awalnya aku berpikir, dengan memberontak orang tua kita akan memberiku sedikit perhatian. Namun, ternyata aku salah besar. Mirisnya, saat aku mulai mengecap sedikit kebahagiaan, kamu dan kekasihmu telah merenggutnya walau secara tidak sengaja.” Dengan penuh kepiluan Diandra menceritakan beban yang sudah lama mengendap di hatinya. “Kini, masih pantaskah kamu menganggap semuanya sudah impas, hah?!” hardiknya.

Deanita yang sudah berlinang air mata langsung berdiri dan memeluk tubuh bergetar adiknya. Selama ini ia hanya fokus pada dirinya sendiri dan tidak menyadari penderitaan yang dialami Diandra. Sebagai seorang kakak, ia merasa gagal melindungi adik semata wayangnya. Bahkan, ia tidak mengetahui adiknya diperlakukan keji oleh laki-laki yang sangat dicintainya tersebut. Kini lidahnya kelu, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Yang bisa dilakukannya kini hanyalah mendekap tubuh sang adik, dengan harapan mampu memberikannya sedikit ketenangan dan kenyamanan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel