Pustaka
Bahasa Indonesia

Imperfect Partner

101.0K · Ongoing
Azuretanaya
82
Bab
6.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aksi Diandra dalam membalas ketidakadilan yang diterimanya, terutama atas kematian sang kekasih malah membuatnya terjebak pada keadaan yang tidak pernah terbayangkan.Awalnya Diandra merasa sangat puas karena tujuan utamanya dalam balas dendam tercapai. Namun, ia harus membayar mahal perbuatannya, sebab aksinya tersebut mendapat pembalasan. Bahkan, membuahkan hasil. Diandra mengandung benih dari laki-laki yang dulu menjadi kekasih sang kakak. Laki-laki yang seharusnya sangat ia benci.Di samping itu, kejadian yang menimpa Diandra ternyata menjadi pemancing terbongkarnya suatu rahasia. Rahasia besar yang selama ini disembunyikan rapat-rapat oleh keluarganya sendiri tentang dirinya. Rahasia yang selama ini membuatnya mendapat ketidakadilan dari orang tuanya, terutama sang ibu. Rahasia yang sangat menyakitkan dan meremukkan hati setelah ia mengetahuinya. Akahkah Diandra bisa menjalani kehidupan pernikahannya bersama suami yang seharusnya menjadi calon kakak iparnya?

Mengandung Diluar NikahKawin KontrakDesainerRomansaBillionairePernikahanRevengeKeluargaLove after MarriageMenyedihkan

Chapter 1

Para undangan yang silih berganti mengucapkan selamat di acara resepsi mewah pernikahannya, ternyata tidak membuat hati Diandra bahagia. Bahkan, kini ia merasa tengah berada di mimpi terburuknya. Tidak sedikit dari para undangan yang tadi memberinya ucapan selamat menatapnya menjijikkan, seolah dirinya bangkai busuk. Terutama teman-teman Hans yang mengetahui hubungan laki-laki tersebut dengan kakaknya sendiri.

Matanya berkaca-kaca ketika dari posisinya berdiri melihat kedatangan dua orang sahabatnya tengah menuju pelaminan. Tentunya untuk memberinya ucapan selamat. Air matanya semakin tidak terbendung saat salah satu wajah sahabatnya mengingatkannya pada seseorang yang sangat dicintainya. Di bagian terdalam lubuk hatinya, ia sangat merindukan laki-laki yang kini telah beristirahat dengan damai. Laki-laki yang sangat memedulikannya dan tanpa pamrih memberinya banyak cinta.

“Jangan menangis di hari bersejarahmu ini, Dee,” Sonya berbisik ketika memeluk sahabat sekaligus kekasih dari sepupunya sebelum meninggal. “Mungkin hidup ini memang sangat tidak adil untukmu, tapi kamu tetap harus memikirkan masa depan anakmu kelak,” sambungnya sambil mengelus perut Diandra dari luar gaun mewah yang dikenakan oleh sahabatnya tersebut.

“Aku merindukannya, Son,” Diandra melirih dan linangan air matanya pun sudah membasahi pipinya. “Sangat-sangat merindukannya,” ungkapnya.

Diandra mengeratkan pelukannya dan menumpahkan kehampaan hatinya kepada sang sahabat. Untung saja di pelaminan tidak ada undangan lain yang sedang antri ingin memberikan ucapan selamat.

Sonya mengusap dengan lembut punggung Diandra agar kembali tenang. Sonya memahami dengan jelas yang dirasakan Diandra, apalagi ia menjadi saksi hidup kisah cinta antara sahabat dan sepupunya tersebut. “Kak Wira pasti sangat sedih melihatmu seperti ini, Dee,” ujarnya. “Meski sangat sulit bagimu, kamu tetap harus belajar untuk mengikhlaskan kepergiannya, agar ia bisa beristirahat dengan tenang di alam keabadiannya, Dee,” sambungnya menasihati.

Di tengah isak tangisnya, Diandra mengangguk lemah. “Kapan-kapan temani aku mengunjungi tempat peristirahatannya ya, Son.”

Sonya langsung menyetujui permintaan Diandra sebelum memberikan giliran kepada Helena untuk mengucapkan selamat kepada sahabat malangnya tersebut.

Saat gilirannya tiba, Helena menghapus air mata yang membasahi pipi Diandra. Dari tadi ia ikut menitikkan air mata mendengar perbincangan kedua sahabatnya tersebut. Ia juga sama seperti kedua sahabatnya yang sangat kehilangan laki-laki sebaik Wira. “Dee, tetap kontrol emosimu demi kebaikan kesehatanmu dan janinmu,” sarannya saat memeluk wanita yang sangat berjasa terhadap kelangsungan hidup adiknya.

“Terima kasih, Len,” ucap Diandra parau sambil membalas pelukan erat Helena. “Walau aku sangat membenci laki-laki yang menanamkan benihnya di rahimku, tapi janin ini tetap tidak bersalah,” tambahnya dengan penuh tekanan.

Helena mengerti maksud perkataan Diandra. “Dee, maaf aku tidak bisa berlama-lama,” ucapnya setelah ekor matanya menyadari keberadaan seseorang yang tengah memberinya tatapan mematikan.

“Salam untuk Mayra, Len.” Diandra melambaikan tangannya setelah Helena menuruni pelaminan tanpa bersalaman terlebih dulu kepada laki-laki yang kini berstatus sebagai suaminya.

“Aku tidak menyangka jika sahabatku ini mengundang salah satu jalangku ke acara pernikahannya.”

Kalimat hinaan yang terlontar dari mulut lancang seseorang membuat Diandra mengalihkan perhatiannya.

“Aku tidak pernah mengundang jalang yang kamu maksud itu,” sangkal Hans, laki-laki yang bersanding dengan Diandra di pelaminan.

“Bagaimana perasaanmu setelah menyandang status sebagai Nyonya Narathama, Nona?” tanya Felix dengan tatapan meremehkan. “Ups salah! Bagaimana rasanya menjadi pengantin dari kekasih kakakmu sendiri, Nona?” ralatnya sambil menyeringai melihat Diandra.

“Tentu saja sangat menyenangkan dan membahagiakan, Tuan Felix Wiranatha,” jawab Diandra tenang, tanpa sedikit pun terintimidasi. Ia malah membalas seringaian laki-laki yang merupakan sahabat suaminya dengan senyuman tipis.

Tangan Felix mengepal mendengar kalimat tajamnya ditanggapi dengan tenang, meski yang Diandra tunjukkan hanyalah kebohongan. “Hans, apakah mulai sekarang aku harus menghormati wanita yang sudah menjadi istrimu ini?” Meski pertanyaannya dialamatkan kepada Hans, tapi tatapan Felix tetap mengarah pada Diandra.

“Anda tidak perlu repot-repot menghormati saya, Tuan. Lagi pula saya tidak pantas menerimanya,” Diandra menyela sebelum Hans memberikan jawabannya. Ia sama sekali tidak memudarkan senyum tipis yang menghiasi bibirnya.

“Hans, ternyata mulut istrimu ini tajam juga. Bahkan, sangat berbisa,” Felix mengadukan perkataan Diandra kepada Hans.

“Hentikan!” perintah Hans tegas dan memberikan tatapan nyalang kepada Diandra yang hendak kembali menanggapi aduan Felix.

Felix mendengkus dan menatap geram Diandra yang kini semakin lebar menarik salah satu sudut bibirnya. Ia memutuskan turun dari pelaminan dan lebih memilih untuk menikmati hidangan yang tersaji. Ia berani menjamin jika pernikahan sahabatnya akan sangat jauh dari kata harmonis dan bahagia, mengingat alasan yang mendasari mereka menikah.

***

Diandra tengah melepaskan gaun mewahnya dibantu Lavenia, gadis yang kini menjadi adik iparnya. Ia lebih dulu meninggalkan acara resepsi pernikahannya karena kakinya terasa sangat lelah berdiri, ditambah lagi dengan kondisinya yang tengah hamil muda. Setelah berganti dengan pakaian tidur dan Lavenia meninggalkannya, ia membersihkan make up yang membuat wajahnya semakin terlihat cantik.

Keinginannya untuk segera beristirahat setelah menjalani rangkaian acara pernikahan, terpaksa ditangguhkan ketika mendengar pintu utama kamarnya diketuk. Dengan enggan ia keluar kamar dan menghampiri pintu utama untuk melihat siapa yang mengetuknya.

“Silakan, Ma,” ucap Diandra sopan ketika melihat Allona–ibu mertuanya berdiri sambil tersenyum setelah pintu dibuka.

“Kedatangan Mama ke sini hanya untuk memastikan keadaanmu baik-baik saja, mengingat seharian ini kamu sudah mengikuti serangkaian acara pernikahan,” Allona memulai berbasa-basi ketika menduduki sofa di ruang tamu kamar Diandra dan Hans. Untuk kenyamanan Diandra, Allona sengaja menjadikan deluxe suite dengan dua buah kamar tidur terpisah sebagai kamar pengantin.

“Memang sangat melelahkan, tapi aku baik-baik saja, Ma,” jawab Diandra jujur.

“Dee, Mama tahu kalian menikah bukan atas dasar cinta, melainkan nyawa yang sedang berkembang di rahimmu. Namun, Mama tetap berharap pernikahan kalian langgeng hingga tua.” Allona menatap Diandra dengan sorot mata penuh keibuan. “Dee, jangan pernah memusingkan apa pun yang orang pikirkan dan bagaimana sikap mereka terhadapmu. Mereka hanyalah penonton di tengah-tengah pertunjukkan saja, tidak mengikuti alur cerita yang sebenarnya dari awal,” imbuhnya menasihati.

Diandra tersenyum mendengar nasihat ibu mertuanya. Meski wanita elegan di hadapannya ini mengetahui siapa kekasih sebenarnya sang anak, tapi beliau tidak menghakiminya. “Tenang saja, Ma. Mama tidak usah mengkhawatirkan hal seperti itu, lagi pula aku bukan tipe yang mudah terintimidasi oleh sikap orang lain,” beri tahunya.

“Baguslah jika kamu mempunyai pemikiran seperti itu, Nak. Mama lega mendengarnya. Sekarang istirahatlah, Sayang.” Allona berdiri dan memeluk menantunya sebelum kembali ke kamarnya.

Allona dan Diandra menoleh ketika mendengar pintu dibuka dari luar, yang ternyata dilakukan oleh Hans.

“Mama hanya memastikan keadaan Diandra,” ujar Allona ketika melihat putranya mengernyit.

Setelah Allona keluar, Hans langsung membanting pintu utama kamarnya dengan keras sehingga membuat Diandra yang hendak menuju kamar tidurnya terkejut. Dengan kasar Hans melepas tuxedo-nya dan melemparkannya ke sofa, sebelum memasuki kamar mandi di dalam kamar tidurnya sendiri untuk membersihkan diri.

Diandra langsung mengunci pintu setelah berada di dalam kamar tidurnya. Diandra mematikan lampu di nakas agar matanya lebih cepat terpejam, karena ia sudah sangat mengantuk dan lelah.

Di ruangan lain, Hans yang sudah selesai membersihkan diri keluar kamar mandi. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Seandainya Deanita yang bersanding dengannya di pelaminan, sudah pasti ia akan sangat bahagia, sesuai harapannya selama ini. Namun, sangat disayangkan kenyataannya sungguh berbeda. Hans berjanji tidak akan pernah memperlakukan Diandra sebagai istrinya, meski wanita itu telah resmi dinikahinya. Ia akan tetap menganggap wanita itu hanyalah orang asing yang telah lancang menjadi pengacau di kehidupannya.