Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 4

Karena semua barang-barangnya masih di rumah Helena, Diandra terpaksa mengenakan kembali pakaiannya yang kemarin malam setelah mandi. Diandra tersenyum tipis kepada Bi Harum yang menyadari kehadirannya. Kemarin malam ia tidak sempat berbasa-basi dengan wanita paruh baya yang kini tengah berkutat di dapur menyiapkan sarapan.

“Bagaimana tidurnya, Nyonya? Bibi harap nyenyak ya.” Dengan ramah Bi Harum mulai mencari bahan obrolan.

“Nyenyak, Bi,” Diandra menjawabnya tidak kalah ramah. “Bi, panggil saja aku Dee. Aku tidak pantas dipanggil Nyonya,” pintanya sebelum mengisi gelasnya dengan air putih.

Bi Harum menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Bibi tidak berani, Nyonya,” beri tahunya.

Diandra hanya mengendikkan bahu menanggapinya. “Terserah Bibi saja kalau begitu,” balasnya tidak peduli.

“Jangan marah ya, Nyonya,” Bi Harum meminta permakluman.

Diandra tersenyum kecil mendengar permintaan Bi Harum. “Kalau begitu panggil aku senyaman Bibi saja. Oh ya, Bi, aku sarapan dengan ini saja.” Ia menunjuk roti gandum utuh yang tersedia di atas meja makan ketika Bi Harum membawakannya sepiring nasi goreng. “Besok-besok tidak usah membuatkanku makanan untuk sarapan, Bi. Sekarang nasi goreng itu untuk Bibi saja,” sambungnya sambil tersenyum.

Belum sempat Bi Harum menanggapi perkataan Diandra, bel rumahnya berbunyi. “Bibi permisi, Nyonya. Mau membuka pintu dulu,” pamitnya dan langsung diangguki Diandra.

Setelah Bi Harum meninggalkannya, Diandra mulai menikmati setangkup roti gandum utuh untuk mengganjal perutnya. Ia menghentikan kegiatannya mengunyah ketika mendengar suara lembut seseorang menanyakan keberadaannya kepada Bi Harum.

“Pagi, Ma,” Diandra menyapa saat melihat kedatangan Allona.

“Pagi juga, Sayang,” balas Allona setelah duduk di hadapan menantunya. “Saya hanya sebentar, Bi,” ujarnya ketika Bi Harum ingin membuatkan minuman untuknya.

“Dee, kedatangan Mama ke sini hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja. Mama akan ke Singapura menjengguk Mamamu,” beri tahu Allona sambil mengamati reaksi Diandra.

Meski sangat kecewa terhadap perlakuan orang tuanya, tapi Diandra tidak menutup mata dengan kondisi ibunya saat ini. Apalagi ia sendiri yang menyebabkan ibunya harus mendapat perawatan seperti sekarang. “Sebenarnya aku juga ingin menjenguk beliau, tapi Papa dengan tegas melarangku menampakkan diri di hadapan Mama,” ucapnya sedih.

“Jangan berburuk sangka terhadap larangan Papamu, Dee. Mungkin maksud Papamu itu demi kebaikan kalian berdua,” Allona menasihati.

Diandra mengangguk. “Andai saja Mama tidak memohon padaku agar aku bersedia menikah dengan penanam benih di rahimku, semua ini pasti tidak pernah terjadi,” batinnya berandai-andai.

Diandra mengingat ketika Allona tiba-tiba menemuinya dan memohon padanya agar bersedia menikah dengan putranya. Bahkan, Allona sempat akan bersujud karena ia terus saja menolaknya.

“Dee, Mama berjanji akan membantumu memperbaiki hubungan dengan orang tua dan Kakakmu,” janji Allona penuh tekad sambil menatap wajah menantunya.

Diandra tersenyum tipis mendengar janji yang diucapkan ibu mertuanya. “Dari dulu hubunganku bersama mereka memang tidak harmonis, terutama dengan orang tuaku, Ma. Apalagi setelah kejadian sekarang, orang tuaku pasti lebih membenciku karena aku dengan sengaja menghancurkan jalinan kasih putri kesayangan mereka,” ungkapnya jujur. “Namun, aku tetap bersyukur Papa bersedia mengantarku menuju altar dan menjadi wali di pernikahanku, meski kehadirannya hanya sebentar,” imbuhnya.

“Tidak boleh berkata seperti itu, Dee. Sudah menjadi kewajiban Dennis sebagai orang tua untuk menghadiri pernikahan putrinya dan mendampingimu,” ujar Allona menenangkan. “Sejak dulu Mama memang lebih mengharapkanmu menjadi menantu di keluarga Narathama daripada Deanita, bukan berarti Mama tidak menyukai Kakakmu. Bahkan, mendiang suami Mama pun berniat menjodohkanmu dengan Hans dulu,” batinnya menambahkan.

“Ngomong-ngomong, Hans di mana, Dee? Apakah sudah berangkat ke kantor?” Allona kembali bersuara setelah terdiam beberapa saat. Sejak datang ia belum melihat batang hidung putranya.

“Tuan masih di kamarnya, Nyonya,” Bi Harum menyela ketika melihat Diandra menggeleng, tanda tidak mengetahui keberadaan suaminya sendiri.

Allona menghela napas. Sesuai dugaannya, anak dan menantunya menggunakan kamar terpisah. Sekarang ia memilih mengalah dan harus memaklumi keadaan mereka, tapi tidak untuk ke depannya. Di mana-mana pasangan suami istri itu seharusnya menempati kamar yang sama dan tidur seranjang.

“Dee, Mama pamit sekarang ya,” pamitnya setelah melihat jam tangannya.

“Semoga perjalanan Mama lancar dan selamat sampai di tujuan,” ujar Diandra. Ia ikut berdiri dan akan mengantar ibu mertuanya sampai di pintu.

Setelah mobil Allona menghilang dari jangkauannya, Diandra yang ingin kembali ke dalam rumah terkejut saat berpapasan dengan Hans. Karena tidak berniat menyapa laki-laki tanpa ekspresi tersebut, Diandra pun melanjutkan langkah kakinya. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus segera dibereskan, salah satunya kembali ke rumah Helena dan mengambil semua barang-barangnya.

“Ada urusan apa Mamaku datang pagi-pagi ke sini? Apa yang beliau katakan padamu?” cecar Hans tanpa berniat berbasa-basi. “Hei, aku sedang berbicara denganmu! Apakah kini mulutmu sudah tidak berfungsi?” hardiknya sambil mencekal lengan Diandra ketika pertanyaannya diabaikan.

Diandra menahan nyeri akibat cekalan tangan Hans pada lengannya. “Kedatangan beliau pagi-pagi hanya untuk berpamitan sebelum berangkat ke Singapura,” jawabnya datar. “Pertanyaanmu sudah aku jawab, jadi cepat lepaskan cekalan tanganmu! Oh ya, kamu sudah dengar sendiri kan, bahwa mulutku masih berfungsi dengan sangat baik,” sambungnya dengan tatapan tajam.

Hans langsung mengempaskan tangan Diandra dengan kasar. Tanpa membuang waktu ia langsung mengambil ponsel di saku celananya, dan meminta Ratna memesankan tiket pesawat untuk penerbangan pagi dengan tujuan Singapura. Selain itu, Hans juga menghubungi Damar, sang asisten. Ia memberi instruksi kepada asistennya agar menangani urusan kantor selama beberapa hari ke depan.

***

Setelah mengganti pakaiannya di rumah Helena, Diandra dan sahabatnya tersebut kini tengah berada di salah satu furniture retail milik keluarga Sinatra. Ia ingin membeli meja kerja minimalis untuk melengkapi kamar tidurnya. Setelah menyelesaikan pembayaran dan memberitahukan alamatnya kepada kasir, Diandra menemani Helena yang ingin mencari buku cerita untuk Mayra ke mall. Diandra juga telah menghubungi Bi Harum agar langsung membawa meja pesanannya ke kamar jika sudah datang.

“Dee, nanti biar aku saja yang mengantarmu pulang. Mending disimpan saja uang untuk ongkos taksimu,” ujar Helena setelah memarkirkan mobilnya di basement mall.

Diandra terkekeh saat melepas seatbelt. “Kalau begitu, sekalian nanti kamu bisa membantuku mengatur letak meja kerja di kamarku,” balasnya. Untuk menghemat waktu, Diandra sudah mengambil semua barang-barangnya dan kini tengah dititipkan pada bagasi mobil Helena.

“Selain bertujuan menekan biaya pengeluaranmu, aku juga ingin mengetahui alamat rumahmu, Dee,” Helena menimpali sambil tertawa kecil. “Siapa tahu nanti aku dan Sonya kangen, jadi kami bisa langsung berkunjung,” sambungnya.

Setelah memasuki mall, keduanya pun langsung menuju toko buku untuk mencari buku yang ingin dibelinya, agar mereka segera bisa beristirahat di food court.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel