Chapter 14
Setelah memastikan mobil yang ditumpangi orang tuanya meninggalkan halaman rumah, Deanita segera mencari Bi Asih dan menyuruhnya mengeluarkan barang-barang milik Diandra dari kamarnya. Tanpa sepengetahuan ibunya dan atas izin Bi Asih, ia menyembunyikan semua barang milik Diandra di kamar asisten rumah tangganya tersebut. Ia sengaja menolak ajakan ibunya yang memintanya ikut berkunjung ke rumah sang nenek.
“Bi, masukkan semuanya ke bagasi mobilku ya,” pinta Deanita kepada Bi Asih.
Bi Asih mengangguk. “Kalau boleh Bibi tahu, barang-barang milik Non Dee akan Nona mau bawa ke mana?” tanyanya penuh keberanian.
Walau Deanita dan Diandra diketahuinya selama ini tidak pernah terlibat perseteruan secara langsung, tapi Bi Asih tetap mewaspadai jika putri sulung keluarga Sinatra mempunyai niat terselubung.
“Mau aku antarkan ke rumah Dee, Bi,” Deanita menjawabnya sambil membaca pesan di ponselnya. “Bibi mencurigaiku?” tebaknya setelah mengalihkan perhatian dari ponselnya.
“Maaf, Non. Bibi tidak bermaksud ….” Bi Asih tidak melanjutkan kalimatnya karena mendengar tawa renyah Deanita.
“Bibi boleh ikut jika ingin memastikan barang-barang ini memang benar aku antarkan ke rumah Dee,” Deanita menyarankan.
“Tidak usah, Non. Bibi percaya bahwa Non Dea berbeda dengan Nyonya,” tolak Bi Asih dan merasa bersalah karena telah menaruh curiga pada Deanita. “Oh ya, Non, kemarin Tuan menanyakan keberadaan barang-barang Nona Dee kepada Bibi,” beri tahunya sekaligus mengalihkan topik.
Deanita tidak terkejut mendengarnya. Ia sudah menduga jika ayahnya akan menanyakan hal tersebut, mengingat ekspresi sedihnya ketika ibunya mengatakan telah membuang semua barang milik Diandra. Ia juga sering memergoki ayahnya memasuki kamar Diandra tanpa sepengetahuan ibunya. Bahkan, ia juga mendengar ayahnya menyalahkan diri sendiri atas semua yang menimpa keluarganya, terutama Diandra. Ia mengerti yang dirasakan ayahnya, sebagai orang tua beliau pasti merasa telah gagal mendidik dan membesarkan anaknya. Meski Diandra secara sengaja melakukan kesalahan, tapi ia tetap tidak pantas diperlakukan layaknya butiran debu oleh ibunya, yang dengan sekali tiup jejaknya akan menghilang selamanya.
“Lalu Bibi jawab apa?” Deanita penasaran dengan jawaban wanita paruh baya yang dinilainya paling peduli terhadap Diandra di rumah ini. Ia sebagai kakaknya pun merasa kalah dan malu.
“Bibi katakan dengan jujur keberadaan barang-barang milik Non Dee. Tuan hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih setelah mengetahuinya, Non,” ucap Bi Asih jujur.
“Aku rasa pemikiran Papa tidak sekejam Mama. Menurutku, Papa masih mempunyai hati nurani sebagai orang tua dalam memperlakukan Dee,” Deanita menanggapinya sambil menghela napas karena kecewa dengan sikap ibunya.
“Kita doakan saja semoga mata hati Nyonya secepatnya terbuka lebar-lebar, Non,” Bi Asih menasihati. “Seharusnya Nyonya menyadari penuh, jika semua kejadian ini dipicu oleh keegoisannya di masa lalu,” batinnya menambahkan.
“Bi, suruh pekerja yang lain membantu memasukkan barang-barang milik Dee ke mobil. Aku mau mandi dulu dan bersiap-siap,” ujar Deanita sebelum kembali memasuki rumah.
***
Tidak mau Diandra salah paham padanya, Deanita pun terpaksa meminta bantuan Lavenia agar mengantarnya ke rumah yang ditempati sang adik bersama Hans. Deanita juga meminta Lavenia agar menyembunyikan kedatangannya kepada Hans, karena tujuannya berkunjung hanya untuk mengantarkan barang-barang milik Diandra yang hendak dibuang oleh ibu mereka.
“Ve, kamu yakin Hans tidak ada di rumah?” Deanita memastikan.
Lavenia mengangguk yakin, karena saat ini masih siang hari dan pasti kakaknya itu sedang sibuk di kantor. “Hans lebih suka menghabiskan waktunya di kantor, karena ia tidak betah melihat keberadaan Dee di rumah mereka. Bahkan, saat weekend atau hari libur pun ia lebih sering berada di kediaman Narathama dibandingkan di rumahnya sendiri,” jelasnya. “Aku tidak bisa membayangkan kelangsungan rumah tangga Hans dengan Dee kelak. Sikap keduanya sama-sama dingin dan tidak ada yang mau mengalah,” sambungnya dan menggeleng-gelengkan kepala.
Deanita menghela napas mendengar penuturan Lavenia yang penuh kekhawatiran. “Aku bisa mengerti dan memahami perasaan mereka masing-masing, Ve. Meski belum pernah menikah, tapi aku yakin pernikahan tanpa cinta itu pasti sangatlah sulit dan berat,” komentarnya.
“Semoga calon keponakanku mampu melembutkan hati dan pikiran orang tuanya yang sangat keras itu,” harap Lavenia. “Dea, aku harap kelak kamu mendapatkan laki-laki yang berlipat-lipat lebih baik daripada Hans,” imbuhnya tulus dan langsung diangguki oleh Deanita.
“Ve, yang mana rumahnya?” Deanita kembali bertanya setelah memasuki blok yang diberitahukan Lavenia. Ia mengernyit karena ternyata di blok tersebut hanya terdapat beberapa rumah saja dan jarak antar rumah pun cukup berjauhan.
“Yang pintu pagarnya berwarna putih, Dea.” Lavenia menunjuk rumah Hans. “Aku harap kamu tidak terkejut, karena rumah yang mereka tempati sangat sederhana dan kecil,” beri tahunya.
“Jika malam di sini pasti sangat sepi,” tebak Deanita saat mengamati ke sekelilingnya.
Lavenia menyetujui tebakan Deanita. “Di blok ini memang sangat sepi dan rumahnya sedikit, sangat berbeda dengan di sebelah. Makanya saat Bi Harum ingin dikembalikan ke kediaman Narathama oleh Hans, Mama dengan tegas menentangnya. Mama sangat khawatir jika Dee harus tinggal di rumah ini sendirian, sementara Hans belum pulang,” ujarnya. “Dea, aku buka dulu pintu pagarnya,” lanjutnya, kemudian ia membuka pintu dan menuruni mobil.
“Meski Dee yang membuat hubunganku dengan Hans kandas, tapi bagaimanapun ia tetaplah adikku. Hans benar-benar keterlaluan dalam memperlakukannya,” gumam Deanita setelah Lavenia menuruni mobil. Ia melajukan mobilnya ketika melihat isyarat yang Lavenia berikan.
“Barang-barang Dee mau diturunkan sekarang?” Lavenia bertanya setelah Deanita turun dari mobil.
“Nanti saja, Ve,” jawab Deanita dan mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Siang, Bi,” sapa Lavenia ketika Bi Harum membuka pintu rumah, sedangkan Deanita hanya tersenyum dan mengangguk.
“Siang, Non,” balas Bi Harum. “Silakan masuk, Non,” ajaknya sedikit canggung.
Lavenia mengajak Deanita memasuki rumah. Seketika tubuh keduanya membatu saat melihat Hans yang hanya menggunakan pakaian rumahan tengah keluar dari dapur sambil membawa piring berisi irisan lemon segar. Karena saking terkejutnya, Lavenia dan Deanita tidak mampu mengeluarkan suara dari tenggorokkannya.
“Dea?” Hans beberapa kali mengucek matanya karena tidak menyangka dengan kedatangan Deanita.
“Kakak tidak ke kantor?” tanya Lavenia setelah membasahi tenggorokannya yang tadi tiba-tiba kering.
Hans hanya menggeleng menganggapi pertanyaan adiknya. “Kenapa kalian hanya berdiri di sana? Ayo, silakan duduk,” ajaknya yang lebih ditujukan kepada Deanita.
Mencegah salah paham yang bisa muncul karena situasinya kini, Lavenia mewakili Deanita memberitahukan mengenai tujuan kedatangan mereka, “Kak, keadatangan Dea ke sini hanya ingin mengantarkan barang-barang milik Dee.”
“Benar, Hans,” Deanita menimpali dan memerhatikan perubahan ekspresi Hans. “Apakah Dee sedang tidur?” tanyanya hati-hati.
“Wanita itu sedang tidak ada di rumah,” Hans menjawabnya dengan nada dingin, tanpa mengalihkan tatapannya dari Deanita.
