Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Mertua Cerewet

Tok Tok Tok

"Assalamualaikum!"

Tok Tok Tok

"Assalamualaikum, Ara!"

Tok Tok Tok

"Assalamualaikum, Ara! Kamu di mana sih?!"

Tok Tok Tok

Teriakan dan ketukan keras di daun pintu tertutup berasal dari Bu Salamah, mertua Ara, terus bergema di depan teras mencoba mencari dan memanggil keberadaan sang menantu yang tidak kunjung membuka pintu rumah.

"Ara! Di mana sih kamu?! Ya Allah, punya menantu kok budeg begini! Apa dia gak dengar saya terus teriak sedari tadi!" kesal Bu Salamah.

Dia berkacak pinggang dengan bibir merengut kesal, mencoba sekali lagi mengetuk daun pintu tertutup yang ada di depannya.

Tok Tok Tok

"Assalamualaikum, Ara!" teriak Bu Salamah sekali lagi.

"Wa'alaikum salam, Ma" jawab Ara menyahut salam ibu mertuanya, namun bukan dari dalam rumah, melainkan dari luar rumah di mana dia baru saja pulang dari warung.

Bu Salamah berbalik badan, menatap menantunya yang terlihat sedang menenteng dua kantung plastik yang dia tebak berisi sayur dan ikan.

"Mama kira kamu ada di dalam rumah, terus budeg gak denger panggilan mama sedari tadi. Oh, taunya kamu baru dari luar. Pantesan!" ujar Bu Salimah kepada menantunya.

Ara menghela nafas panjang, beristighfar di dalam hati ketika mendengar ucapan mertuanya yang begitu enteng namun menyakitkan.

Entah apa salahnya dan kurangnya sebagai menantu dari wanita paruh baya di depannya ini. Setelah menikah, seluruh hidupnya bukan hanya di baktikan kepada suaminya, namun kepada keluarga mertuanya juga. Tapi sepertinya, semua apa yang di lakukannya tidak pernah terlihat oleh keluarga mertuanya, terutama sang ibu mertua.

"Astagfirullah hal adzim, tolong kuatkan hamba ya Allah. Kak Reno, tolong jemput Ara secepatnya. Ara udah gak kuat di sini" batin Ara menghela nafas lelah.

Ara menghampiri ibu mertuanya, lalu bersalaman, mencium punggung tangan sang ibu mertua.

"Ara abis ke warung, Mah. Ara belanja sayur sama ikan untuk makan siang Mas Dimas. Katanya Mas Dimas mau makan siang di rumah" jawab Ara.

Bu Salamah mengangguk, namun dahinya sedikit mengeryit heran ketika melihat wajah menantunya dari dekat. Dia dapat melihat jika wajah menantunya terlihat begitu sembab, terutama mata Ara yang memerah seperti sehabis menangis.

"Kelahi lagi kamu sama Dimas? Ck, apa kamu sama Dimas gak bisa akur sedikit aja? Gimana Dimas mau betah di rumah kalau istrinya hobi ngajak berantem. Mungkin karena Dimas gak betah sama kamu, kamu belum hamil juga sampai sekarang!" ujar Ibu Salamah mencibir menantunya, tidak menyadari perubahan raut wajah Ara yang terkejut sekaligus pucat.

Ara menghirup nafas dalam untuk menenangkan hatinya yang di landa sakit hati akibat ucapan ibu mertuanya yang tidak berperasaan. Namun sepertinya kesabarannya lagi-lagi di uji ketika ibu mertuanya kembali membuka mulut, seakan belum puas menyakiti hatinya yang sudah tersiram air garam.

"Kalau kamu lagi kondisi kaya gitu, mending gak usah keluar rumah! Malu-maluin aja! Gimana kalau tetangga lain liat? Gimana kalau ibu warung liat terus bergosip? Nanti di kira anak saya hobi nyiksa kamu!

Araaaaa, Araaaa! Kamu ini kenapa sih, hobi banget bikin nama anak saya jelek di mata orang?! Seneng kamu ya, kalau anak saya jadi bahan gosip?!" kesal Ibu Salamah kembali mencibir sikap menantunya.

Meskipun dia melihat wajah menantunya begitu sembab, tidak ada rasa iba sama sekali di hatinya, kecuali hanya memikirkan reputasi anak laki-lakinya.

Ara memegang kantong kresek di kedua tangannya dengan erat, menghirup nafas dalam-dalam agar tidak terpengaruh oleh ucapan kejam mertuanya.

Cukup tadi pagi saja dia bertengkar dengan suaminya. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk bertengkar dengan mertuanya.

"Astagfirullah, Ma. Kok Mama ngomongnya kaya gitu? Ara gak pernah punya pikiran sedikit-pun untuk menjelek-jelekkan suami Ara sendiri. Ara emang nangis, tapi Ara nangis karena sedih denger kondisi ibu di kampung yang makin parah.

Ara mau pulang, tapi Mas Dimas gak ngizinin. Ara bingung. Ara mau liat kondisi ibu, tapi kalau Mas Dimas gak ngasih izin ke Ara untuk pulang, Ara gak bisa pergi.

Kalau bisa, Ara mau minta tolong sama Mama untuk ngomong ke Mas Dimas untuk ngizinin Ara pulang ke kampung sebentar aja untuk nengok Ibu" ujar Ara berharap ibu mertuanya bisa mengerti kondisinya, jika sang suami tidak bisa mengerti kekhawatiran yang sedang di rasakannya saat ini.

Bu Salamah mendengus."Ibu kamu itu penyakitan banget sih! Liat nih Mama yang udah tua, tapi masih sehat bugar! Udahlah, kamu ngapain sedih?! Ingat apa kata Dimas! Kalau suami kamu gak ngizinin pulang, ya kamu gak usah pulang! Jangan bangkang!

Surga istri ada di suami. Mama yakin ibu kamu cuma sakit biasa. Dimas nyuruh kamu kirim uang untuk ibu kamu berobat kan? Kalau udah di kasih uang, Mama pikir gak perlu lagi kamu datang ke kampung!" jawabnya.

"Mas Dimas cuma nyuruh kirim dua ratus ribu buat ibu...."

"Cuma, kamu bilang? Cuma?! Dua ratus ribu itu uang, Ara! Jangan nyepelein pemberian suami! Durhaka kamu! Jangan jadi istri durhaka yang kufur nikmat, Araaaaaa.

Walau cuma dua ratus ribu, itu tetap uang! Mama rasa, uang segitu udah cukup untuk nunjukin kasih sayang Dimas sama mertuanya" ujar Bu Salamah menyela ucapan menantunya.

Ara menggertakkan gigi, mencoba menahan amarah."Mama jangan keterlaluan..."ujarnya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menaikkan nada suaranya di depan ibu mertuanya.

Ibu mertuanya memang menyebalkan! Sangat menyebalkan! Tapi bukan berarti itu bisa menjadi alasan untuknya melampaui batas. Setidaknya tidak untuk saat ini.

Bu Salamah mendelik tajam menatap menantunya tidak suka."Siapa yang keterlaluan? Jangan drama, Ara! Ibu ngomong bener kok! Kamu dan keluargamu aja yang gak bisa bersyukur dengan pemberian Dimas!" jawab Bu Salamah.

Ara menutup matanya, menghela nafas kesal, lalu membuka matanya, menatap ibu mertuanya tajam."Mama, Ara mohon jaga ucapan Mama. Mama tau selama Ara menikah dengan Mas Dimas, mas Dimas gak pernah ngasih apapun sama Ara, apalagi sama keluarga Ara!

Kecuali, uang mahar di saat pernikahan, uang duka di saat kematian Abah, itu-pun cuma tiga ratus ribu! Terakhir kali mas Dimas ngasih uang untuk keluarga Ara, hanya seratus ribu pas ibu sakit sekitar tiga tahun lalu, dan dua ratus ribu waktu Mas Dimas nyuruh aku transfer tadi pagi.

Apa Mama pikir itu pantas di berikan seorang menantu dengan jabatan seorang manajer? Saudara yang lain saja, yang hanya seorang karyawan biasa, bisa memberikan uang duka lima juta karena menghargai almarhum Abah selama masih hidup.

Bukan aku ingin membandingkan suamiku, apalagi sampai aku ingin kufur nikmat dengan pemberian suamiku. Tapi selama ini, aku selalu menahannya dan tidak pernah melakukan protes apapun kepada Mas Dimas.

Sekarang, aku ingin mengatakan kepada Mama, jika aku menahan malu kepada keluargaku sendiri atas tingkah polah Mas Dimas! Mama, Mama tau walau aku gadis kampung, keluargaku bukan orang miskin! Apa Mama kira uang yang Mas Dimas kasih itu ada nilainya untuk kami? Ya Allah, Maaaa....

Kalau aja keluargaku gak ngeliat Mas Dimas sebagai suamiku, dan mereka masih menghargai aku, sejujurnya aku malu sama keluargaku sendiri melihat tingkah Mas Dimas!"

"Ara, jangan keterlaluan! Apa maksud kamu ngomong kaya gitu tentang Dimas, hah?! Kamu mau ngomong kalau Dimas itu suami yang pelit?! Berhak apa kamu ngomong kaya gitu ke anak Mama!" teriak Bu Salamah tidak terima ketika mendengar menantunya yang biasanya begitu diam dan penurut, sekarang terlihat membangkang ucapannya terlebih menjelekkan Dimas putranya.

Ara melengos ke arah lain, enggan melihat ibu mertuanya. Dia kembali menatap ibu mertuanya dengan acuh tak acuh. Sisa kemarahan masih terlihat begitu jelas di matanya, begitu juga di mata ibu mertuanya.

"Ada apa Mama ke sini? Ara sedang sibuk. Ara mau  masuk ke dalam untuk beres-beres rumah. Kalau Mama ke sini cuma buat ngajak Ara berantem, lebih baik Mama pulang" ujar Ara.

Bu Salamah melotot menatap Ara tajam."Kamu! Mama aduin kamu sama Dimas!" tunjuknya dengan jari mengacung ke wajah Ara.

Ara menghela nafas lelah."Silahkan Ma. Ara cape. Ara mau pisah dari Mas Dimas" jawabnya, lalu berjalan gontai memasuki rumahnya, meninggalkan Bu Salamah yang masih mematung di depan teras setelah mendengar ucapan menantunya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel