Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Aku Bukan Pembantu

"Ara!"

"Ara!"

"Ara! Buka pintunya!"

Tok Tok Tok

"Ar...."

Ceklek

Ucapan Dimas terhenti saat dia melihat wajah istrinya yang baru saja membuka pintu.

Dimas langsung merangsek masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya dengan kasar hingga terdengar bantingan yang begitu keras.

"Kamu udah pulang Mas?" tanya Ara terdengar acuh, namun tetap mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suaminya seperti yang biasa dia lakukan.

Dimas menghempaskan tangan istrinya begitu saja. Enggan di sentuh oleh sang istri yang sudah membuatnya dan ibunya marah.

Ara menjerit pelan ketika tangannya di hempas begitu saja dengan kasar oleh suaminya. Dia mendongak menatap suaminya.

"Kamu kenapa Mas? Kenapa baru dateng udah marah-marah?" tanya Ara berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi kepada suaminya yang pulang dalam keadaan marah. Padahal lebih dari siapapun, dialah yang paling mengetahui alasan di balik kemarahan suaminya.

Siapa lagi jika bukan karena ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu pasti sudah mengadu, hingga suaminya yang harusnya pulang saat jam makan siang, namun sudah pulang satu jam lebih cepat dari yang seharusnya.

Dimas menggertakkan gigi, menatap istrinya tajam."Apa yang kamu omongin sama Mama, sampai Mama telepon aku sambil nangis, hah?!" bentaknya kepada Ara tanpa basa basi.

Ara menghela nafas berat."Oh, itu. Aku cuma bilang mau pisah dari kamu. Aku gak tau apa yang buat Mama nangis, karena harusnya aku yang nangis setelah dengar omongan Mama yang keterlaluan tentang aku dan keluargaku, terlebih kondisi ibuku.

Mas, aku udah cape jadi istri kamu. Kamu juga gak suka aku jadi istri kamu, kan? Aku mau cerai. Mas Reno akan jemput aku untuk mengambilku kembali darimu, dan keluargamu" jawab Ara tanpa riak emosi di wajah maupun suaranya, kecuali hanya menunjukan rasa lelah yang dalam di setiap kata yang dia keluarkan.

Dimas menatap istrinya tidak percaya. Tangannya mengepal menatap Ara tajam.

"Ara! Jangan main-main dengan ucapan kamu! Kamu mau cerai, hah?! Cerai apa?! Jangan jadi istri durhaka, Ara! Apa salah aku sampai kamu mau minta cerai?!

Istri gak bersyukur kamu! Aku nafkahin kamu. Udah ngasih kamu rumah untuk tempat berlindung. Kamu tinggal ongkang-ongkang kaki di rumah, sambil nunggu hasil jerih payah aku setiap bulannya, tapi apa ini? Kamu minta cerai?! Minta cerai?! Durhaka kamu, Ara! Durhaka!

Gak ada kata cerai! Jangan mengada-ada! Apa kamu lupa bagaimana kita bisa menikah?! Tega kamu mau ngelanggar wasiat dua keluarga?! Dosa kamu! Dosa! Kamu wanita pendosa!" bentak Dimas dengan nafas tersengal, menggertakkan gigi menatap Ara nyalang.

Ara tersenyum kecut mendengar lontaran keji dari mulut suaminya. Dia mendongak menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, dan hati berdenyut sakit tidak terkira.

"Dosa, Mas? Do-dosa? A-aku wanita pendosa?" tanya Ara menatap suaminya tidak percaya dengan lelehan air mata yang membasahi kedua pipinya. Bibir dan seluruh tubuhnya bergetar. Kesedihan, amarah, kekecewaan menjadi satu.

"Ka-kalau aku berdosa, lalu kamu apa, Ma-mas?" lirih Ara menutup matanya, terisak dengan keras.

Ara mengusap air matanya kasar, mendongak memberanikan diri menatap suaminya. Bibirnya yang bergetar dengan suaranya yang tercekat, namun berusaha sekuat mungkin untuk mengatakan apa yang ada di dalam pikiran dan di rasakannya selama ini kepada suaminya.

"Kamu mengatakan aku seorang wanita pendosa, sebab kau mengira aku istri durhaka? A-aku tanya sekali lagi, lalu kau apa, Mas? Tidakkah kau berpikir bagaimana sikapmu selama ini saat menjadi seorang suami?" ujar Ara, lalu menutup matanya saat melihat mata Dimas yang semakin melotot padanya dengan teriakan kencang menggema di seluruh ruang tamu tempat tinggal mereka.

"Ara! Apa sekarang kau mencoba membalikkan keadaan?! Kau ingin mengatakan aku suami yang buruk?! Kau ingin mengatakan aku suami yang pelit seperti yang kau katakan kepada Mama?! Kau ingin mengatakan aku yang berdosa?!

Bagus! Bagus Ara! Bagus! Apa ini yang keluargamu maksud jika kau akan bisa menjadi seorang istri yang sholehah saat menikah denganku?! Sekarang, aku tanya padamu?! Di mana istri sholehah yang menjelekkan suaminya sendiri kepada orang lain, hah?! Durhaka kau, Ara! Durhaka!" bentak Dimas marah kepada istrinya hingga nafasnya tersengal.

"DIAAAAAAAAAM!" jerit Ara menutup telinganya ketika Dimas tidak berhenti menghakiminya tanpa melihat kesalahan dirinya sendiri.

Tubuh Ara luruh terduduk di lantai, terus menjerit ketika suara Dimas yang mempertanyakan kesalihannya sebagai seorang istri terus bergema di kepalanya.

"DIAM! DIAM! DIAAAAAAAM!" jerit Ara menangis keras di bawah kaki suaminya yang masih menatapnya dengan tajam.

Ara mendongak menatap suaminya dengan wajah putus asa.

"Mas, apa aku durhaka?! Apa aku durhaka?! Apa selama ini tidak ada satu-pun baktiku sebagai seorang istri yang bisa kau ingat dan hargai?! Apa tidak ada secuil kebaikan dan pengabdianku sebagai seorang istri yang bisa kau ingat?! Tidak adakah?!

Ya Allah, ya Rabb. Aku berlindung kepadamu dari suami buruk sepertimu! Aku yang menemanimu selama ini Mas! Di saat kau susah, senang, sedih, aku menemanimu selama lima tahun!

Bahkan di saat Allah memberimu ujian sakit, tubuhmu lumpuh selama satu tahun akibat kecelakaan naas itu, aku yang menemanimu! Aku yang menemanimu!

Selama ini aku yang mengurusmu siang dan malam selama lima tahun, meski kau dan keluargamu tidak pernah menghargaiku! Aku selalu menelan kata-kata pedasmu dan keluargamu, tanpa melawan!

Masih kurang-kah itu? Kau ingin aku ingatkan tentang hal yang lain lagi? Ingat ini, Mas! Aku dan keluargaku yang membiayai pengobatanmu hingga ke luar negeri agar kau bisa sembuh! Aku dan keluargaku yang menanggung biaya hidup kita selama kau tidak bekerja!

Tapi, apa yang kau katakan tentangku dan keluargaku? Aku gadis kampung? Keluargaku hanya orang kampung? Kau dan keluargamu mengatai ibuku sedang bersandiwara tentang sakitnya, agar keluargaku meminta uang padamu?

Kau bahkan hanya mampu memberi ratusan ribu! Tidak ingatkah jika kau pernah di biayai keluargaku ratusan juta untuk pengobatanmu dan biaya hidup kita selama satu tahun! Karenamu, kedua orang tuaku terpaksa harus menjual kebun mereka agar anak perempuan mereka ini tidak mempunyai suami cacat! CACAT! KAU MUNGKIN TIDAK CACAT FISIK LAGI! TAPI KAU CACAT HATI!" jerit Ara menatap tajam Dimas berurai air mata.

Dimas terhuyung ke belakang ketika mendengar kata-kata istrinya. Dia ingin membalas segala ucapan Ara, namun tidak ada satu-pun kalimat yang bisa di keluarkan oleh mulutnya.

"A-ra" ujar Dimas terbata.

"Mas, apa aku pernah meminta uang padamu? Memberi nafkah sandang, pangan dan papan adalah sebuah kewajibanmu sebagai seorang suami! Kau mau berhitung denganku? Kau ingin mengatakan aku tidak melakukan apapun? Mari kita berhitung? Baiklah, maka dengarkan apa yang aku sudah lakukan selama ini saat menjadi istrimu!

Baju yang kau pakai, makanan yang kau telan, rumah yang selalu bersih. Bukan, bukan hanya kau, tapi keluargamu. Makanan yang mereka telan, rumah dan pakaian bersih yang mereka pakai dan tempati, kau pikir itu semua dari mana, hah?! Aku! Aku yang melakukan itu semua! Aku yang melakukan pekerjaan itu semua! Kau pikir semua itu terjadi karena hembusan angin?! Aku, Mas! Aku istrimu yang melakukan itu semua!

Aku yang membersihkan, memasak, dan mencucinya untuk kalian semua! Bahkan uang nafkahku sebagai istrimu, semua di ambil oleh Mamamu! Masih kurangkah semua yang aku lakukan sampai saat ini? Masih durhaka-kah aku setelah apa yang terjadi padaku? Aku bahkan tidak mengeluh sebelumnya!" sentak Ara ketika melihat suaminya diam saja.

Dimas mengerjapkan mata ketika melihat wajah sedih istrinya. Bukannya iba, hatinya yang di penuhi ego, berbalik menatap istrinya tajam. Tangannya mengepal erat."Apa kau mencoba mengungkit kebaikan yang telah kau lakukan? Apa yang sudah kau lakukan adalah tugas seorang istri! Jadi wajar jika...."

"Apanya yang wajar?! Aku ini seorang istri! Bukan pembantu! KAU DAN KELUARGAMU BAHKAN MEMPERLAKUKAN AKU LEBIH BURUK DARI PEMBANTU!" jerit Ara menghentikan ucapan Dimas yang kini berdiri mematung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel