Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Apa Boleh Jadi Janda?

"Apa kamu mau nunggu sampai ibu gak ada, baru kamu mau pulang Ra! Ibu terus nanyain kamu dan kondisi ibu bener-bener lagi gak sehat. Tega kamu gak mau dateng buat jenguk ibu!" terdengar suara keras penuh kekesalan dari sebrang telepon, dari seorang pria yang geram ketika mendengar ucapan adiknya yang tidak bisa datang untuk menjenguk ibu mereka, terlebih ibu hanya tinggal satu-satunya orang tua yang mereka miliki.

Dia tidak akan semarah ini jika ibunya sedang tidak kritis. Dia takut jika adik perempuannya tidak sempat melihat ibunya untuk terakhir kali, begitu juga sebaliknya. Ibunya sangat ingin bertemu dengan Ara dan terus memanggil anak perempuan satu-satunya, di keluarganya.

Betapa kesalnya dia ketika berharap adik perempuannya itu bisa datang ke desa menjenguk sang ibu, namun adiknya mengatakan tidak bisa datang. Dia merasa untuk kali ini, Ara sudah keterlaluan setelah berkali-kali membatalkan janji temu untuk menjenguk ibu mereka.

Ara menangis tersedu di tempatnya."Mas, aku bukan enggak mau datang..." ucapannya terhenti, tenggorokannya seakan tercekat ketika ingin melanjutkan ucapannya kembali."Mas, aku juga mau jenguk ibu. Ta-tapi mas Dimas.."

"Suamimu itu tidak mengizinkan lagi?!" ucap Reno kesal, seolah bisa menebak apa yang akan dikatakan adiknya selanjutnya.

Wajah Ara tertunduk sedih, juga malu ketika mendengar ucapan kakak sulungnya."Ara u-udah jadi seorang istri, Mas. Ara harus nurut sama suami" lirihnya.

Terdengar suara helaan nafas kasar dari sebrang telepon."Ini yang mas gak suka sama yang namanya jodoh-perjodohan! Mas udah bilang sama almarhum Abah untuk membatalkan perjodohan kamu sama Dimas! Toh, gak semua wasiat harus di jalankan jika bukan sebuah syariat yang mutlak!

Sekarang lihat kan?! Suami kamu itu semena-mena memperlakukan kamu! Apasih bagusnya si Dimas itu?! Kaya? Keluarga kita juga udah bisa di katakan lebih dari mampu, meski cuma orang desa. Ganteng? Toh, bukan dia satu-satunya laki-laki ganteng di dunia ini! Pemuda di desa di sini juga banyak yang ganteng, tinggal di permak dikit aja!

Astagfirullah. Gara-gara suami kamu, mas hampir aja kedengeran kaya orang sombong. Suami kamu itu bener-bener yah! Apa dia gak punya rasa simpati sama ibu mertuanya sendiri?! Kamu mau jenguk ibu kandung kamu yang sakit aja gak di izinin! Apa suami kamu itu..., ya Allah, Ara!

Kalau aja mas gak inget nasehat Abah tentang rumah tangga. Kalau aja mas gak inget soal agama, demi Allah mas mau nyeret kamu pulang dan suruh kamu bercerai dari suami kaya Dimas! Mas, gak rela adik mas menderita gara-gara nikah sama laki-laki modelan suami kamu itu! Astagfirullah, maafkan hamba ya Allah!" geram Reno mengusap wajah kasar mengingat nasib adiknya.

Wajah Ara semakin tertunduk dalam, dengan bibir yang semakin bergetar."Ma-maafin Ara, Mas" lirihnya terisak pelan."A-ara, hiks. Ara gak bisa pulang jenguk Ibu. Maafin Ara" ujarnya semakin menangis.

Reno menggertakkan gigi kesal ketika mendengar adiknya menangis. Kemarahan di hatinya hilang dalam sekejap, ketika mendengar kesedihan adiknya. Namun kemarahannya kembali membuncah, ketika mengingat tingkah adik iparnya yang tidak pernah menghargai adiknya maupun keluarganya.

Meskipun Ara tidak pernah mengatakan apapun kepadanya, namun sebagai kakak yang memiliki ikatan batin, juga dapat melihat tingkah Dimas setiap kali mereka bertemu di acara keluarga, dia tau ada yang salah dari sikap adik iparnya meskipun Dimas selalu menutupinya dengan berpura-pura bersikap baik selama ini.

Jika Dimas seorang pria, maka diapun seorang pria. Dirinya lebih peka dan jeli ketika melihat seorang pria yang bertabiat buruk, mencoba menutupi keburukannya.

Tidak seperti wanita yang selalu memakai perasaan, namun perasaan itu terkadang memberikan kesan bias hingga pria jelek sekalipun akan terlihat baik di mata wanita, apalagi jika sang pria pandai bermanipulasi.

Reno menghela nafas kasar."Ara, apa kamu bahagia menikah dengan Dimas?" tanyanya, lalu tidak lama merutuki dirinya sendiri, ketika menyadari sebuah pertanyaan konyol keluar dari mulutnya, yang sebenarnya sudah dengan jelas dia mengetahui jawabannya.

Terdengar hening selama beberapa saat di sebrang telepon, kecuali hanya isak tangis yang memecah keheningan di antara kedua kakak adik yang sedang berada di tempat berjauhan itu.

"Mas, kalau Ara jadi janda, apa Mas dan yang lainnya masih mau menerima dan mau menampung Ara kembali, jika Ara pulang ke rumah?" lirih Ara bertanya kembali kepada kakak sulungnya dengan bibir bergetar menahan rasa pahit yang membanjiri hatinya.

Reno menghirup nafas dalam ketika mendengar pertanyaan adiknya. Dia tau pasti pernikahan adiknya tidak bahagia. Mungkin tidak akan pernah bahagia jika sikap Dimas tidak berubah.

"Sampai kapanpun kamu akan selalu menjadi adik, kakak, dan anak dari Abah serta Ibu. Kamu akan tetap menjadi bagian dari keluarga kami, baik sudah menikah maupun bercerai. Sebelum menikah, perempuan adalah milik ayahnya.

Setelah menikah, perempuan menjadi milik suaminya. Bahkan bakti seorang perempuan harus lebih mendahulukan suaminya daripada keluarganya. Setelah bercerai, perempuan akan kembali menjadi tanggung jawab ayahnya dan saudara laki-lakinya.

Ara, kakak tau kalau seorang perempuan harus berbakti dan memprioritaskan suaminya. Tapi, kalau suami kamu dzolim dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai seorang suami, kalau kamu gak kuat, kamu bisa kembali ke rumah.

Kakak masih sanggup menanggung biaya hidup kamu sampai kamu menemukan kebahagiaan yang baru. Adik, kakak yang perempuan cuma kamu satu-satunya.

Kalau bukan kakak yang ngelindungin kamu, mau siapa lagi? Abah udah gak ada. Walaupun Bima udah gede, dia masih remaja dan belum bisa bertanggung jawab untuk masalah seperti ini. Ara, kalau kamu gak kuat, kamu boleh pulang" jawab Reno mendongakan wajahnya ke atas, agar air matanya tidak tumpah ketika mendengar suara tangis pilu dari adik perempuannya.

"Ara mau pulang, kak. Ara mau pulang! Hiks" jerit Ara menangis pilu ketika mendengar jawaban dari mulut kakaknya yang seakan membawa angin segar akan kehampaan dan kekecewaan hatinya ketika terus memilih bertahan hidup dengan suaminya yang begitu menyiksa batinnya.

Selama ini, kesusahan dan kegundahan hatinya dia pendam sendiri, karena takut jika dia memutuskan untuk meminta berpisah dari suaminya, keluarganya akan menentang.

Bagaimana-pun orang-orang di desanya masih memiliki stigma negatif, jika ada seorang wanita yang pulang dengan membawa status janda.

Dia tidak ingin dirinya maupun keluarganya mendapatkan stigma negatif ketika dia membawa status itu ketika kembali ke desa. Namun, perlakuan suaminya dan keluarga mertuanya yang semakin menjadi-jadi setiap harinya, membuat dia terus memilih bertahan meskipun batinnya begitu tersiksa.

Dan sekarang, dia tidak kuat lagi menahan siksaan batin itu semua. Terlebih ketika mendengar ibunya sedang kritis, namun Dimas suaminya memilih tidak percaya, dan berpikir apa yang di katakannya hanya sebuah alasan untuk mangkir dari tanggung jawab sebagai seorang istri dan menantu.

"Ara mau pulang, kak! Ara gak kuat! Hiks" ujar Ara terisak kencang.

"Pulanglah Ara. Kamu bisa pulang. Rumah kita selalu terbuka untuk kamu. Jangan pikirin apa kata orang. Jangan pikirin apa kata keluarga yang lain. Kamu adik kakak! Anak Abah dan ibu! Kamu, kakak perempuan dari Bima!

Selain itu, kamu gak perlu dengerin apa kata orang! Kakak dan Bima masih bisa ngelindungin dan bahagiain kamu, kalau Dimas gak bisa lakuin itu sebagai seorang suami" jawab Reno.

"Tunggu kakak, Ara. Kakak yang akan membawa kamu pulang ke rumah kita. Kamu dibawa dengan hormat oleh keluarga suamimu saat memasuki rumah mereka, maka kakak juga akan membawa kamu pulang dengan hormat yang sama seperti saat kita menyerahkanmu kepada mereka!" tegas Reno.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel