MENCARI INFORMASI
Aku tak pernah menanyakan berapa bayarannya. Aku percaya kepadanya seratus persen, karena bagiku kepercayaan adalah segalanya. Jika rumah tangga dibangun dengan kepercayaan. Maka akan terhalang oleh bencana, tapi sekarang kepercayaan yang aku bangun kandas oleh sebuah foto preweding.
Lagi-lagi aku tak mampu menahan tangisku. Aku izin kepada Bang Adnan untuk ke toilet meloloskan air mataku yang tak tahan ingin menampakan dirinya kepada dunia. Memberitahukan kepedihan dalam hatiku.
"Bang, aku ke toilet sebentar, ya?"
Bang Adnan hanya mengangguk, kupercepat langkahku menuju toilet. Sampai di sana kucari toilet yang kosong. Aku menutup pintu dengan cepat. Menangis dengan suara tertahan, tak ingin orang lain mendengar suara isakanku dan mengetahui seorang istri ustad terkenal tengah menangis di toilet, Hingga aib keluargaku akan diburu media masa. Naudzubillah.
Setelah lega menumpahkan air mata kepedihan, aku merapikan kembali make upku yang berantakan tanpa keluar dari toilet. Aku harus tetap tersenyum agar Bang Adnan tak curiga. Setelah menata hati, dan emosiku stabil aku keluar menemui Bang Adnan. Kutepuk pundaknya. Ia buru-buru memasukan sesuatu dalam jasnya, aku tak tau apa itu.
"Apa itu, Bang?" tanyaku dengan curiga.
"Oh, tadi hanya nota. Ayo, kita makan dulu? Nanti baru membeli keperluan Zain," ia menjawab dengan gugup.
Aku menyipitkan mataku, kemudian tersenyum dan mengangguk. Aku tak sepolos yang kamu pikirkan bang, nanti akan aku cari tahu. Bukan aku sekarang tak percaya dengan suamiku, tetapi aku sekarang lebih percaya hatiku.
Mobil kembali melaju menuju ke sebuah warung pinggir jalan. Ya, warung nasi padang di pinggir jalan. Bang Adnan tahu jika aku akan suka diajak makan di pinggir jalan daripada di resto mewah.
"Ya ampun, ini kan Ustad Adnan, yang terkenal itu, kan?"
Bang Adnan tersenyum akupun ikut tersenyum.
"Aslinya lebih ganteng loh, Pak Ustad. Istrinya juga Cantik. Saya kira tadi adiknya, masih muda sekali. Saya suka nonton ceramahnya bapak dan dengerin murotal qur'anya."
"Alhamdulillah, terimakasih, Bu"
"Mau pesan apa, Pak Ustad? Ibu, mau pesan apa?"
"Saya minta lauk ayam bakar aja, Bu. Sekalian dibungkus dua, ya? Abang pesan apa?"
"Samain aja lah, Dik."
"Bu, nasinya jadiin satu piring saja," pinta Bang Adnan kepada ibu tersebut.
Ibu penjual mengangguk dan segera mengambil pesanan kami.
Bang Adnan selalu minta makan satu piring denganku, ketika hanya kami berdua ia sering meminta suap kepadaku. Sungguh romantis, tapi sayang sekarang itu tak terasa manis.
"Romantis sekali, Pak Ustad, ya. Makannya sepiring berdua."
"Makan sepiring berdua bisa menjalin kebersamaan, Bu."
Bang Adnan menjawab sambil tersenyum akupun hanya tersenyum.
Selesai mengisi perut. Kami menuju sebuah mall besar di kota Jakarta, aku hendak membelikan keperluan untuk Zain. Kurang lebih 15 menit kami sampai di mall tersebut. Bang Adnan menggandengku masuk. Aku menurutinya.
Kemudian aku mengajaknya membeli baju untuk Zain dan Zafran, tak lupa juga untuk Ibu Mertua. Setelah dirasa cukup, aku mengajak Bang Adnan pulang, sudah dua jam kami meninggalkan anak-anak.
Sampai rumah kulihat Zain tengah menggendong adiknya sambil bersolawat di halaman rumah. Aku berharap kelak ia tak seperti abinya apapun itu alasannya.
Kuketuk pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikum."
"Walaikum sallam, Abi, Umi."
Aku meraih Zafran dari gendongan Zain, kemudian Zain meraih tangan abinya untuk dicium bergantian denganku.
"Apakah adik Zafran rewel, Bang Zain?"
"Tidak, Umi, hanya sedikit tidak sabar minta susu."
Aku tersenyum mendengar perkataan Zain.
Bang Adnan sudah masuk kedalam hendak menyiapkan makanan untuk Zain yang tadi aku beli. Ini kesempatanku untuk bertanya kepada Zain apa yang ia ketahui.
"Zain, tadi pagi mau bicara apa sama Umi?"
"Duduk dulu, Mi?"
Aku melangkah mengikuti Zain, kami duduk di kursi halaman rumah. Di halaman rumah kami ada kursi yang ditaruh di bawah bunga Bougenville berwarna ungu kesukaanku. Bunga itu sudah tumbuh selama sepuluh tahun, dulu aku yang menanamnya ketika baru sampai di sini. Seperti bunga sakura dia hanya berbunga. Daunya tak banyak, aku suka memandanginya ketika musim gugur seperti ditabur bunga. Tak jarang aku membiarkannya begitu saja tanpa membersihkan bunga-bunga yang berjatuhan.
Zain memegang tanganku pandanganya menunduk.
"Ada apa, Nak? Berkata jujurlah dengan Umi, bukankah Umi mengajarimu untuk mengutamakan kejujuran?"
"Tapi Umi, bukankan Nabi Muhammad bersabda berbohong diperbolehkan jika itu menyangkut ridho istri?"
"Nak, kamu harus banyak belajar. Jika itu tak menyangkut masa depan orang lain dan sudah selesai sampai di situ tanpa menimbulkan kedustaan yang lain. Mungkin, itu diperbolehkan. Terlebih itu untuk tujuan yang mulia, tapi apakah kebohongan yang Zain sembunyikan kelak akan membuat orang lain tidak terluka hingga menimbulkan banyak bencana yang berakibat fatal?"
Zain menatapku, Air matanya mengalir, ada penyesalan di matanya, aku tau dia menyembunyikan sesuatu yang besar.
"Maafkan Zain, Umi?"
Aku memegang pipinya, mencoba bicara dengan penuh perasaan agar hatinya terbuka.
"Jika kebenaran yang akan Zain sampaikan menyakiti hati Umi, lebih baik Zain katakan sekarang. Jangan sampai Umi terlampau sakit hati hingga tak ada lagi maaf."
Zain kembali menunduk. Ia berucap lirih,
"Sebenarnya tiga tahun lalu saat Zain cuti dan menginap di rumah nenek, Zain mendengar pertengkaran abi dan nenek, abi-"
" Zain, makan dulu!"
Belum selesai Zain bicara Bang Adnan dengan senyumnya yang mengambang membawakan sepiring nasi untuk Zain dan sebungkus cemilan untukku. Aku buru-buru mengusap air mata Zain.
"Wah, nasi padang. Rindu sekali rasanya makan nasi padang. Terimakasih, Bi."
"Makanlah, Nak."
Aku menatap Zain makan dengan lahapnya. Seperti baru kemarin ia aku ajak mengantar pesanan dengan sepeda ontel tua kami. Sekarang ia sudah tumbuh dewasa.
"Zain, besok di pesantren berapa hari, Nak?" tanya Bang Adnan ketika Zain telah menyelesaikan makanya.
"Sekitar dua pekan, Bi. Zain di sana hanya mengurus perpisahan dan sedikit acara untuk pelepasan santri-santri yang hendak pindah dari sana."
"Abi mungkin tiga pekan di Jogjakarta, jadi tidak bisa menjemput Zain, lusa."
"Tidak apa-apa, Bang. Biar Umi saja yang menjemput Zain."
"Kenapa Abi lama sekali?"
"Ada tiga majelis yang menginginkan abi berceramah di sana, Zain. Belum lagi acara santunan dan acara qotmil qur'an untuk pesantren-pesantren di sana, kalau bolak balik capek di jalan."
"Oh, yang penting ingat umi saja, Bi."
Aku mencubit hidung Zain. Kemudian ia tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi itu.
"Di mana pun Abi selalu ingat umi." Bang Adnan memegang lembut pipiku.
"Jika ingat dengan Allah, abi pasti ingat dengan Umi, Zain."
Aku tersenyum melirik Bang Adnan yang tampak gugup dan membenarkan kancing bajunya.
"Umi akan menidurkan Zafran dulu, ya? Lepas ini nanti Umi bantu Zain, Beres-beres keperluan besok."
"Siap, Nyonya."
Zain memberikan hormat kepadaku dan membungkukkan badanya seperti seorang tentara memberi hormat kepada pimpinannya, sepertinya Zain tau jika sekarang ia harus sering membuatku tersenyum.
Aku berlahan meninggalkan Bang Adnan dan Zain mereka tampak bercanda dan tertawa bersama. Jika orang tak tau luka hatiku keluarga kami dilihat cukup bahagia dan harmonis.
