Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

RAIHAN MIRIP ABI

Kulantunkan sholawat untuk Zafran yang sudah tak mampu menahan kantuk. Matanya sudah hampir terlelap, tapi mulutnya masih saja mengoceh membuat aku gemas.

Setelah Zafran tertidur kubuka koper Zain mulai kumasukan bajunya. Tak begitu banyak yang penting cukup untuk dua pekan.

"Umi, sudah siap adik tertidur?" Zain bertanya dari balik pintu.

Aku sudah mengajari batasan untuk Zain ketika ia berumur tujuh tahun sehingga ia sedikit tau tentang adab ibu dan anak.

"Masuklah, Sayang."

Zain masuk dengan membawa susu, pintu tak ia tutup. Dia tau meskipun aku uminya, tapi ia tak ingin berdua denganku dalam ruangan tertutup kecuali dalam keadaan mendesak.

"Zain bawakan susu, abi yang membuat."

"Di mana abi, Nak?

"Ia sedang mandi, Mi"

"Zain, lanjutkan lagi ceritamu tadi."

"Tapi, Umi. Tak bisakah kita tidak usah membahasnya lagi? Lagian semua sekarang baik-baik saja?"

Kutatap mata Zain dalam-dalam, mencoba mencari sebuah bentuk belas kasih di sana.

"Zain, tak bisakah kamu lihat mata Umi? Umi akan semakin terluka jika itu orang lain yang memberi tahu Umi."

"Baiklah, jadi sebenarnya waktu itu-"

"Zain, Umi, Ayo shalat jama'ah dulu,"

suara Bang Adnan memanggil kami dari ruang shalat yang berada di sebelah kamar Zain dan Zafran.

Lagi-lagi usahaku untuk mengorek informasi gagal, sepertinya aku harus mencari tahunya sendiri.

Aku hendak keluar tapi Zain memegang tanganku.

"Umi, sabarlah sebentar, jika Allah sudah meridhoi Umi akan tau sendiri. Zain hanya tak ingin Umi menderita dan menangis ketika Zain tak ada di samping Umi," ucap Zain.

Aku hanya tersenyum dan meninggalkan Zain.

"Aku mandi dulu, Bang. Tunggulah sebentar."

Aku masuk ke dalam kamar. Aku teringat jaz Bang Adnan yang ia kenakan tadi, kucari di mana ia menaruhnya? Oh, rupanya ada di gantungan belakang pintu. Aku mengambil jaz tersebut dan memeriksa semua sakunya. Kosong, hanya selembar nota perhiasan tadi.

"Apa aku terlalu parno hingga semua tentang Bang Adnan aku merasa curiga?"

aku bergumam lirih.

Ah, entahlah. Aku kembali melangkah ke kamar mandi tak ingin menunda lagi waktu sholatku.

Setelah selesai membersihkan diri aku menyusul Bang Adnan ke ruang shalat kami, kudengar lantunan murotal qur'an dari Bang Adnan dan Zain. Ya Allah, izinkan kami meraih surga bersama, jika waktu dapat diputar aku berharap tak ada penghianatan dalam keluarga kami.

Aku mengambil mukenah dan bersiap memakainya. Bang Adnan juga Zain menghentikan bacaan qur'annya dan bersiap mengambil posisi untuk sholat berjama'ah.

Selesai sholat aku putuskan untuk menyiapkan keperluan Bang Adnan besok, sementara Bang Adnan masih berada di ruang shalat merekam Zain yang tengah bersholawat merdu.

Zain dari kecil memiliki suara yang bagus. Sudah banyak tropi yang ia bawa pulang atau ia persembahkan untuk pesantrennya dari suara- suara emasnya itu. Tak jarang ia sering mendapat bingkisan hadiah dari penggemarnya, terkadang ia menyumbangkan untuk anak yatim. Kalau dipikir apa yang kurang dariku, anak saleh sudah aku berikan dengan didikan keras aku membentuk mentalnya, tetapi bagi Bang Adnan aku belum cukup hingga ia harus menghianatiku.

Aku mengambil koper Bang Adnan dan membersihkan dalamnya ingin melihat kembali foto dan tiket tersebut. Namun, sudah tidak ada yang aku temukan. Justru satu buah kotak cincin dan notanya.

"Cincin untuk siapa?"

Aku mengamatinya. Berbentuk sama dengan milikku

Aku memasukanya kembali saat kudengar langkah kaki dan suara tawa Zain dan Bang Adnan dari luar.

"Sedang apa, Dik?"

"Mau mempersiapkan baju Abang. Untuk besok."

"Tidak usah, nanti biar Abang siapkan sendiri. Ayo, kita keluar saja menemani Zain, tinggal hari ini Zain dirumah."

"Tapi koper Abang belum dibersihkan."

Aku pura-pura tidak tau apapun isi di dalamnya.

"Tidak apa-apa, nanti abang bawa yang kecil saja."

"Oo, baiklah, ayo."

Aku menutup kembali koper Bang Adnan dan menaruhnya di pinggir lemari kemudian mengikuti Bang Adnan keluar.

Saat berjalan hendak ke bawah kudengar Zafran menangis, aku kembali kekamar Zafran diikuti Bang Adnan.

"Biar abang saja yang gendong, Zafran dari tadi belum digendong Abi, ya?"

Bang Adnan mengambil Zafran dari boxnya kemudian membawanya turun memyusul Zain yang sudah berada di ruang TV. Kuperhatikan Bang Adnan yang tengah bermain dengan Zain dan Zafran dari tadi ia tak memegang ponselnya.

Ponselnya masih berada di atas meja riasku bersama ponselku. Bagaimana selama ini aku bisa curiga sedangkan tak ada perubahan pada dirinya. Dia masih hangat seperti dulu, menjadi seorang lelaki yang penuh perhatian. Siapa dalang ini semua? Apakah ibu?

.....

Kami bercanda ria hingga sore. Aku harus ikut tersenyum menutupi perasaanku yang sakit ini, tak apa ini demi anakku dan juga membongkar siapa yang ikut menutupi semuanya.

Ketika tengah asyik mengobrol ibu datang bersama Mbak Zahra juga Raihan anak angkatnya yang baru berumur dua tahun.

"Assalamualaikum?" ibu dan Mbak Zahra mengucap salam.

"Walaikum sallam," kami menjawab salam bersama.

"Biar Abang buka."

Bang Adnan membukakan pintu untuk ibu, aku tetap duduk diruang TV bersama Zain.

"Wah, keponakan ganteng Abi." Bang Adnan mengambil Raihan dari gendongan Mbak Zahra.

Memang Bang Adnan membiasakan keponakannya itu dengan sebutan abi. Ibu bilang kasihan ia tak punya Ayah sementara suami Mbak Zahra yang seorang pelaut pulangnya setahun sekali. Aku sih tak peduli, terserah saja yang penting tidak mengusikku.

"Kok, Raihan mirip Abi, ya?"

"Uhukkk uhuuuk."

Pertanyaan Zain membuat Bang Adnan yang sedang minum tersedak.

"Kenapa, Bang? Kalau minum pelan-pelan."

"Kamu ini Zain, ada-ada aja. Mana ada Raihan mirip abimu?"

"Tapi kalau dilihat-lihat memang benar loh, Mbak. Tahi lalatnya, alisnya, juga bibirnya mirip Bang Adnan?"

Aku mulai memperhatikan Raihan.

"Halah, kamu ini bilang aja gk suka anakku dekat dengan Adnan!"

"Loh, tante kenapa kesal? Kan, Umi cuma memberikan pendapat,"

Zain mulai membelaku.

"Sudah... sudah! Begini saja jadi ribut!"

Bang Adnan menengahi perseteruan kami.

"Ini minum teh dulu, Bu."

Aku meberikan teh kepada ibu dan mbak Zahra.

Ibu hanya tersenyum sinis sama saja seperti Mbak Zahra

"Ada apa, Bu? Tumben sekali ke sini?"

tanya Bang Adnan, karena memang ibu tak pernah ke sini karena membenciku. Dia biasa ke sini jika rindu dengan Zain saja.

"Besok kamu ke Jogja, Nan? Ibu ikut, ya?"

"Untuk apa ibu ikut?"

"Ibu Rindu sama.. Em, ibu ada janji dengan teman ibu yang lama. Kan, lumayan kalo sama kamu gak bawa mobil sendiri, mbakmu mana mau."

"Sama Mbak Zahra dan Raihan juga?"

"Ya, iya lah, Nan, Mbak juga kan pengen jalan-jalan."

"Terserahlah."

Ibu tersenyum gembira begitu juga dengan Mbak Zahra.

Aku tidak tau kenapa mereka masih membenciku padalah kami tak semiskin dulu. Aku pun sudah berusaha sekuat tenagaku membahagiakan mereka, tetapi tidak ada benarnya. Jika aku tak memberi aku tak pernah dipandang oleh mereka.

"Ini aku tadi belikan baju untuk ibu dan tas untuk Mbak Zahra."

Aku menyodorkan sebuah bingkisan untuk mereka.

"Waaaah, gitu dong nyenengin orang tua."

Aku hanya tersenyum. Ibu dan Mbak Zahra membukanya, mereka tampak kegirangan.

"Makasih ya, Kinan. Ibu pulang dulu mau siap-siap biar besok pagi gak repot. Zain besok juga berangkat, ya? Cucu pintar Nenek."

Ibu memeluk Zain dan mengacak rambutnya.

"Iya, Nek. Cuma dua pekan, lepas itu berangkat ke Kairo."

"Alhamdulilah, Sudah besar cucu Nenek. Nenek pamit, ya?"

Zain mengambil tangan ibu dan Mbak Zahra kemudian menciumnya, kami mengantar sampai teras.

Malam ini aku tak bisa tidur membayangkan tiket yang ada di koper Bang Adnan. Haruskah aku mengikutinya?

Aku mengotak atik ponsel. Mencari nama temanku dan bertanya pendapatnya melalui media sosial, kemudian memesan tiket yang sama dengan Bang Adnan melalu penjualan tiket online. Aku sudah memutuskan untuk mengikutinya, hanya mengikutinya pikirku. Dengan tergesa aku menutup ponselku saat Bang Adnan masuk kekamar.

"Sudah tidur Zafran, Bang?"

Bang Adnan yang nenidurkan Zafran tadi, dia selalu seperti itu jika hendak berpergian.

"Sudah, Dik."

Bang Adnan masih memandangiku yang masih setia berada di depan cermin meja rias.

"Ada apa, Bang?"

"Abang rindu, Dik?"

Memang setelah melahirkan Zafran hingga dua bulan aku belum memberikan hak Bang Adnan.

"Tunggulah Abang pulang dari Jogja."

Aku tersenyum manja kepada Bang Adnan, ini adalah jurus andalanku jika meminta atau menolak sesuatu dari Bang Adnan.

Maafkan aku, ya Allah. Jika aku berdosa. Sungguh aku ingin memastikan terlebih dahulu ada apa dibalik ini semua.

Bang Adnan menghembuskan nafasnya, kemudian memelukku dari belakang.

"Maafkan abang, ya, Dik."

"Untuk apa Abang meminta maaf? Adakah sesuatu yang Abang sembunyikan dariku."

"Em, tidak. Abang hanya tak ingin berpisah darimu."

Aku berbalik dan menatap wajahnya kemudian tersenyum manis.

"Kenapa Abang begitu cemas? Allah selalu punya rencana, bukankah Abang pernah berkata kepadaku, syukuri apa yang kita miliki jika kita tidak serakah Allah tak akan mengambilnya."

Bang Adnan menunduk entah apa yang ia pikirkan.

"Jika Abang berbuat kesalahan, apakah kamu mau memaafkan Abang?"

Aku kembali berbalik dan menatap cermin.

"Apa yang Abang perbuat? Abang, lelaki sempurna. Tahu ilmu agama, rajin bersembahyang, paham ajaran Allah, kesalahan apa yang akan Abang perbuat? Jika Abang tau itu dosa tak mungkin akan Abang lakukan, kan?"

"Agama dan ajaran serta sembahyang adalah kewajiban umat muslim dik, tapi Abang hanya manusia biasa bukan malaikat."

"Aku semakin penasaran apa yang tengah Abang lakukan hingga berfikir aku akan meninggalkan Abang?"

Aku terus memancing Bang Adnan siapa tau dia mau jujur dan keluar dari perbuatan dustanya.

"Tidak ada Dik. Abang takut tak akan menjadi imam yang baik untukmu."

"Semua itu tergantung, Bang. Jika Allah sudah merencanakan semuanya, apalah kita yang hanya menjalankan skenarionya."

Aku mengusap pipinya, mungkin ini akan jadi akhir aku berbuat manis kepadamu bang. Jika nanti semua terbongkar aku bisa saja meninggalkanmu.

"Sudahlah, Bang. Ayo kita tidur. Untuk apa kita membahas perpisahan yang tidak kita inginkan."

Bang Adnan hanya mengangguk dan mengikutiku berbaring. Ia tidur dengan memelukku sangat erat, sampai aku hendak bangun saja susah, takut membangunkannya.

Berlahan aku singkirkan tangannya yang masih di pinggangku, dengan sangat hati-hati aku turun untuk mengambil ponsel Bang Adnan. Tak ada pola atau kunci pada layar, begitupun chat media sosialnya, tak ada yang mencurigakan.

Aku sempat bingung jika benar wanita itu dan Bang Adnan ada hubungan, lalu bagaimana mereka berkomunikasi? Selama di rumah tak ada aku melihat Bang Adnan menjawab telepon dari orang lain kecuali dari pengurus-pengurus acara yang hendak berlangsung atau orang yang mengatur jadwalnya, Mas Seno.

Lalu tiket itu untuk siapa? Jelas di situ paket perjalanan honey moon. Aku meletakan kembali ponsel Bang Adnan, kemudian berjalan menuju kamar putra-putraku. Aku hanya melihatnya dari balik pintu, kedua putraku tengah tertidur lelap. Aku kembali kekamar untuk melanjutkan istirahatku agar aku punya tenaga untuk mengungkap segalanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel