Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

MENGENANG MASA LALU

Aku mengikuti Bang Adnan memasuki mobil. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan Bang Adnan memegang tanganku, hanya sesekali melepaskannya untuk menyeimbangkan mobilnya. Sedangkan aku hanya diam saja, tak ada percakapan diantara kami seperti biasanya.

Jika biasanya aku akan sangat cerewet bertanya ini dan itu. Sekarang aku lebih memilih untuk berdiam diri memandangi jalanan yang ramai berlalu lalang kendaraan. Aku harus menahan semua emosiku agar tahu siapa wanita dan semua kebohongan Bang Adnan. Jika aku gegabah mungkin bukan hanya aku yang akan berantakan hidupnya, tetapi juga anak-anakku.

Aku putuskan untuk menyelidiki semuanya terlebih dulu. Lagi pula aku penasaran tentang ucapan Zain yang sempat terpotong tadi. Aku harus menanyakan kepada Zain apa yang ia ketahui.

Terlalu asyik memikirkan rencanaku, Bang Adnan merasa ada yang aneh denganku.

"Dik, ada apa? Kenapa dari kemarin kulihat kamu lebih sering termenung?"

Aku langsung memegang tangannya yang masih menggenggam erat tanganku. Dulu aku sangat senang jika Bang Adnan memegangnya, tetapi sekarang terasa hampa. Hatiku seperti mati rasa.

"Em, tidak Bang. Aku hanya memikirkan Zain. Bagaimana aku bisa mengirimnya ke Kairo, hatiku sangat sakit."

"Sudahlah Dik, Ia ke sana untuk menggapai mimpi, bukankah ini juga mimpimu? Mengingat dulu kita tak mampu meraih mimpi."

Ya, aku dan Bang Adnan memilih menikah muda. Ia lulusan SMA sedangkan aku, SMP saja tidak lulus. Karena tak punya biaya. Waktu itu keluarga Bang Adnan memang belum mampu seperti sekarang. Sekarang keluarganya cukup berada karena koneksi dari Bang Adnan juga hasil dari usaha kami.

Aku kembali menangis mengingat dulu ibunya begitu benci terhadapku. Bahkan sehari setelah menikah dengan Bang Adnan aku diusir dari rumahnya. Bang Adnan yang lebih memilihku meninggalkan rumah orang tuanya. Hingga kami harus mengontrak disebuah kontrakan berukuran 4x5 meter. Kuusap air mataku tak ingin lagi kembali mengingat masa-masa penuh penghinaan itu.

Bang Adnan yang melihatku menangis menepikan mobilnya.

"Kenapa menangis, Dik?"

"Tidak apa-apa, Bang."

"Ada apa, Dik? Ceritalah dengan abang, jangan disimpan sendiri agar hatimu lega?"

"Bagaiman aku bisa bercerita denganmu, Bang? Sedangkan dirimu dan keluargamu yang selalu membuat hatiku terluka," aku bergumam dalam hati.

"Tidak apa-apa, Bang. Aku hanya ingat masa susah kita."

Apakah yang harus aku lakukan? Dia lelaki penuh kehangatan.

Haruskan aku meninggalkannya? Air mataku kembali menetes.

Bang Adnan menyandarkan kepalaku di dadanya. Dada bidang yang dulu selalu membuatku nyaman. Selalu menjadi sandaran kala aku merindukan kedua orang tuaku. Jika orang lain merindukan orang tuanya yang telah meninggal, mereka akan datang ke makamnya, tetapi berbeda denganku.

Aku tak tau di mana jasad kedua orang tuaku. Aku hanya ingat mobil kami masuk ke dalam jurang, setelah itu aku tak ingat semuanya. Di mana jasad orang tuaku? Peninggalan kedua orang tuaku, aku juga tak tau.

Waktu itu aku berumur 4 tahun, kemudian diantar seseorang kesebuah panti asuhan dengan kalung berbentuk hati ada lubang kunci di bawahnya yang masih kusimpan sampai sekarang.

Lamunanku dibuyarkan oleh suara klakson dari mobil belakang.

"Abang akan berusaha membahagiakanmu selalu, Dik."

Bang Adnan mengecup pucuk kepalaku, aku kembali menatap sebrang jalan.

Mobil terus melaju hingga kami sampai di sebuah toko perhiasan.

"Untuk apa kita ke sini, Bang?"

"Sudah lama abang tak membelikanmu perhiasan, bagaimana kalau kita ganti cincin pernikahanmu, Dik?"

"Tidak, Bang. Cincin ini banyak kenangan kita. Dulu kau menabungnya bertahun-tahun untuk membeli ini, membuktikan cintamu untukku. Bagaimana mungkin aku akan menggantinya."

"Baiklah, Sayang. Terserah kamu saja. Abang akan belikan yang lain, ayo turun?"

Bang Adnan turun terlebih dulu kemudian ia membukakan pintu untukku dan menggandeng tanganku masuk ke toko.

Bang Adnan dan aku memilih berbagai macam perhiasan. Aku memilih sepaket kalung dengan permata indah tampak manis dengan ukiran Allah diliontinya, tak besar tapi cukup elegan dan anggun. Sebenarnya perhiasanku sudah banyak Bang Adnan selalu membelikan untukku ketika ia keluar kota atau sedang berdakwah di Negri. orang. Katanya untuk tabungan kami dimasa tua. Ia tau seleraku, tak ingin terlihat mewah. Yang kecil-kecil dan sederhana tapi cukup menguras kantong.

"Sudah, Dik?"

"Sudah, Bang. Ini saja cukup."

Aku menunjukannya satu buah paket perhiasan berlapis mutiara dengan gelang beserta cincin dan kalung. Bang Adnan menambahkan Satu buah cincin emas dengan permata melingkari ringnya.

"Ini sudah cukup, kenapa Abang tambah?"

"Ini hadiah telah memberi Zafran, karena Zafran adalah emas, Abang hadiahkan untukmu cincin emas berlingkarkan permata."

Aku tersenyum, Ia kemudian mengusap pucuk kepalaku. Sebenarnya aku muak melihat sikap manisnya. Benar-benar membuatku semakin merasa sakit, tapi aku tidak ingin dosa menumpuk di tubuhku begitu banyak dan setan-setan berpesta melihat kehancuran kami. Oleh sebab itu, aku harus menahan emosiku terlebih dulu.

"Sudah semuanya, Mbak?" tanya seorang pegawai kepadaku.

"Sudah, Mbk. Ini sudah cukup."

"Totalnya 56 juta 760.000, Mbak?"

Aku mengeluarkan ATM yang akan aku serahkan kepada pegawai tersebut, tetapi Bang Adnan mencegahnya. Ia mengeluarkan ATM yang ia pegang.

"Biar Abang yang bayar."

ATM yang aku pegang berisi penghasilan dari youtube, sementara yang Bang Adnan pegang berisi dari pembayaran ketika ia mengisi acara ceramahnya. Jika waktu pembayaran dari panitia yang mengundangnya, Bang Adnan mentransfer separuhnya ke-ATM yang aku pegang.

Dulu ia menyerahkan semuanya kepadaku, tetapi ibu dan kakaknya tak terima, karena mereka bilang aku memberinya terlalu sedikit. Aku putuskan untuk sebagian pembayaran Bang Adnan yang pegang. Namun, Bang Adnan tak ingin uang yang ia transfer kerekeningku untuk belanja, jadi ia selalu memberiku uang cash untuk biaya bulanan. Dia bilang uang yang berada di ATM-ku untuk biaya anak-anak dan masa tua kita.

Aku tak pernah menanyakan berapa bayarannya. Aku percaya kepadanya seratus persen, karena bagiku kepercayaan adalah segalanya. Jika rumah tangga dibangun dengan kepercayaan. Maka akan terhalang oleh bencana, tapi sekarang kepercayaan yang aku bangun kandas oleh sebuah foto preweding.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel