Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Nine

Calya, di Ciwidey ada yang jual sabun dove gak sih?"

"Ih airnya PAM apa air tanah?"

"Kai anjir! kamar mandinya di dalem apa di luar rumah?"

"Gue bawa autan dua botol cukup gak?"

"Sumpah ya, sampe kasurnya bukan busa gue gak bisa tidur!"

Ya, kira-kira begitulah ocehan Chan sewaktu kita menyetujui permintaanya untuk ikut. Chan adalah cowok super duper ribet! Berkali-kali lipat lebih parah dari Bayu.

"Woi, lo lebay banget sih?!"

Gue sama Kai udah panas banget kupingnya ini dengerin ucapan Chan. Masalahnya apa yang dia omongin sedari tadi bener-bener bukan hal yang penting.

Gue menatap Chan sekilas lalu berkata. "Ciwidey gak di hutan kali, Chan, masa hal sepele gitu aja gak ada?"

"Rumah yang mau lo tumpangin udah pake kramik apa masih plester?" tanya Chan. Ia seakan mengabaikan ucapan gue barusan dan mengalihkan pembicaran ke hal yang lagi-lagi yang penting.

Wajah Kai udah bete banget. Ditambah jalanan macet, jadi semakin memperburuk keadaan. Kai yang duduk di depan menemani Chan menyetir terlihar begitu gusar gara-gara hal ini.

Chan menoleh ke arah gue sekilas. "Cal, coba lo cek in lagi barang-barang gue udah lengkap belom?"

"Lo bisa diem gak sih?! Gue pusing ya daritadi dengerin ocehan lo! Lo kalo gak mau susah mending gak usah ikut deh, biarin nanti di rest area gue naik travel aja. Pusing gue semobil ama lo!" teriak Kai. Dia terlihat sangat frustasi sekarang.

Gue langsung bungka. apalagi Chan. Masalahnya Kai ketika sedang marah tuh, sangar banget. di salah satu pertengkaran mereka kepala Chan pernah bocor karena mendapatkan lemparan piring keramik oleh Kai.

"B-bukan gitu--"

Chan mencoba meluruskan, tetapi ucapannya sudah terpotong oleh Kai.

"Udah lah! Gue beneran naik travel aja, muak tau gak sama lo! Terserah, kalo Calya mau ikut gue apa tetep sama lo!" kata Kai.

Kayaknya Kai beneran marah deh, dia udah serem banget wajahnya.

"Sorry, Kai." lirih Chan.

"Kai, gak usah gitu deh. Masa lo naik travel, mana ada kan travel di rest area." bujuk gue. Sebisa mungkin gue mencoba untuk melerai suasana yang mulai gak kondusif/

Kai gak ngejawab, dia hanya menghela napas panjang.

Setelah beberapa menit hening, gue kira dia beneran udah gapapatapi ternyata dia malah tidur. Iya, abis marah dia langsung tidur. Salut banget gue sama tingkah ajaib Kai.

Kepala gue mendadak pening banget ditambah rasa mual yang mulai bergejolak. Fix gue mabok darat!

"Kenapa, Cal?" tanya Chan. Kayaknya dia menyadari gelagat gue yang mulai menunjukan kalau gue gak baik-baik aja.

"Mual," lirih gue.

"Masih bisa dihandle?" tanya Chan.

Gue mengangguk.

Lima belas menit berlalu rasanya kayak lima belas jam. Peluh menetes dengan deras di dahi gue dan rasa mual yang bergejolak semakin gak bisa di tahan. Hingga akhirnya gue mencari plastik sebagai wadah untuk gue…muntah.

"Cal?" tanya Chan. Dia terlihat khawatir sama gue. Berkali-kali tatapannya memantau gue dari kaca spion yang ada di depan wajahnya.

Chan langsung menepi dan bangunin Kai, "Nyetir lo! Buruan!"

Dengan secepat kilat Chan langsung melompat dari kursi kemudi dan duduk di samping gue. Ia merengkuh pundak gue sambil bertanya apakah gue baik-baik saja.

"Kenapa sih?".

Gue terlalu lemes untuk menjawab jadi gue hanya diam.

Chan menghela napas sambil mencari pouch yang berisi obat-obatan. "Lo tuh ya, selalu nyusahin! Gak dimana, gak kapan, juga pasti nyusahin orang!"

Gue menutup mata gue dan mencoba menulikan kuping gue.

"Robet tau gak!" omelnya lagi.

Omelan Chan bukannya membuat merasa lebih baik malah memperburuk keadaan. Gue sudah tiga kali muntah hingga rasanya perut gue sakit banget, ditambah suara Chan yang marah-marah.

“Tadi pagi kan gue udah suruh sarapan, dimakan gak buburnya? Pasti enggak. Apa susahnya sih, Cal, tinggal makan doang?” omel Chan. Mulutnya memang sibuk memarahi gue tetapi jemarinya juga bergerak untuk menguncir rambut gue dan memijat tengkuk gue dengan lembut. Chan adalah bentuk nyata dari sebuah sikap kontradiktif yang disatukan.

Rasa sakit dan kesal membuat gue meneteskan airmata. Seandainya gue bisa turun sekarang, pasti gue udah turun dan pulang sendiria.

"Kalo udah gini nangis doang bisanya! Udah deh jangan nangis nanti malah makin pusing. Makan roti, ya? Atau kita berhenti di rest area deh di depan nanti. mau gak?"

“Chan, jangan diomelin. Udah pusing makin pusing itu, Calya." kata Kai ikut menimpali. Mungkin dia kasihan sama gue.

"Biarin, Kai. Biar dia mikir, jangan apa-apa nangis!" sahut Chan.

"Lo kalo mau ngomelin gue doang, mending lo kedepan aja deh!" bisik gue sambil terisak.

Chan tuh kalo ngomel gak mikirin perasaan gue apa ya? Belom lagi kata-kata dia yang kasar, apa dia gak kasihan ama gue?

Mobil Chan langsung hening setelah gue mengucapkan hal tersebut. hanya suara helaan napas Chan yang terdengar.

"Yang lo rasain apa sekarang?" tanya Chan. Sekarang suaranya udah jauh lebih lembut dari sebelumnya. Bahkan dia sekarang membelai kepala gue dengan sentuhan yang sangat pelan.

"Pusing, mual." jawab gue sambil nangis. Beneran deh ini tuh gak enak banget!

"Pake minyak kayu putih mau?"

Gue mengangguk.

"Sini boboan dipaha gue." suruh Chan sambil menepuk-nepuk pahanya.

Gue menggeleng. " pusing entar."

"Engga, coba dulu. Buruan sini." Ucapnya meyakinkan.

Chan memaksa gue untuk tiduran dipahanya, dia memeluk leher gue dengan tangannya.

"Pake minyak putih?" tanya Chan.

Gue cuman ngangguk, karena udah lemes banget.

Chan mengeluarkan minyak kayu putih dari dalam pouch yang dia ambil tadi.

Meski pergerakan Chan yang berusah mengusapkan minyak kayu putih di tubuh gue masih sedikit kasar, setidaknya ini lebih baik dibanding dia ngomel kayak ibu-ibu. Tetapi ketika tangannya mulai bergerak ke dalam kaos gue, gue langsung menatapnya penuh tanya.

Chan mencebik, seakan mengerti maksud tatapan gue. "Gue cuman mau pakein ini doang, gak usah lebay. Lagian gue juga udah sering liat!".

Akhirnya gue mempercayakan ucapan Chan. Dan untungnya kali ini dia gak berbohong. Tangannya memang menyentuh permukaan kulit gue, tapi hanya sebatas itu. gak lebih, persis seperti yang dia bilang.

"Tidur." suruh Chan.

Gue merengut. "Gak bisa, tidur."

Chan mengelus-elus rambut gue lembut. Hal ini bikin gue ngantuk dan perlahan lupa sama rasa pusing gue. "Makanya kalo gue ngomong didengerin dong, Cal. Kalo gini kan lo juga yang susah."

Gue udah setengah sadar pas Chan ngomong gitu. Tapi gue masih bisa denger dengan jelas. Ditambah setelah mengucapkan hal tersebut, Chan langsung mencium pipi gue lama banget.

Sore itu, pertama kalinya gue tidur dimobil dengan pules, dengan beralaskan paha Chan dan tangannya yang memeluk gue.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel