Bab 7
Citra terbangun di pagi hari, matanya mengerjap merasakan silau sinar mentari, menembus lubang-lubang kecil jendela menerpa wajahnya. Meregang kan otot-otot lengan tangan dan tubuhnya dengan perasaan entah, mendadak hatinya sendu. Menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang, menatap benda pipih di atas nakas pemberian Arjuna, wajahnya terlihat muram, hatinya bimbang.
Ingin rasanya menghubungi Susan--ibunya tapi ia takut, keberadaanya saat ini ditemukan oleh Ayahnya dan memaksanya untuk menikah dengan seseorang yang tidak dicintainya.
Namun satu sisi hati kecilnya saat ingin mendengar suara wanita yang sudah melahirkannya sembilan bulan lalu, karena pasti Ibu sangat khawatir dan sedih saat tau kepergianya. Ada sesak yang menghimpit menyesakan dada hingga tanpa sadar Citra meneteskan air mata.
Akhirnya Citra memutuskan untuk memberi kabar pada Ibunya, agar hatinya lebih tenang. Ia tak peduli lagi dengan Ayahnya yang mungkin bisa menemukannya yang penting saat ini, ia bisa mencurahkan rindunya pada wanita yang telah melahirkannya.
Bersyukur hapal nomernya, jadi ia langsung bisa menghubungi nomer Ibunya. Entah sudah berapa kali melakukan panggilan namun tak di angkat juga, membuat pikirannya makin tak karuan. Citra berjalan mondar mandir di depan jendela kamar menanti sambunngan terhubung dengan mengigit ujung jarinya, kebiasaannya yang selalu ia lakukan saat gelisah.
Citra menghembuskan, napas. Seolah beban dihatinya berkurang, Citra memutuskan untuk mematikkan sambungan telepon, dan menelepon lain kali, tetapi seperti mendapat keajaiban, saat akan meletakkan ponselnyanya di nakas terdengar suara lembut wanita di sebrang sana yang selama ini dirindukan.
[Hallo, Ibu? Citra kangen].
[Ya ampun, Ndo. Kamu dimana sekarang? Pulang to, Ibu kepikiran, kamu baik-baik aja, 'kan? Ibu kesepian ndak ada kamu, ndak ada yang nemenin di rumah, sepi. Engga ada yang bawel lagi sekarang] ucapnya di sebrang sana. Sambil menitikkan air mata mendengar suara anak kesayangannya.
Membuat Citra mengulas senyum ada rasa hangat yang menjalar hatinya pun terasa lebih baik dan perlahan mengembuskan napas lega.
Andai ada Ibu di depannya pasti Citra sudah memeluk dan merajuk.
[Alhamdulillah, Citra baik-baik aja, Ibu jangan khawatir dan kepikiran lagi, ya? Nanti Citra pulang kalo Ayah sudah merestui hubanganku dengan Panji]
[Ya, ampun Ndok kamu ini? Bener-benar batu sama seperti Ayah kamu. Ya, sudah hati-hati di sana jaga selalu kesehatan, semoga kamu cepat pulang, jangan lupa selalu berdoa dimana pun berada agar selalu dilindungi] ucap Susan panjang lebar memberi nasehat.
[Nggeh, Bu] sahut Citra sebelum memutus sambungan telepon.
Saat Arjuna akan mengetuk pintu, samar-samar mendengar pembicaraan Citra dengan seseorang yang entah tak tau siapa karena suaranya tidak begitu jelas walau sudah berusaha menajamkan pendengaran dengan menempelkan telinga dibalik pintu, tetap saja tak bisa terdengar, tiba-tiba pintu terbuka, membuatnya sedikit kaget.
Citra berdiri di depannya, menatap heran dan penuh tanda tanya? Alisnya bertaut menatap curiga karena tak biasanya sepagi ini Arjuna mencarinya.
''Ngapain, Om? Nguping ya?''
''Kamu pikir aku engga ada kerjaan, sampai harus nguping pembicara orang. Mana sarapanku. Kamu tidak tahu aku lapar, hmm?''
Citra memutar bola mata malas, menutup kedua kupingnya. Menuruni anak tangga menuju dapur begitu saja tanpa menghiraukan ucapan Arjuna yang sedang mengomel panjang lebar, gak jelas.
Di bukanya kulkas dan laci lemari mencari bahan-bahan sayuran yang isinya ternyata kosong, hanya sisa beberapa telor, dan mie instan. Citra memutuskan untuk membuat mie goreng tanpa sayuran dan telor mata sapi tak lupa membuat secangkir kopi dihidangkan di depan Arjuna.
Arjuna duduk dimeja makan mengawasi setiap pergerakkan Citra, dengan mengetuk-ngetuk meja makan. Mencium aroma kopi yang menenangkan dan perlahan menyesapnya. Sesekali Citra menyeka keringat yang menempel di pelipisnya, mengipas-ngipas wajahnya dengan memakai tangan, karena udara yang terasa panas.
Arjuna datang mendekat tepat berdiri dibelakang Citra membantu mengikat rambutnya yang terurai wangi aroma lili menyeruak dari rambutnya membuat terbuai dan terus memainkan rambut Citra. Membuat betah untuk lama-lama berada di dekatnya.
Citra membalikkan badan, menatap Arjun matanya saling bersitatap, mengerjap beberapa kali, membuat matanya yang sipit terasa lucu. Senyum tipis terbit diwajah Arjuna, seperti ada desir aneh didalam sini.
Buru-buru Citra memalingkan wajahnya yang merona, dan terasa panas, melanjutkan sesi memasaknya yang tertunda meski tanganya sedikit bergetar, ditambah Arjuna yang masih berdiri dibelakangnya dan terus memperhatikan gerakan geriknya, membuat tak nyaman, bulu kuduk Citra teras berdiri saat sapuan napasnya terasa menggelitik.
''Ngapain sih, Om? Duduk sana. Engga selesai-selesai nanti.'' Arjuna justru merengkuh tubuh kecil Citra melingkarkan tangannya di pinggang dan menyandarkan kepalanya diceruk leher.
Membuat Citra tertegun dan ingin melepas belitannya, tapi Arjuna justru makin erat memeluk. Tak biasanya Arjuna bersikap seperti ini, membuat Citra penasaran dan merasa ada yang tidak beres takut terjadi sesuatu. ''Diam sebentar, Citra. Rambut kamu wangi, pake shampo apa ini? Besok aku akan pergi beberapa hari ada urusan bisnis, jaga rumah baik-baik, ya?'' ucap Arjuna lembut.
''Terus, aku?''
''Mau ikut? Segitunya engga mau jauh dari, aku?'' ucap Arjuna, Citra mengigit bawah bibirnya, merasa tidak nyaman jika harus ditinggal seorang diri apalagi di rumah sebesar ini. '' Ada Bik Sumi nanti yang menemani,'' ucap Arjuna seolah tau apa yang dipikirkan.
Aroma gosong menyeruak, membuat Arjuna melepas pelukan, sigap Citra mematikan kompor dan merasa menyesal karena telah larut dalam lamunan.
''Tuh, kan masakkanya jadi gosong, Om sih? Kalo kaya gini gimana makannya coba, sayang, 'kan jadi kebuang, ''sungut Citra sebal.
Saat Citra akan membuang makanannya ke tong sampah Arjuna mencegah dan menaruhnya ke dalam piring untuk dimakan. Citra menatap heran karena Arjuna terlihat lahap saat memakannya, padahal warnanya sudah sedikit hitam dan tak layak makan.
Penasaran Citra pun, ingin mencobanya. Belum habis satu suapan, makanannya kembali dimuntahkan, karena rasanya tidak enak dan pahit.
Hwek ... hwek ....
Citra memuntahkan makanan yang baru saja di telan, mentap heran karena Arjuna masih mau menghabiskan masakannya dengan lahap padahal rasanya sungguh tidak enak.
''Sudah, Om jangan dimakan. Ini memang sudah tidak layak.'' Citra menarik piring yang isinya tinggal separuh, tetapi Arjuna mencegahnya dan menghabiskannya hingga tandas. Membuat Citra tersenyum hatinya menghangat menatap penuh binar kebahagiaan, karena apa yang dilakukan dihargai.
Citra berjalan membuka kulkas, ingin mencatat bahan apa saja yang dibutuhkan untuk beberapa hari ke depan.
''Om, kulkasnya horor,'' seru Citra memberikan kode agar Arjuna tau seperti apa isi kulkasnya saat ini.
''Horor kenapa? Ada setannya?''
''Coba liat sendiri aja, Citra takut.'' Penasaran, setelah selesai makan Arjuna mencuci piring dan tanganya gegas, membuka isi kulkas matanya melebar dan tersenyum menatap Citra yang sedang terkekeh geli.''
Arjuna menghampiri Citra mencubit ujung hidungnya yang mancung. ''Kenpa tidak bilang dari kemaren? Ayo kita belanja,'' ucap Arjuna meraih kunci mobil diatas meja.
.
Bukannya ke supermarket Citra justru membawa Arjuna ke pasar membuatnya kesal karena biasanya segala kebutuhan, ia membelinya di supermarket yang bersih dan wangi. Sesekali Arjuna berdecak dan mengumpat menutup hidungnya dan berjalan dengan berjinjit, sedangkan Citra dengan santainya memilih bahan-bahan sayuran tanpa merasa jijik dan sesekali menawar harga sayuran sampai terjadi kesepakatan.
Citra tersenyum puas saat bisa menawar sesuai dengan harga yang dikehendakinya, sejak dulu Ibunya sering mengajaknya kepasar untuk berbelanja sayuran dan kebutuhan dapur lainnya sehingga sudah sangat paham.
***
