Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Merasa bosan karena sendirian, Citra memutuskan untuk keluar rumah sebentar, untuk mengirup udara segar. Sekalian mencari makanan karena sedari tadi perutnya terasa keroncongan belum diisi.

Citra berjalan ke sebuah minimarket terdekat membeli beberapa roti, selai, biskuit dan mie instan. Setidaknya untuk makan beberapa hari di rumah Arjuna, karena merasa tidak enak juga jika harus minta makanan dan terus merepotkannya.

Apalagi ia sudah berbaik hati menampungnya walaupun kadang mulutnya suka pedes dan tingkahnya sering jail, setidaknya Arjuna bukan orang jahat, itu menurut penelian Citra setelah menghabiskan beberapa bersama.

Setelah merasa cukup, Citra memutuskan untuk membayar belanjaannya ke depan meja kasir. Merogoh uang dalam sakunya. Menatap miris karena uang di dalam dompetnya kian menipis.

Citra berpikir untuk mencari pekerjaan demi bertahan hidup, dan membuktikan kepada orang tuanya kalo bisa mandiri tanpa uang dari mereka.

Sebelum pulang Citra menyempatkan diri untuk membeli makanan di warteg, dua bungkus untuknya dan Arjuna, walaupun entah dimakan atau tidak.

Tiba di rumah, Citra merapihkan barang belanjaannya, menata dengan rapih ke dalam kulkas dan menaruh sebagian ke dalam laci lemari yang berada di dapur. Setelah selesai Citra menyiapkan piring kosong untuk meletakkan nasi bungkus yang dibelinya.

Dengan lahap Citra memakan makanannya hingga habis setengah piring, walaupun sebenernya lebih suka masak sendiri. Terlalu fokus dengan makanannya tak sadar jika Arjuna sudah berdiri di depannya, membawakan nasi kotak, karena berpikir Citra belum makan sejak pagi.

''Kenapa, lapar banget?'' Salah satu alis Arjuna terangkat.

''Uhuk ... uhuk .... '' Citra meraih gelas di depannya meminum hingga tandas.

''Bisa ngga sih, Om kalo masuk rumah ketuk pintu dulu, salam dulu, kalo aku jantungan gimana?

''Ya, bagus tinggal panggil ambulan. Rumah sakit banyak. Makan apaan? Itu dapet dari mana, nyolong, ya?''

''Ck.'' Citra berdecak, memutar bola mata sebal, karena sudah dituduh yang tidak-tidak.'' Emang ada tampang maling cute begini?''

''Mana ada yang tau.'' Arjuna mengedikan bahunya acuh, tapi tatapannya tak beralih sedikitpun dari cara makan Citra yang lahap, membuatnya mengulum senyum.

'' Itu makan apa lagi kerasukan, sih?''

''Nggak dikasih makan soalnya sama yang punya rumah, padahal nyuruh kerja. Bisa dipidanakan ini kalo gini ceritanya.''

''Ini aku bawain makanan, maklum dong aku, 'kan biasa hidup sendiri mana aku ingat kalo di rumah ada bocah yang kelaparan,'' ucap Arjuna santai menarik salah satu kursi dan duduk di depan Citra.

Citra mendengkus kesal dan lebih fokus pada makannya, karena meladeni Arjuna debat butuh tenaga ekstra.

''Makan apa kamu?''

''Om ga bisa liat, makanan apa ini?''

''Engga.'' Arjuna menyendokkan ke piring Citra karena penasaran dengan cara makannya yang terlihat lahap. ''Makanan apaan kaya gini bentukkannya aneh.'' Tetap saja Arjuna memakannya dan ternyata rasanya enak.

Beberapa kali justru Arjuna kembali meyuapkan makanan ke mulutnya.

''Dasar orang kaya, makanan kaya gini aja ga tau, ini namanya nasi campur Om. Aku beli di warteg. Tuh masih ada satu kalo Om mau.''

Citra beranjak dari duduknya akan menyiapkan piring dan nasi warteg untuk Arjuna tapi langkahnya dicegah.

''Mau ke mana?''

''Mau ngambil piring buat kamu, Om?''

''Tidak usah, aku bisa sendiri. Terusin aja makannya.'' Arjuna beranjak menuju rak untuk mengambil piring kosong.

Arjuna ngga menyangka kalo gadis di depannya itu sangat perhatian dan cekatan. Walapun badannya terlihat mungil tapi bentuk tubuhnya cukup berisi, di tambah matanya yang berwarna kecoklatan dengan bulu mata yang lentik, wajahnya putih bersih dan bibirnya yang tipis kemerahan meski tanpa polesan lipstik.

Kalo seperti ini berasa punya istri yang menunggu suaminya pulang kerja. Gumam Arjuna dalam hati.

Plak!

Arjuna menepuk dahinya sendiri karena merasa konyol dengan pemikirannya.

''Kenapa, Om? kerasukan?'''

''Itu, 'kan kata-kataku.''

''Minjem.''

''Bayarlah.''

''Dasar, Om matre. Kata ibuku kalo makan jangan banyak ngomong, Om nanti ke-.'' Belum selesai berbicara Arjuna sudah tersedak lebih dulu Sigap Citra membantu menepuk pelan punggung Arjuna, membuatnya menjadi lebih baik.

''Thanks,'' ucapnya Arjuna lirih nyaris seperti gumaman tapi masih sempat Citra dengar.

.

Senja beranjak dari peraduaanya, Citra mengurung diri di kamar berguling kesana dan kemari bosan, karena tak ada yang dapat dilakukakan apalagi tak ada ponsel yang biasa digunakan.

Citra memutuskan keluar kamar dan menonton televisi dengan memangku satu toples cemilan. Tatapannya awas menatap layar plasma ditembok, belum lama pergi dari rumah, Citra sudah merindukan keluarganya terutama Ibunya.

Tak sadar airmatanya luruh, tanpa bisa dicegah. Arjuna yang baru saja keluar dari kamar tertegun melihat Citra yang terlihat bersedih.

Arjuna memberikan tisue. Tanpa banyak bicara, karena menurut pengetahuannya wanita tak akan suka jika ditanya saat sedang bersedih, cukup berikan sedikit ruang lalu berikan bahu untuk bersandar agar merasa nyaman.

''Hey, bocah kamu punya banyak hutang penjelasan, sekarang kamu jawab yang jujur, sebenernya kamu siapa, dan mau ke mana? Kamu bohongkan tentang orang yang mau ambil ginjal? Kamu pasti kabur dari rumah? Ayo jawab,'' tanya Arjuna yang duduk di sebalah Citra

''Aku--''

Wajah Citra tertunduk meremas ujung kaos yang dikenakan.

"Aku--,'' ucapnya terbata takut rahasianya terbongkar. Tapi lebih takut jika di usir dari rumah Arjuna.

''Mau jawab jujur, atau aku sendiri yang cari tau?'' Ancam Arjuna, menatap tajam ke arah Citra yang terus saja tertunduk dan menggigit bawah bibirnya yang tipis sekaligus menggairahkan.

''Aku tidak berbohong.'' Citra masih berpegang teguh dengan pendiriannya.

''Cih! Kamu pikir aku bodoh, yang mudah kamu bohongi begitu saja. Heh, denger ya bocah kecil, nggak ada orang yang mau dijual ginjalnya memakai tas rangsel lengkap dengan membawa baju. Masih mau berbohong?!'' Ucap Arjuna Sarkas.

''Sebenarnya, aku kabur dari rumah,'' sahut Citra lirih tapi masih bisa di dengar Arjuna.

''Kenapa kabur?''

''Orang tuaku, nggak menyetujui aku berpacaran dengan pacarku Om dan mereka ingin menjodohkan aku dengan pria yang tidak aku suka, jangankan suka kenal wajahnya aja engga. Emang ini jaman Siti Nurbaya apa main jodoh-jodohin aja,'' terang Aurel menggebu.

''Dasar bucin gitu aja kabur, emang kamu udah yakin pacar kamu itu yang terbaik dan udah pasti dia setia?''

''Yakinlah, kenapa enggak. Om juga udah tua belum nikah? Pasti nggak ada yang mau sama Om kan? soalnya Om itu mulutnya judes dan suka asal kalau ngomong.''

Mata Arjuna mendelik mendengar ucapan Citra yang nggak di saring.

''Tau apa, kamu soal aku? Dasar bocah, sok tau!''

''Jangan panggil aku bocah Om, aku punya nama. Biar gini, aku udah mau lulus kuliah, aku juga udah bisa bikin bocah. Nama aku Citra, bukan bocah!''

Arjuna menatap Citra dengan pandangan yang sulit diartikan, dengan sudut bibirnya naik keatas. Arjuna berjalan mendekat ke arah Citra yang berada diseberang meja.

Mata sipit Citra melebar, bergidik ngeri mengartikan tatapan Arjuna, yang tau-tau sudah duduk di meja tepat dihadapannya.

''Mau ngapain, Om?'' Citra berjengit dari duduknya bersiap untuk kabur. Sigap. Arjuna mencekal pergelangan tangan Citra dan kembali terduduk di kursi.

''Mau kemana? Mau kabur?'' Arjuna mencondongkan wajahnya ke arah Citra. Menatap lekat manik mata Citra yang mengisyaratkan ketakutan.

Ritme jantung Citra berdebar tak beraturan, ada rasa takut menggelayuti di tatap Arjuna dengan pandangan seolah ingin memakannya. Seketika Citra merutuki akan dirinya yang sudah asal bicara, seperti membangungkan macan sedang tidur.

Kini Arjuna berhasil mengukung Citra di kedua tangannya membuatnya tak bisa untuk berkutik. Arjuna menikmati ekspresi ketakutan gadis di depannya yang ditunjukkan lewat pancaran matanya, wajahnya memucat bibir Citra bergetar. Bahkan wangi rambutnya terasa menembus hidungnya, menenangkan.

''Kenapa, takut? Ayo kita buktikan, katanya ada yang udah bisa bikin anak.''

Bulir bening keringat di wajah Citra seketika menetes padahal Ac diruangan dalam kondisi menyala, tapi mendadak suasana begitu panas di tambah kerja jantungnya yang berpacu tak seperti biasanya. Mungkin saja Arjuna mampu mendengarnya.

''Hahha ... '' Seketika tawa Arjuna berderai, terkiki geli nyaris mengeluarkan air mata dan memegang perutnya.

Alis Citra saling bertaut menatap heran pada tingkah Arjuna yang tiba-tiba tertawa tanpa sebab, gila. pikir Citra sekaligus bergidik ngeri.

''Om, kenapa? Om gila, ya? obatnya habis?''

Tawa Arjuna berhenti, dan kembali menantap Citra yang wajahnya terlihat orang bingung dan terlalu polos.

''Enak aja, ngatain gila? Wajah kamu itu lucu, terlalu polos. Bisa-bisanya kamu kabur dari rumah. Kalo ketemu orang jahat beneran gimana? Udah sana ke kamar. Sebelum bener-benar, aku berbuat lebih, sekali lagi nggak usah sok nantangin. Baru di deketin gitu aja takut dasar bocah.

Citra menghembuskan napas kasar sekaligus lega. Setidaknya Arjuna pria baik-baik yang tak akan mencari kesempatan untuk berbuat amoral terhadap wanita.

Wajah Citra berubah memerah menahan kesal, mengepalkan jari jemarinya hingga buku-buku kukunya memutih karena merasa terus dikerjai oleh Arjuna. Menghentakkan kakinya kelantai, membanting pintu kamarnya dengan kasar.

''Woy ... biasa aja nutup pintu nya, hobby banget banting perabotan orang bisa rusak nanti!'' teriak Arjuna.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel