Bab 12
Citra terus memandangi ke arah pintu utama yang terbuka, berharap seseorang dengan sifat jahilnya dan senyum yang meneduhkan datang menyapa, entah halusinasi atau nyata hingga seseorang yang di pikirkan tiba-tiba berdiri diambang pintu masuk dengan pakain yang belum diganti dari kemaren rambut acak-acakkan dan dasi yang sudah terlepas di masukkan kedalam kantong atas kemejanya.
Membuat Citra terperangah tak sadar tangannya yang sedang memotong sayuran teriris pisau dan mengeluarkan darah, Arjuna yang melihatnya langsung berlari dan menghisap darahnya karena khawatir menatap lekat manik mata milik Citra yang sama-sama menatapnya.
Entah apa yang terjadi padanya membuat Citra sekaligus penasaran. Kecewa memang sama sikapnya kemaren, tetapi melihatnya seperti itu membuat tak tega, dan ingin bertanya.
''Apa ini sakit?'' tanya Arjuna lembut, tak sadar Citra malah menintikkan air mata. ''Apa sesakit itu?'' tanya Arjuna lagi.
Citra menggeleng lemah, entah. Kenapa air matanya menetes begitu saja tanpa bisa dicegah. Arjuna menuntunnya untuk duduk membersihkan luka Citra lalu memberikan antiseptik di tutup dengan plester agar lukanya tertutup.
Arjuna mengusap air mata Citra yang terus menetes, membuatnya bingung dan merasa ada yang meremas hatinya saat melihat orang terkasihnya bersedih tapi tak bisa melakukan apa-apa.
Arjuna kembali ke atas untuk mandi dan bersiap pergi ke kantor lagi karena banyak pekerjaan yang harus diurus termasuk dengan melakukan pembatalan kontrak kerjasama dengan perusahaan Panji.
Citra merasa sedih karena sikap Arjuna tak seperti biasanya, dingin. Ia seperti terabaikan ada yang kosong di dalam sini seolah terbawa pergi. Saat sarapan pun Arjuna tak banyak berbicara bahkan tak berpamitan saat pergi ke kantor.
Sudah beberapa hari ini Arjuna selalu berangkat lebih pagi ke kantor dan pulang larut membuat Citra merasa kehilanggan, seperti ada rasa sesak yang menghimpit untuk bernapas pun terasa sulit.
.
Di kantor
Arjuna bersandar duduk dikursi kebesarannya sambil memijit-mijit pangkal hidungnya banyak hal yang dipikirkan membuat kepalanya terasa pening dan mau pecah. Sampai kesalah pahaman dengan Citra belum mampu diluruskkan, melalui sambungan interkom Arjuna memanggil Angga untuk menghadap karena ada hal penting yang harus di bicarakan.
''Kenapa, Jun tiba-tiba memanggil. Ada sesuatu yang mendesak kah?'' tanya Angga sahabat sekaligus asisten pribadinya.
''Batalkan kontrak perusahaan kita dengan Panji. Aku engga mau bekerjasama dengan orang yang licik seperti dia!'' Arjuna memutar kursinya menghadap Angga.
''Gila kamu, Jun! Proyek kita sudah jalan setengah jalan. Apa jadinya kalo batal? Kita bakal mengalami kerugian besar dan harus membayar pinalti ganti rugi,'' Angga memperingatkan.
''Aku engga perduli, batalkan sekarang juga!''
Mau tak mau Angga pun menurut meski tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Angga yakin Arjuna memiliki perhitungan yang matang dalam mengambil keputusan sepak terjangnya di dunia bisnis sudah tidak diragukan lagi, pasti dia sudah memiliki rencana lainnya jika sudah mengambil keputusan.
Angga memutuskan untuk kembali ke ruangannya sesuai perintah Arjuna melakukan tugasnya.
''Non masih butuh pekerjaan, enggak? Kebetulan di tempat keponakan Bibik lagi ada lowongan, tapi sebagi waiters, Non?'' tanya Bik Sumi saat melihat Citra sedang menyiram Bunga.
''Engga apa-apa Bik, Citra mau kok yang penting halal.''
Citra menghentikan kegiatannya karena ponselnya terus saja berbunyi. Tertera nama Panji di layar dan mengangkatnya, ingin mengajak bertemu di luar katanya ada satu hal penting yang ingin di bicarakan.
[Oke, kita bertemu di tempat kemaren saja] kata Citra sebelum menutup telepon.
.
Citra duduk di sebuah Cafe menunggu kedatangan Panji sesekali menatap benda bulat yang melingkar di pergelangan tangannya. Hampir tiga puluh menit menunggu tapi orang yang dinanti belum datang juga bahkan minuman yang di pesan nyaris tandas.
''Maaf telat, datangnya. Udah lama nunggu?'' tanya Panji menarik salah satu kursi duduk di depan Citra.
''Kemana aja sih, kok lama? Mau ngomongin apa? Kayanya penting banget,'' tanya Citra penasaran sambil mengaduk minuman yang tersisa.
Sebelum berbicara Panji mencoba mengatur napas agar terlihat lebih santai, di genggaman nya tangan Citra dengan lembut menatap lekat manik matanya.
''Cit, gimana kalo kamu pindah?''
''Pindah?'' Citra mengulang kalimat Panji memastikan pendengaran nya.
''Iya, pindah. Gimana kalo kamu tinggal sama aku saja? Atau aku sewa, 'kan tempat. Kamu mau, 'kan?''
Citra diam sejenak dan berpikir akan keputusaan apa yang akan di ambil karena menurutnya bukan sesuatu hal yang mudah.
''Kenapa kok diam, kamu enggak mau?'' tanya Panji penasaran karena melihat Citra dan diam saja tak bereaksi.
''Engga bukan begitu, beri aku waktu, Nji buat berpamitan. Biar gimanapun juga, Arjuna yang udah nolong sewaktu kabur dari anak buah Ayah yang kemaren sempat mengejar-ngejar aku,'' terang Citra.
Panji pun mengangguk setuju, '' Berapa lama?''
Citra mengigit bawah bibir, disaat seperti ini rasanya tidak pantas meninggalkan Arjuna yang sepertinya sedang mengalami masa sulit pikirnya.
''Seminggu,'' putus Citra.
Panji pun menyetujui.
Tak jauh dari mereka ada sepasang mata yang mengawasi hatinya seperti terbakar, bola matanya memerah ingin rasanya melayangkan pukulan melepaskan kekesalan tetapi yang di lakukan hanya menghela napas kasar tak mungkin menghajar orang itu disini karena sedang bertemu dengan investor baru dan mengacaukan segalanya.
Arjuna mengeram kesal saat Panji menyentuh wajah Citra, seperti ada yang meremas hatinya, perih sekaligus kecewa.
Setelah urusannya selesai Citra memutuskan untuk pulang karena ada banyak hal yang harus di kerjakan.
''Aku antar, ya? Panji menawarkan diri.
''Engga usah Nji aku tau, kamu pasti lagi sibuk. Aku kebetulan ada hal yang lain harus aku kerjakan kalo gitu aku pulang duluan ya?
.
Arjuna memutuskan untuk menginap di rumah sakit menjaga Laras karena kondisi kesehatannya yang kembali menurun. Devan merasa penasaran karena tak biasanya wajah Arjuna terlihat kusut dan pucat tak semangat seperti mayat hidup membuatnya khawatir karena takut sesuatu yang buruk terjadi padanya.
''Kak Juna pulang aja mending, biar aku aja yang jaga. Lihat wajah Kak Juna aku takut. Lama-lama dah kaya zombi,'' ucap Devan memancing pembicaraan karena Arjuna terlihat lebih pendiam dari biasanya.
Tak disangka Arjuna malah melempar tisue ke arah Devan yang telah diremas-remas, namun berhasil menghindar dan menangkapnya.
''Kamu ngusir?''
''Engga gitu kak, cuma sepertinya kaka terlihat lelah, lagian kasihan Citra dirumah sendirian.''
''Tenang aja, Citra aman kok. Ada Bik Sumi dirumah.'' Devan pun hanya beroh ria.
Citra terus mondar mandir di dalam kamarnya sesekali membuka tirai jendela memastikan apakah Arjuna sudah pulang atau belum karena sudah terlalu larut dan tak ada tanda-tanda kepulangannya.
Citra pun mengirim pesan pada Arjuna menghilangkan egonya.
'Om ... lagi dimana?'
'Om kok belum pulang?'
'Jangan lupa makan istirahat yang cukup.''
pesan terkirim tapi hanya centang dua tertanda belum di baca membuat Citra makin khawatir berjalan mondar-mandir di depan jendela. Ingin bertanya pada Devan tapi tak punya nomer ponselnya. Kemana sih sebenarnya dia, kenapa semua jadi begini ucapnya dalam hati.
Laras terbangun dari tidurnya tenggorokan nya terasa kering, melihat Arjuna yang tengah tertidur lelap membuatnya tidak tega untuk membangunkan dan memilih meraih gelas sendiri, namun hasilnya nihil yang ada gelasnya justru pecah membuat Arjuna dan Devan terjaga dari tidurnya menghampiri Laras.
''Mamah mau minum? Kenapa engga bangunin Juna aja atau Devana aja?''
''Engga apa-apa, Jun. Mamah takut ganggu kamu dan Devan pasti kalian cape gara-gara sibuk ngurusin Mamah,'' Laras tersenyum menatap lekat Arjuna dan Devan.
''Sudah jadi tugas kita buat merawat Mamah,'' ujar Devan bijak dan mengusap punggung tangan Laras.
''Juna.''
''Heemppt.''
''Kapan bawa Citra kesini, Mamah pengen ketemu, seperti apa sih, gadis itu sampai bisa bikin anak Mamah berubah begini?''
Arjuna tertegun bingung harus menjawab apa, menggaruk tengkuknya yang tak gatal, jika saja hubungannya dengan Citra tidak ada masalah akan dengan senang hati membawa dan memperkenalkannya saat ini juga.
''Iya, Mah. Nanti Juna kenalin, sekarang Mamah sembuh dulu, Citra juga sedang ada urusan jadi belum sempat nengok,'' terang Arjun.
''Kamu lagi engga bohongin Mamah, 'kan?'' ucap Laras menatap anak sulungnya, mencari kebeneran dimata Arjuna.
''Kak Juna engga bohong kok, Mah. Sekarang Mamah tidur lagi, ya? Ini masih malam lho. Harus banyak istirahat biar cepet sembuh.''
Devan membantu menyelimuti Laras yang seolah masih banyak hal yang ingin ditanyakan pada anak sulungnya, namun melihat wajah Arjuna yang terlihat lelah membuatnya tak tega dan lebih memilih mendengar apa kata Devan.
Arjuna menepuk pelan bahu Devan sebelum kembali ketempat duduknya, sebagai isyarat ucapan terimakasih karena sudah membantu menjelaskkan pada Laras saat ini, karena saat ini otaknya terasa buntu.
Arjuna menyandarkan tubuhnya di kursi, diraihnya benda pipih yang tergeletak diatas meja, matanya melebar mendapati banyak pesan dari Citra yang belum sempat di baca. Senyum tipis nampak di wajahnya ingin membalas tapi batre di ponselnya keburu habis belum sempat di carging.
Devan menatap heran pada Arjuna karena tiba-tiba wajahnya berubah cerah, ada apa dengan kakanya satu-satunya itu? Kenapa susah sekali di tebak.
***
