Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Terpaksa Jual Diri

Netra Hana berkabut mendengar penawaran Madam Yura. Batinnya dalam pergolakan dahsyat.

Menolak tawaran Madam Yura sama dengan menolak banyak uang. Sementara ia butuh uang itu untuk melunasi biaya kuliah serta membayar kebutuhan lainnya, sebab ayah dan ibu tirinya sudah tidak mau tahu lagi tentang kuliah Hana.

Hana  teringat kembali semua kata-kata menyakitkan yang ia terima dari ayah dan ibu tirinya, netranya terpejam. Peristiwa miris kemarin, berputar ulang di benaknya.

"Percuma saja kuliah, toh juga kamu tidak pernah berprestasi. Diam saja di rumah, gantikan pekerjaan Mbak Sri, supaya pengeluaran bulanan keluarga bisa dihemat," sungut Fera, istri kedua Adrian, ayah Hana.

"Hadeh. Enggak maulah. Aku sudah bercita-cita menjadi seorang Dokter Anak." Fera membela diri dengan bibir mencebik.

"Mana kuliah dokter itu mahal. Coba kamu lihat saudarimu Evita, ia selalu berprestasi dan membanggakan keluarga. Enggak percuma Papa dan Mama mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkannya." Adrian menampakkan kekagumannya kepada Evita, putri tirinya, tanpa peduli akan perasaan Hana yang terpojok dan terluka.

Hana berusaha tegar, menahan bendungan di matanya yang nyaris jebol. Ia meneguk salivanya dengan tatapan nanar sembari merayu hatinya sendiri yang terkapar.

"Biarkan aku melanjutkan kuliahku. Aku tidak akan merepotkan kalian." Hana menyahut dengan wajah merunduk dalam. Penghasilannya sebagai pelayan cafe memanglah tidak seberapa, tapi itu satu-satunya yang bisa ia harapkan saat  ini. Ia berharap bisa mengumpulkan rupiah lebih di tempat kerjanya yang baru. Atas bantuan Pandu, sahabat masa kecilnya, ia berhasil pindah bekerja di kafe yang lebih besar.

"Kamu ini memang susah dibilangin. Kalau kamu manut untuk berhenti kuliah, Mama akan carikan pria kaya yang bersedia menjadikanmu istri. Tapi sudahlah, lanjutkan saja omong kosongmu itu. Ayo Pa, kita berangkat. Teman-teman mama sudah lama menunggu. Ini acara reuni kami yang paling spesial, karena ada tamu istimewa yang hadir. Mama enggak mau telat." Fera buru-buru menggandeng lengan Adrian, menjauhkannya dari Hana. Ia khawatir hati adrian akan luluh melihat wajah sedih putri tirinya yang ia pikir sangat merepotkan keuangan keluarga.

"Dasar benalu, cuma bisa jadi beban orang tua!" Terdengar Fera merutuk sambil berjalan menjauh. Kata-katanya membuat Hana merasa kian terpuruk dan tidak berarti.

'Dasar nenek sihir!' Hana hanya berani merutuk dalam hati.

Dengan langkah gontai, Hana mempersiapkan diri untuk berangkat ke tempat kerja. Pedih masih ia rasakan di dalam sana, tidak rela dirinya selalu dibanding-bandingkan dengan saudari  tirinya yang memang pintar. Hana berdiri sunyi di pinggir jalan, menunggu Pandu datang menjemput dengan sepeda motor tua lusuh miliknya.

Tiiiiit!

"Aura magrib, buruan naik!" seru Pandu seraya menyodorkan helm ke hadapan Hana.

"Tega bener ngatain gue aura magrib," Hana meringis, tapi kemudian tersenyum lebar, sebab ia tahu Pandu hanya bercanda.

Pandu dan Hana bisa dibilang cukup dekat, terbiasa saling tolong menolong saat kesusahan, hanya saja untuk masalah pribadi, mereka tidak selalu saling terbuka.

"Sore ini ada tamu spesial di kafe yang sedang mengadakan acara reuni kampus. Sepertinya acaranya sampai tengah malam. Alhamdulillah nanti kita dapat uang lembur." Pandu menyemangati Hana.

"Alhamdulillah. Aku siap lembur. Yess!" Hana tak kalah bersemangat.

Sesampainya  di kafe, seperti biasa, Hana melakukan pekerjaannya dengan  riang dan cekatan. Suasana Kafe sangat ramai, sehingga Hana yang sibuk melayani para tamu sama sekali tidak menyadari kalau ayah dan ibu tirinya ternyata ada di dalam pesta reuni itu.

Fera baru saja memperkenalkan suaminya sebagai seorang pengusaha property yang sedang berkembang. Sebenarnya Adrian keberatan dengan cerita bohong Fera, tapi mau tidak mau ia harus berpura-pura  tersenyum manis demi menjaga perasaan istri tercinta.

"Wah, suamimu hebat. Calon konglomerat nasional bau-baunya, nih." Salah seorang teman Fera menanggapi.

"Ah, kamu bisa aja. Semoga semua proyek suamiku lancar, doakan ya." Fera merasa tersanjung.

"Kamu beruntung Fera, berbeda denganku, suamiku hanya seorang PNS yang pekerjaannya enggak akan bisa berkembang pesat, gajinya enggak bisa buat liburan ke luar negeri. Hufffhh...."

"Benar sekali, semoga saja nanti Fera mau memberikan paket liburan gratis ke luar negeri buat kita-kita yang suaminya gaji UMR ini. Hehehehe...."

Teman-teman Fera terus saja menyapa ramah, kagum akan keberhasilan sang sahabat dengan suami keduanya.

Sejenak Fera merasa kikuk, lantas dia menguasai diri dengan cepat. "Oh, pada saatnya nanti keinginan kalian akan terlaksana, tunggu saja. Semoga semua proyek besar suamiku berjalan lancar." Fera berakting menatap bangga kepada sang suami.

Kali ini wajah Adrian yang berubah kikuk. Ia hanyalah seorang office manajer di perusahaan property dengan gaji yang memang terbilang cukup tinggi. Tapi, ia bukan seorang pemilik perusahaan seperti yang diceritakan Fera kepada teman-temannya.

Rasanya Adrian ingin segera pulang ke rumah, takut kalau sampai ada orang yang mengenali siapa dia sebenarnya, dan semua kebohongannya bersama Fera akan terbongkar. Adrian gelisah.

Dang!

Tanpa sengaja sudut mata tajam Fera menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Netranya membeliak lebar, wajahnya berubah pucat untuk sesaat. "Apa yang dilakukan si burung pipit ceriwis itu di sini? Wajahku bisa tercoreng dengan keberadaannya. Hiss...." Fera mendesis.

Melihat gelagat sang istri yang aneh, kening Adrian mengerut. "Kenapa? Ada masalah apa?" tanyanya heran.

"Sssst.... Jangan menganggapnya siapapun di sini. Bersikaplah seolah-olah kamu tidak mengenalnya. Lihat di sebelah kanan, ada putri kita yang memalukan." Fera menunjuk dengan lirikan mata muak, yang langsung dipahami oleh Adrian.

"Hah? Ngapain Hana di sini? Oh, jadi ini kafe tempat Hana bekerja. Hmmm...." Adrian masih memikirkan sikap apa yang perlu diambilnya. Tentu saja ia ingin menyapa putrinya, tapi ia tahu itu akan membuat Fera malu.

Terlebih lagi, Fera telah mengatakan kepada teman-temannya kalau suaminya adalah seorang bos besar, owner dari perusahaan property bonafid. Jika teman-teman Fera tau aku memiliki putri seorang pelayan kafe, pasti Fera akan sangat malu dan murka kepada dirinya dan Hana.

"Sial, dia melihat kita dan menuju kemari." Seketika Fera cemas karena melihat Hana berjalan menuju ke arah mereka.

Daripada menanggung malu, Fera buru-buru menarik lengan Adrian, membawanya untuk menghadang jalan Hana.

Hana tersenyum manis dan polos, merasa bahagia bertemu dengan ayah dan ibu tirinya di tempat itu. Bagi Hana, itu adalah pertemuan tak terduga yang perlu sedikit dirayakan. Ia pikir ia harus menghampiri dan menyapa kedua orang tuanya, tapi lacur, Fera menatapnya dengan netra sinis dan dingin.

"Tolong, menjauh dari kami berdua. Bersikaplah seolah-olah kita tidak saling mengenal." Fera berbicara setengah berbisik di dekat telinga Hana. Penuh tekanandan mengancam.

Hana terkesiap, tak percaya apa yang diucapkan Fera. "Kenapa, Ma? A-a-apa... apa salahku? Aku ini putri kalian."

Adrian tak enak hati melihat wajah sedih sang putri, akan tetapi ia tidak ingin mengecewakan sang istri. "Hana, menurut saja apa yang diperintahkan mamamu. Semua demi kebaikan keluarga kita. Kembalilah bekerja...."

"... Kembali bekerja dan anggap saja kami orang asing bagimu. Kami malu punya putri seorang pelayan kafe." Fera menegaskan. Sementara itu, Adrian menelan salivanya dengan tatapan gundah.

Tepat di saat itu, tiba-tiba dua orang pria yang merupakan teman lama Fera tiba-tiba muncul dari arah belakang Adrian. "Fera, Adrian... kalian mengenal gadis pelayan ini? Apakah dia mengecewakan kalian?"

Sekali lagi wajah Adrian menegang, ia tak mampu menjawab, dan pada akhirnya ia harus bungkam saat mendengar jawaban dari Fera.

"Oh, sorry... kami enggak kenal gadis pelayan lusuh ini. Hanya meminta sedikit bantuan padanya." Fera menyikut pinggang Adrian setelah ucapannya selesai.

Adrian paham, Fera ingin penegasan darinya. "Iya, benar sekali apa yang dibilang Fera, kami tidak tahu siapa gadis pelayan ini, kami hanya meminta sedikit  bantuan darinya. Mari kita lanjutkan acara." Kali ini Adrian yang menarik sang istri. Meninggalkan Hana seorang diri dalam perasaan hancur, merasa tidak berguna dan tidak dihargai.

Air mata menggenang begitu saja di kedua pelupuk mata Hana. "Mereka malu mengakuiku. Sebegitu hinakah aku?" Berusaha tegar, ia mengusap air matanya, kemudian lanjut bekerja dengan berpura-pura tak mengenal kedua orang tuanya.

Setelah pekerjaannya selesai, Hana meminta tolong kepada Pandu untuk mengantarnya ke rumah Dion, cowok yang belum genap tiga bulan jadi pacarnya.

"Ngapain ke rumah Dion hampir tengah malam begini? Yang ada orang tua Dion pasti marah dan mengusir kamu." Pandu mengingatkan sambil melajukan sepeda motornya.

"Kedua orang tua Dion sedang liburan ke Bali bersama adik-adiknya, dia sendirian di rumah."

"Waduh, apa kamu enggak takut nanti Dion melakukan hal yang enggak seharusnya ke kamu, Han." Pandu khawatir.

"Aku lagi sedih, ada sedikit masalah di rumah. Dion enggak pernah bertindak macam-macam padaku. Dia menghormatiku. Malam ini aku cuma mau curhat." Hana masih sakit hati dan tidak ingin pulang ke rumah.

"Hati-hati, ya." Pandu tetap mengingatkan, sembari menghentikan sepeda motornya tepat di depan rumah Dion.

"Makasih, beruang lucu. Sekarang kamu boleh pergi. Nanti biar kuminta Dion mengantarku pulang."

"Oke. Jaga diri baik-baik jerapah," uca Pandu dengan berat hati sembari meninggalkan Hana seorang diri.

Dulu tubuh Hana pernah berbentuk kutilang darat, kurus tinggi langsing dada rata, sehingga teman-temannya memanggil jerapah. Sebaliknya, dulu Pandu pernah memiliki tubuh yang gendut, sehingga ia mendapat panggilan khusus 'si beruang lucu'.

Hana berhasil melangkahkan kaki di halaman rumah Dion dengan bebas, sebab ternyata pintu gerbang rumah itu belum terkunci. Hana sengaja tidak memberitahu Dion tentang kedatangannya. Ia ingin memberikan sedikit kejutan.

Rumah itu sunyi, tapi pintu utama terbuka lebar. Hana mengetuk dan memanggil dengan suaranya yang lirih, tapi tidak ada sahutan. Hana yakin Dion ada di dalam. Terlebih lagi, Hana menemukan sisa-sisa beraneka makanan di atas meja ruang tamu.

Hana memberanikan diri masuk ke dalam. Kakinya tersangkut sesuatu yang terasa lembut di lantai. Hana merunduk dan mengambil benda itu dengan rasa penasaran yang mulai bercokol.

DEG!

Jantung Hana seperti dihantam palu godam. "Lingerie siapa ini?" gumamnya was-was.

Tanpa sadar Hana menggerakkan kaki menuju kamar Dion di lantai dua. Ia mulai mendengar suara musik yang keras, bercampur dengan suara cekikikan seorang wanita. Jantung Hana kian berdegup kencang.

Semakik Hana mendekati kamar Dion, suara-suara aneh terdengar kian kencang di antara hentakan musik yang bergema.

"Oh, shit! Luar biasa. Mmmfhhh.... I love everything of you, Emma."

"I love yours, too. Kamu membuatku candu, darling."

Hana membeku di depan pintu kamar Dion, menyaksikan kegilaan yang dilakukan Dion dan Emma. Keduanya tengah bergumul layaknya pasangan suami istri. Dunia Hana runtuh seketika. Ia tak mampu berkata-kata.

Dalam ketidakberdayaannya, Hana melangkah pergi dengan hati yang terkoyak. Rasanya ia ingin mati saja saat ini. Ia berjalan mengikuti kemana saja langkah kakinya, dan tempat yang paling ingin didatanginya adalah sebuah gedung di mana dulu ibunya sering mengajak Hana bermain di atas rooftop. Dari atas rooftop itu ia dan ibunya menikmati senja yang indah.

Ibunya bilang, gedung itu adalah milik majikannya. Arumi, ibu Hana, diizinkan datang ke gedung itu kapan saja. Dari sana ia tahu jalan rahasia menuju rooftop dengan cepat.

"Edelweis Hana, berikan jawabanmu! Jangan berpikir terlalu lama dan membuatku lelah menunggu!" Madam Yura menyentak sekali lagi. Menyadarkan Hana dari ingatannya.

"A-a-aku... aku---"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel