Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Call Me Papa

"Gadis bandel, apa yang kamu lakukan di sini?!"

Reigan terkejut dan bangkit, tapi Edelweis Hana lebih terkejut lagi.

"A-a-anda...? Mengapa Anda di sini?" Gadis polos itu malah balik bertanya dengan wajah lugunya.Tentu saja ia masih mengingat jelas wajah pria penolongnya. 'Aduh, kenapa dunia begitu sempit?' batin Hana.

Prok prok prok prok prok!

Alan bertepuk tangan dengan keras. "Hmm... menarik, rupanya kalian saling mengenal satu sama lain. Ceritakan padaku bagaimana hubungan kalian?" Alan tersenyum smirk, ia tidak benar-benar tertarik atau peduli, hanya menikmati suasana. Sifat usil sudah mendarah daging di dalam dirinya.

Reigan berjalan mendekati Alan dengan langkah lebar.

Alan bergidik ngeri mendapati tatapan Reigan yang setajam belati hendakk merobek iris matanya.

Plak!

Satu tamparan keras Reigan mendarat mulus di pipi kanan Alan. "Brengsek, beraninya kamu membawa gadis ini ke tempat seperti ini. Kamu benar-benar keterlaluan." Netra tajam Reigan bak belati yang menusuk-menusuk iris coklat  Alan.

"Kau menamparku?"

'Dia kumat sekarang.' Alan merutuk dalam hati.

Alan tak terkejut. Sejak kapan pula Reigan bersikap lembut. Never! Terlebih lagi saat sedang marah begini.

'Tapi, apa yang membuat Reigan begitu marah?'

Benak Alan penuh dengan pertanyaan tak terjawab. "S-s-siapa dia bagimu?" tanya Alan  pada akhirnya dengan wajah pias.

"Bukan urusanmu. Pikirkan saja kesalahanmu." Reigan berpaling dari tatapan Alan, ia mendekati Hana yang terpaku.

"Maaf. Aku tidak menyangka semuanya akan menjadi seburuk ini. Aku hanya mencarikan gadis yang tepat untukmu, Rei." Alan menyahut dengan perasaan gondok. Ingin rasanya membalas tamparan Reigan, tapi nyalinya menciut.

"Gadis bandel, pergi dari sini. Pulanglah ke rumahmu sekarang juga. Ibumu pasti sangat malu melihat kelakuan liarmu." Reigan menyentak Hana.

"Jangan sebut ibuku..." gumam Hana parau.

"T-t-tunggu dulu, aku sudah bayar mahal untuk gadis ini. Kalau kamu tidak mau memakainya, biar kami yang menikmatinya. Aku tidak mau rugi." Alan bersuara.

Reigan semakin kesal. "Berapa nominal yang kamu habiskan untuknya, Rangga akan mentransfernya segera," pungkas Reigan dengan tatapan setajam belati, membuat Alan tak berkutik. "Gadis bandel, sekarang kamu milikku?" Ia menarik tubuh ramping Hana, kemudian membopongnya tanpa kesusahan sama sekali.

"Lepaskan aku! Aku bisa jalan sendiri." Hana berontak, tapi tidak dapat mempengaruhi Reigan sama sekali.

"Diamlah, gadis bandel. Aku menyelamatkanmu dari jurang kehancuran. Aku kenal ibumu, dia adalah seorang wanita baik hati dan terhormat. Kelakuanmu membuatku mual. Jangan sekali-kali melawan. Ingat, aku sudah membayar ganti rugi yang besar kepada si brengsek itu. Jika tidak mematuhi semua perintahku, aku akan menuntut ganti rugi padamu." Reigan mengancam dengan wajah serius.

Hana tidak bisa bergerak lagi, sedangkan Alan terpaku dalam rasa penasaran, ia ingin tahu hubungan antara Reigan dan Hana.

"Kamu bukan keluargaku! Kamu tidak berhak mengatur hidupku! Jangan bertingkah seolah-olah kamu adalah orang tuaku."  Hana meluapkan emosinya dengan suara parau.

Reigan terus berjalan menuju mobil, diikuti oleh orang-orangnya. "Aku sudah membayar mahal untuk menebusmu. Jika tidak bisa berterima kasih, setidaknya jangan merepotkanku. Duduklah yang tenang di dalam mobil." Reigan berubah lembut, ingin membuat Hana merasa nyaman.

Hana terpana membalas tatapan Reigan yang dalam dan teduh kepadanya. Ia mulai percaya kalau Reigan tidak berniat buruk. Terlebih lagi saat tangan Reigan menepuk bahunya dengan lembut. Perlahan pria itu melepaskannya di kabin belakang. Tapi, Hana kesulitan berpaling dari wajah pria itu yang sangat tampan.

"Haruskah aku percaya kepada pria ini. Jangan sampai aku  terbius  oleh ketampanannya.

Setelah melihat Hana tenang, barulah Reigan melepaskan bahu gadis itu perlahan-lahan. Reigan duduk di deretan kursi bagian tengah, kemudian memerintahkan sopir melajukan kendaraan roda empat itu.

'Siapa dia sebenarnya? Mengapa dia berlagak baik padaku? Jangan-jangan dia punya niat buruk di dalam hatinya?' Hana membatin resah.

"Kita mampir ke rumahku sebentar saja, ada tamu yang menungguku di sana. Setelah itu aku akan mengantarmu pulang. Aku ingin bertemu dengan ibumu secara langsung, sudah lama sekali aku tidak bertemu lagi dengannya." Reigan membuka pembicaraan.

"Oh, Om mengenal mendiang ibuku?" Hana tak menduga kalau pria di hadapannya ternyata mengenal ibunya.

"Wait...! Bibi Arumi sudah meninggal?" Suara Reigan sendu, raut wajahnya berubah mendung. Ia menatap Hana dengan netra berkaca-kaca.

"Hhhh...." Hana menarik nafas panjang. "Iya, ibuku meninggal sekitar dua tahun yang lalu. Sekarang aku tinggal bersama ayah, ibu, dan saudara-saudara tiriku. Tinggal bersama mereka memberiku banyak tekanan, rasanya lebih baik mati saja."

Netra Reigan menyipit, kedua alisnya bertaut. "Oh, jadi itu yang membuatmu ingin terjun dari rooftop gedung. Pantas saja kamu tahu jalan cepat menuju rooftop, ternyata benar kamu putri Bibi Arumi. Aku lupa namamu dan kamu pasti tidak mengingatku, sebab saat aku dirawat  olehnya, kamu masih berusia tiga tahun. Dulu, ia sering membawamu ke rumahku."

"Hmmm... begitulah, Om." Hana tidak bisa menutupi apapun. 'Jadi, semua ini karena ibu...." gumam Hana takjub, ia tidak bisa mengingat apapun tentang Reigan.

"Jangan panggil aku, Om. Aku akan mengasuhmu dengan baik. Call me, Papa!"

"Enggak mau. Aku enggak mau jadi budak asuh Om-om."

"Hahahaha...! Ternyata kamu lucu juga. Sorry, gadis sembilan belas tahun sepertimu bisa apa? Kamu bukan tipeku.  Diamlah, mari turun dan berbicara di dalam rumah."

Mobil mewah itu berhenti di halaman sebuah rumah yang cukup megah, ini adalah rumah kedua Reigan yang terletak di lokasi pinggiran kota. Di sini ia biasa menenangkan diri saat hari libur.

Reigan mempersilakan Hana duduk di sofa. Tidak lama kemudian muncul seorang wanita yang dari wajahnya terlihat berusia  empat puluhan.

"Hana, ini Mbak Rina. Dia yang akan membantu mengurus semua kebutuhanmu di rumah ini. Mbak Rina, ini Edelweis Hana, sejak hari ini ia adalah putri angkatku. Perlakukan putriku dengan  baik." Reigan memberi perintah dengan jelas.

Wajah Rina terkejut dan heran, tapi ia sadar ia tidak boleh banyak bertanya. "Baik, Tuan. Saya akan merawat putri angkat Anda dengan baik."

'Mimpi apa aku punya Papa angkat tampan dan kaya raya begini. Jangan-jangan dia punya niat  lain padaku.' Hana membatin, masih memendam curiga kepada Reigan.

"Aku tidak punya alasan untuk menjadi putri angkatmu. Lagi pula semua ini sangat mencurigakan. Aku tidak percaya  ada manusia yang tiba-tiba  baik ingin mengurus gadis tidak  berharga sepertiku. Jangan-jangan aku akan dijadikan tumbal pesugihan olehmu." Hana meracau  seenaknya.

Kesabaran Reigan setipis tisu, ia bangkit mendekati gadis  yang duduk bersandar pada punggung sofa di hadapannya. Hana tersentak saat Reigan merunduk dan mencengkeram kedua pipinya dengan jari jemari yang panjang dan kokoh.

"Siapa bilang dirimu tidak berharga, kalau diperhatikan baik-baik sebenarnya kamu sangat cantik. Hmmm... cuma kurang terawat. Aku yakin kalau kamu belajar dengan tekun, kamu bisa sukses kelak. Mengenai biaya kuliahmu bahkan biaya hidupmu, itu adalah urusanku. Aku banyak berhutang budi pada Arumi, ibumu. Itulah mengapa aku  ingin mengurusmu dengan menjadikanmu  sebagai putri angkatku. Jadi, jangan banyak tanya lagi. Ambil kartu ini, gunakan untuk semua keperluanmu. Aku tidak ingin melihatmu lusuh dan kumal. Rawat dirimu dengan baik. Jangan lupa, panggil aku papa." Reigan berbicara lembut tepat di depan wajah  Hana.

Hana terdiam mendengar kalimat panjang Reigan. Wajah mereka menjadi begitu dekat. Reigan menatap wajah Hana dengan teliti dan saksama. Mereka bersitatap cukup lama. Jiwa Hana seakan-akan tersedot ke dalam kedua bola mata coklat  milik Reigan. Hana semakin menyadari betapa sempurna pria di hadapannya secara fisik.

"T-t-terima kasih, Pa-pa...."

Hana menerima kartu kredit limited edition yang disodorkan Reigan dalam irama jantung bertalu-talu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel