### chapter 2 moment pertama
Embun malam di luar restoran menetes perlahan di kaca jendela.
Udara Virelle City masih menyimpan sisa wangi bunga musim semi, bercampur cahaya kota yang berpendar di kejauhan.
Kael melangkah lebih dulu ke arah mobilnya, sebuah sedan hitam yang terparkir di bawah lampu jalan berwarna keemasan. Ia membukakan pintu penumpang dengan gerakan ringan, lalu menoleh pada gadis di belakangnya.
“Sena,” panggilnya pelan. “Masuklah.”
Sena sempat ragu sesaat. Ia menatap tangan Kael yang menahan pintu, lalu tersenyum gugup sebelum melangkah masuk.
Hatinya berdebar aneh bukan karena takut, tapi karena terlalu sadar akan kehadiran pria itu di dekatnya.
Ia jarang berhadapan langsung dengan laki-laki.
Sejak kecil, ibunya terlalu sibuk, dan dunia Sena hanya diisi buku, laboratorium, serta jadwal belajar yang ketat.
Kini, duduk di mobil bersama pria setampan Kael Noah Drevauk terasa seperti berada di dunia lain dunia yang terlalu besar untuk jiwanya yang pendiam.
Kael menutup pintu pelan, lalu masuk ke sisi pengemudi. Mesin menyala lembut, menyatu dengan musik instrumental yang mengalun pelan dari audio mobil. ia menoleh sebentar, tersenyum.
“Sudah nyaman?”
Sena mengangguk cepat. “Ya... nyaman.”
Suaranya pelan, nyaris tenggelam di antara bunyi mesin.
Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan restoran, melewati deretan lampu jalan yang berbaris rapi di sepanjang boulevard Montreux Haven.
Kael menatap jalan, tapi matanya sesekali berpindah ke arah Sena. Ia tahu gadis itu bukan tipe yang mudah bicara.
Ayahnya sudah memberitahunya Sena harus diajak berbicara dulu, baru akan terbuka.
Jadi Kael mencoba.
“ibu mu bilang kamu kuliah di kedokteran?” tanyanya pelan, menjaga nada agar terdengar santai.
Sena menoleh sedikit, ragu-ragu. “Iya... semester empat.”
“Pasti sibuk, ya?” Kael melirik sekilas, lalu tersenyum kecil. “Aku tidak akan sanggup mengingat semua nama organ tubuh manusia.”
Sena tertawa pelan tawa kecil yang akhirnya memecah keheningan. “Tidak sesulit itu, kok.”
Kael menatap sekilas lagi, dan kali ini benar-benar tersenyum.
Tawa itu… sederhana, tapi terasa seperti keberhasilan kecil.
Malam di luar terus berjalan. Mobil mereka melaju di bawah langit penuh cahaya kota, dua siluet muda di dalamnya satu berusaha membuka diri, satu mencoba menjaga jarak.
Dan di antara mereka, udara terasa berubah lembut, tenang, tapi juga berbahaya dalam keindahannya yang diam-diam.
Kael melirik Sena sejenak. Gadis itu kini tampak sedikit lebih santai. Tangan yang tadi kaku di pangkuan, kini sudah berpindah ke sisi jendela, jemarinya sesekali mengetuk pelan mengikuti irama musik.
“Berapa usiamu sekarang?” tanya Kael akhirnya, suaranya terdengar ringan.
“Dua puluh,” jawab Sena, matanya masih menatap ke luar jendela. “Tahun depan dua puluh satu.”
Kael mengangguk, senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
“Jadi selisih kita delapan tahun.”
Ia meliriknya sekilas. “Kupikir kamu lebih muda. Mungkin karena cara bicaramu.”
Sena tertawa kecil. “Banyak yang bilang begitu.”
Tawanya kali ini lebih lepas, seperti akhirnya menemukan ruang aman.
Kael melanjutkan, “Kamu punya hobi, Sena? Selain belajar tentu nya”
Pertanyaan itu membuat gadis itu berpikir sejenak. “Hm… aku suka membaca. Kadang menggambar juga, kalau lagi bosan.”
Ia menoleh sebentar, lalu tersenyum malu. “Tapi aku tidak terlalu pandai.”
Kael tertawa pelan. “Tidak apa-apa. Dunia tidak butuh orang yang sempurna di semua hal. Kadang, cukup jadi orang yang tahu kapan harus tenang.”
Sena menatapnya sesaat, matanya seperti menangkap sesuatu dalam ucapannya kehangatan yang sederhana tapi tulus.
Untuk pertama kalinya malam itu, ia membalas dengan senyum tanpa ragu.
“Kalau kamu?” tanyanya balik, pelan tapi penuh rasa ingin tahu.
Kael mengangkat alis sedikit. “Aku?”
Ia berpikir sebentar. “Aku suka berolahraga, main musik sedikit, dan… menyetir.”
Nada terakhirnya diucapkan dengan senyum yang nyaris terdengar.
Sena tertawa kecil, kali ini tanpa menahan diri. “Menyetir termasuk hobi, ya?”
“Kalau orangnya tepat di kursi sebelah, mungkin iya.”
Kalimat itu meluncur ringan, tanpa maksud apa pun. Tapi bagi Sena, ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantungnya berdebar aneh.
Ia menatap ke luar jendela, menyembunyikan pipi yang tiba-tiba memanas.
Kael hanya tersenyum samar, kembali menatap jalan di depannya.
Di luar, lampu-lampu kota berlari seperti garis-garis emas.
Dan di dalam mobil itu, dua hati yang belum tahu arah perlahan mulai berdetak dalam irama yang sama.
Suara mesin mobil mengisi ruang di antara mereka, tenang dan berirama.
Virelle City di luar kaca tampak seperti lautan cahaya — setiap jendela, setiap lampu jalan, berkilau seolah ikut mengawasi percakapan dua manusia muda yang sedang belajar memahami arti “keluarga baru.”
Setelah beberapa menit dalam keheningan yang damai, Kael membuka suara, nada suaranya ringan, tapi kali ini sedikit lebih dalam.
“Jadi… gimana ke dua orang tua yang kasmaran tadi akan menikah 2 hari lagi kan”
Sena mengangguk pelan. “Iya. mommy sudah bercerita. Aku belum terlalu bisa membayangkan semuanya.”
Ia tersenyum kecil, lalu menatap keluar jendela. “Rasanya aneh… tapi juga menyenangkan. dia terlihat bahagia.”
Kael meliriknya sekilas. “Aku juga bahagia untuk mereka.”
Ia terdiam sesaat sebelum menambahkan, “Dady sudah lama sendiri. Dan kurasa, Casandra membuatnya merasa… hidup lagi.”
Sena menoleh perlahan, matanya melembut. “Iya. Mereka tampak cocok, ya.”
Kael mengangguk, senyum samar menghiasi wajahnya. “Terlalu cocok, malah. Sampai aku merasa sedikit tersisih.”
Sena tertawa pelan. “Kau tidak sendirian dalam hal itu.”
Lalu suaranya mengecil, nyaris seperti bisikan. “Aku juga akan kehilangan waktu dengan nya. Ia akan lebih sering di rumah sakit atau di sisi Tuan Drevauk.”
Kael menatapnya, ada sesuatu dalam nada itu yang terasa jujur dan polos.
Ia menurunkan kecepatan mobil sedikit, lalu berkata lembut,
“Kau tidak akan kehilangan siapa pun, Sena. Sekarang kau akan punya keluarga yang lebih besar… dan seseorang kakak yang akan memastikan kau tidak merasa sendirian.”
Sena menunduk, memainkan ujung rambutnya.
" lantas bagaimana dengan mu??"
Kael tersenyum tipis. “Tentu saja ini hal yang baik.”
Hening kembali turun di antara mereka, tapi kali ini tidak lagi canggung.
Udara di dalam mobil terasa lebih hangat, lebih akrab. Seolah kata-kata yang sederhana itu telah membuka pintu kecil dalam hati keduanya.
“Ngomong-ngomong… kalian akan pindah ke Drevauk Manor setelah pernikahan mereka nanti. Ayah sudah menyiapkan kamar baru untuk Mu”
Sena menatapnya cepat, terkejut. “Pindah… ke rumahmu?”
“Ya.” Kael tersenyum. “Rumahku akan menjadi rumah mu juga nanti.”
Ia menatap jalan kembali, suaranya terdengar ringan, tapi tatapannya menyimpan sesuatu yang tidak terucap. “Tempatnya besar, tenang… mungkin kamu akan suka.”
Sena tidak menjawab. Matanya kembali pada jendela, menatap refleksi samar wajahnya sendiri.
Rumah baru. Keluarga baru. Dan laki-laki di sampingnya yang entah mengapa, membuat semuanya terasa lebih sulit untuk didefinisikan.
Mobil terus melaju di bawah lampu-lampu kota.
Dan dalam perjalanan pulang malam itu, tanpa mereka sadari, percakapan sederhana tentang keluarga mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih pribadi seperti awal dari rahasia kecil yang belum bernama.
Mobil kael berhenti perlahan di depan rumah kecil bergaya modern yang dikelilingi pagar besi hitam dan taman mungil di sisi kanan.
Lampu halaman masih menyala, menebarkan cahaya kekuningan yang lembut di atas dinding putih.
Kael mematikan mesin, membiarkan suara kendaraan menghilang perlahan ke kejauhan.
Sena melepas sabuk pengamannya dengan gerakan gugup, menatap ke luar jendela tidak ingin duluan berbicara.
“Sudah sampai, nona manis” ucap Kael pelan, nada suaranya tenang seperti biasa.
Sena menoleh, mengangguk kecil. “Terima kasih sudah mengantar ku pulang "
Kael tersenyum, hendak membalas, tapi ponselnya tiba-tiba berdering.
Nada dering itu terdengar jelas di antara kesunyian malam. Ia melihat sekilas layar ponsel dan tanpa sadar, senyum kecil muncul di wajahnya.
“Sebentar, ya ada telephon masuk” katanya pada Sena sebelum menjawab.
Suara di seberang tampak lembut, akrab, bahkan sedikit menggoda.
“Ya... aku baru saja sampai, mengantar pulang adik ku” Kael menjawab, nada suaranya berubah lebih hangat. “Sebentar lagi aku akan kesana.”
Ia tertawa kecil. “Hm? Tidak, belum. Baiklah, tunggu sebentar bawelll...ok.”
Sena menunduk, jemarinya menggenggam tas kecil di pangkuan.
Suara tawa itu mesra, ringan, tapi cukup untuk menimbulkan sesuatu di dadanya. Perasaan aneh yang bahkan tak ingin ia beri nama.
Ketika Kael menutup telepon, suasana di mobil mendadak terasa lain.
Ia kembali menatap Sena, kali ini dengan senyum sopan tapi sedikit terburu-buru.
“Maaf, aku harus pergi dulu. Ada urusan yang tidak bisa kutunda.”
Sena mengangguk, suaranya nyaris tak terdengar. “Oh… baik.”
Kael membuka pintu, lalu berjalan memutar ke sisi penumpang untuk membukakan pintu bagi Sena.
Udara malam menyapa, dingin dan sedikit berembun.
“Masuklah. Sudah malam.”
Nada suaranya tetap lembut, tapi mata itu tak lagi sehangat beberapa menit sebelumnya.
Sena menatapnya sebentar cukup lama untuk menyadari bahwa senyum di wajah Kael masih ada, tapi tidak lagi untuknya.
“Terima kasih ya,”
Kael mengangguk ringan. “Istirahatlah. Hati-hati besok.”
Lalu ia berbalik, melangkah kembali ke mobilnya.
Dari balik pagar, Sena melihat mobil hitam itu menjauh, lampu belakangnya perlahan lenyap di tikungan jalan.
Hening menyelimuti halaman.
Ia menarik napas panjang, menatap langit malam yang kosong.
Untuk alasan yang tidak ia mengerti, ada rasa sesak kecil di dadanya
seolah sebagian dirinya ikut pergi bersama mobil itu.