### chapter 3 tentang sena
___POV Sena__
Entah rasa apa yang bergemuruh di dalam hati kecilku malam itu.
Ada sesuatu yang hangat, lembut, tapi juga menakutkan seperti ombak kecil yang menyentuh tepi pantai lalu tak mau surut lagi.
Aku merasa nyaman.
Baru kali ini, selama dua puluh tahun hidupku, ada seorang laki-laki yang memperlakukanku dengan cara sehangat itu.
Kael Noah Drevauk.
Nama itu terngiang-ngiang di kepalaku, seperti melodi yang tak mau berhenti.
Aku bukan gadis yang mudah dekat dengan siapa pun. Sejak kecil, dunia di sekitarku diatur oleh jadwal, buku, dan disiplin yang tak pernah longgar.
Tapi malam itu, ketika ia membukakan pintu, menatapku dengan senyum pelan, lalu berkata bahwa aku bisa mengandalkannya… aku merasakan sesuatu yang belum pernah kualami sebelumnya.
Pipiku memanas setiap kali mengingat senyumnya.
Apakah ini rasanya memiliki seorang kakak?
Pertanyaan itu bergema tanpa jawaban, hanya menimbulkan gelombang kecil di dalam dada yang tak mau tenang.
Aku sempat terkejut ketika Kael mengatakan bahwa aku dan Ibu akan pindah ke rumah besarnya setelah pernikahan nanti.
Namun anehnya, hati kecilku justru merasa senang.
Aku membayangkan ruang besar itu, dengan jendela tinggi dan langkah kaki Kael di dalamnya dan tanpa kusadari, aku menantikan hari itu.
Aku mengaguminya.
Hangat, ramah, tapi juga memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan… ketenangan, mungkin.
Atau mungkin sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Namun semua perasaan itu mendadak berubah arah ketika kudengar suara teleponnya di mobil tadi.
Nada suaranya menjadi berbeda lebih lembut, lebih mesra, seperti seseorang yang sedang berbicara dengan wanita yang berarti baginya.
Ada desir aneh di dadaku.
Tidak nyaman Tapi seperti nyata.
Aku menatap langit-langit kamar malam itu, bertanya pada diri sendiri tanpa suara:
apa sebenarnya yang sedang kurasakan ini?
Dan di antara hening, jawabannya justru semakin kabur .
Malam sudah turun sempurna ketika mobil hitam itu berbelok masuk ke area parkir bawah sebuah gedung tinggi di jantung Virelle City.
Lampu-lampu neon di langit-langit basement memantul di permukaan mobil Kael, menciptakan kilau dingin yang berbaur dengan bayangan malam.
Gedung itu menjulang setinggi empat puluh tiga lantai Celestine Tower, salah satu hunian paling eksklusif di distrik Elaris.
Tempat para pengusaha, aktor, dan pejabat kota mencari ketenangan di balik kaca dan keheningan.
Kael memarkir mobil di tempat yang sudah hafal di luar kepala. Slot pribadi di dekat lift, bertanda “Reserved A. Armitage.”
Ia tidak menuju kediamannya sendiri malam itu.
Tempat ini apartemen di lantai 43 milik seseorang yang sudah lama menjadi bagian dari hidupnya.
Kael menekan tombol lift dan melangkah masuk begitu pintu terbuka.
Lantai baja berkilau memantulkan siluet tubuhnya.
Ia menekan angka 43, lantai teratas.
Suara lift meluncur halus ke atas, hanya diiringi detak samar jarum jam di pergelangan tangannya.
Di dinding kaca lift, pemandangan Virelle City terbuka perlahan: lautan cahaya, garis jalan yang membentuk nadi kehidupan, dan gemerlap jembatan Elaren Bay di kejauhan.
Ketika pintu terbuka, aroma parfum mahal langsung menyambut aroma vanilla amber bercampur nada tipis musk yang khas.
Koridor itu berakhir di satu pintu putih berlabel elegan ARHIYA ARMITAGE.
Kael menekan sandi pintu itu terbuka.
Cahaya lembut dari dalam ruangan menyambutnya interior luas dengan jendela kaca setinggi langit-langit, tirai tipis menari pelan ditiup angin malam.
Di dalamnya, seorang wanita berdiri di depan meja bar, memegang segelas wine merah.
Arhiya Armitage.
Top model internasional, aktris besar, wajah yang menghiasi papan iklan di seluruh kota.
Gaun malam nya jatuh anggun di bahu, dan rambut panjangnya yang keemasan menyorot pantulan cahaya lampu.
Kael menutup pintu di belakangnya, melepas jasnya, dan berjalan mendekat.
“Aku datang kekasihku...” katanya pelan, suaranya tenang tapi penuh kelelahan yang disembunyikan di balik senyum.
Arhia menatapnya dari balik gelas. “Kau terlambat kael,,,” ucapnya lembut, namun matanya tidak menyimpan amarah hanya kebiasaan dari seseorang yang tahu posisinya penting.
Kael tertawa kecil. “Aku mengantar adikku pulang dulu.”
Kata “adik...adik baru mu itu ya seperti nya dia akan mengeser posisi ku” terucap ringan, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya ketika menyebutnya.
Arhia mendekat, meletakkan tangannya di dada Kael, menatap lurus ke matanya.
“Selalu sibuk, Mr. Drevauk, kau lupa ada seseorang yang membutuhkan pelukan dan kasih sayang mu” bisiknya manja. “Tapi aku sudah terbiasa menunggumu.”
Kael hanya tersenyum tipis.
Ia menatap Arhia sekali lagi, mencoba kembali ke peran yang sudah lama ia jalani.
Namun untuk pertama kalinya, kehangatan di ruangan itu terasa sedikit berbeda.
Tidak salah, hanya... terlalu tenang.
" kau tak akan pernah tergantikan arhia"..
kael mendekat.
Cahaya malam dari jendela tinggi menumpahkan warna perak ke lantai kayu.
Suara lembut city hum dari bawah terdengar samar, bercampur dengan dengung pendingin ruangan yang nyaris tidak ada.
Arhia berdiri di hadapan Kael, wajahnya setengah tertutup bayangan, mata itu menyala di bawah cahaya lampu gantung yang menggantung rendah.
Kael menatapnya diam-diam.
Ada sesuatu dalam sorot mata wanita itu keindahan yang sudah terlalu lama dikenalnya, namun malam ini terasa lebih liar.
Senyum itu, langkah mendekatnya, aroma kulitnya… semuanya tetap sama.
Arhia mendekat, jemarinya menyentuh rahang Kael dengan lembut.
“Lihat aku, kael” bisiknya.
Kael menuruti, menatap mata itu. Dalam diam, ia melihat bayangan dirinya sempurna.
Udara di ruangan itu menebal.
Tidak ada kata, hanya napas yang beradu pelan, seperti dua detak yang mencoba mencari tempo yang pernah mereka bagi.
Kael meraih pinggang Arhia, gerakannya refleks, nyaris otomatis.
Sentuhan itu tidak keras, tapi penuh kendali.
“Aku tahu kamu lelah, tapi aku menginginkan nya malam ini” suara Arhia rendah, lembut seperti bisikan rahasia. “Kau selalu lelah, Kael. Dunia terlalu banyak menuntutmu.”
Kael menutup matanya sesaat, merasakan jarak di antara mereka menghilang.
Bibirnya menyentuh bibir Arhia, lalu turun sedikit pelan, nyaris tak menyentuh seperti seseorang yang mencoba mengingat rasa yang pernah ada.
Arhia menautkan jemarinya di leher Kael, menariknya sedikit lebih dekat dan menekan.
Suasana ruangan perlahan memudar di sekitar mereka.
Hanya detak jantung yang terdengar berdegup lebih kencang, membawa sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar keinginan.
Ada keterbiasaan di sana, tapi juga kehampaan yang sulit dijelaskan.
Kael menatap wajah Arhia sekali lagi.
Ia merasakan hasrat yang begitu meluap di dalam diri Arhia
Senyum tipisnya muncul di antara napas yang tertahan.
“Baik lah malam ini aku akan bermain dengan mu Arhia sampai kau bilang menyerah kepada ku” katanya pelan,
namun suaranya terdengar seperti seseorang yang penuh kepercayaan diri kuat.
Arhia menatapnya lama.
“Jangan bilang itu kalau kau tidak yakin.” jari telunjuk kecil Arhia menyentil pelan ujung hidung kael degan manja.
"mari aku buktikan Arhia ..." aku kan membuat mu minta ampun malam ini"
Kael meraih pergelangan tangan Arhia, menariknya mendekat hingga jarak di antara mereka menyusut, dan napas hangat Arhia menerpa kulitnya. Tatapan Kael kini tak lagi hanya menantang; ada kobaran yang sama yang membakar di mata Arhia, cerminan dari hasrat yang tak terucapkan.
"Tentu saja aku yakin," bisik Kael, suaranya serak dan rendah, sarat janji yang menggetarkan. Ia mendekatkan wajahnya, membiarkan keheningan berbicara sebelum bibirnya menyentuh kulit lembut di bawah telinga Arhia.
Sentuhan itu lembut, namun memicu gelombang panas yang menjalar. Tangan Arhia beralih dari hidung Kael ke belakang lehernya, menariknya lebih dekat.
Keheningan kembali menyelimuti mereka, lebih tebal dari sebelumnya, hanya dipecahkan oleh desahan pelan yang tertahan. Detik-detik berikutnya terasa lambat dan cepat sekaligus. Mereka bergerak ke sudut ruangan yang lebih teduh, di mana bayangan menari-nari dan menyembunyikan detail.
Hanya garis-garis siluet yang terlihat dua tubuh yang saling mencari, ritme yang semakin intens, dan suara napas yang terengah-engah dan bercampur menjadi satu melodi hasrat.
Pakaian mulai longgar, terlepas dengan tergesa-gesa namun penuh makna. Yang tersisa hanyalah tekstur kulit, kehangatan yang berbagi, dan janji-janji yang diucapkan dalam bisikan yang tak mungkin didengar oleh dunia luar.
Malam itu menjadi milik mereka sepenuhnya, sebuah penyerahan total yang jauh melampaui sekadar maaf. Itu adalah deklarasi, dan gema dari detak jantung mereka menjadi satu-satunya hitungan waktu yang penting.