Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 2

Bagian 2

Aku kembali lagi dengan update-an yang sedikit :), jangan lupa sediakan makanan dan minuman untuk menikmati karyaku, walau cuma beberapa kata tapi setidaknya update bukan, maaf. Sampai jumpa lagi besok di lain hari.

***

Esoknya

"Kenapa pengantin prianya masih anak-anak.” Desas-desus para tamu yang melihatku bergandengan dengan anak kecil ini. Lama-lama aku kayak pedofil yang suka sama anak-anak. Ya ampun mau ditaruh di mana ini muka.

Ini juga, uda tahu lagi dipermalukan mala santai saja, untung aku hanya mengundang sahabatku saja. Kalau sempat satu kampus, namaku kayaknya bukan Affry lagi melainkan pedofil

Sesampainya di altar, pak pendeta mengambil sebuah buku yang besar dan mulai menanyakan kepadaku dan dia. Aku hanya bisa diam, meratapi nasibku yang menikahi anak kecil, merengek pun tidak ada gunanya.

"Zen, apakah kamu akan menyayangi istrimu selamanya?" ucap pendeta kepadanya.

Jadi namanya Zen ya, astaga aku kayaknya calon istri yang paling gila. Nama calon suami saja tahunya pas uda mau nikah. Bisa hancur ini kalau yang lainnya tahu.

"Iya," jawab Zen dengan singkat.

Pendeta kemudian mengganti posisi pandangannya, sekarang dia menghadap ke arahku, aku menelan ludah. Apa aku sanggup mengatakan iya nanti? Atau aku malah kabur, tidak mungkin. Aku tidak mau menahan malu lagi, lebih baik aku menerimanya langsung biar cepat selesai.

"Affry apakah kamu akan selalu bersama dengan suamimu dikala kalian susah atau senang," ucap pendeta.

"I—iya,” jawabku terbata.

"Sekarang kalian memasangkan cincin ke tangan pasangan kalian,” ucap pendeta memberikan cincin tersebut. "Sang mempelai lelaki yang pertama,” sambungnya lagi dan aku hanya bisa pasrah.

Kuberikan tangan kiriku padanya, dia memegang tanganku. Astaga, tangannya begitu dingin dan sangat besar bahkan lembut. Dia mulai memasangkan cincin tersebut ke jari manisku.

Sesuai tahap, kini giliranku yang memasangkan cincin. Reaksinya dingin sekali, aku bahkan sampai takut untuk memegang tangannya apa lagi memasukkan cincin. Semoga dia tidak membuatku malu

Walau pemasangan cincinnya sudah selesai dan semuanya bertepuk tangan, pria kecil ini masih saja tetap diam. Senyum dikit kenapa sih? Raut wajahmu yang sok begitu dingin rasanya aku mau memukulnya.

"Baiklah proses pernikahan akan selesai, Tuan Zen Anda boleh mencium istri Anda,” ucap pendeta.

What?! Kenapa aku bisa lupa sama ritual ini, astaga masa iya aku dicium sama dia. Cinta saja enggak, ya, tapi mau bagaimana lagi aku harus menerimanya.

"Ha?! Cium?" Zen kaget mendengar hal itu, bentar dia kagetnya kok begitu sih, apa dia jijik menciumku. Dia kira juga aku mau dicium sama dia apa? Enggak juga kali, sombong banget sih. Dibunuh dosa tidak ya?

"Kenapa aku harus menciumnya, aku kan pendek biarkan saja dia yang menciumku.” Dengan lancang Zen membantah pendeta itu.

Ini anak kayaknya uda miring deh, di mana yang cium itu laki-laki bukan cewek, makanya jadi cowok jangan pendek. Satu lagi ini anak bicara pikir apa gak ya? Semua orang kan jadi tercengang gitu.

Malunya itu gak ke mana. Terpaksa deh aku kalah dan cium dia, dari pada dilihati penonton terus. Lagian lebih cepat lebih baik, aku tidak perlu menanggung malu lagi karena perbuatannya.

Aku menundukkan badanku sikit karena aku lebih tinggi dibandingkan dia, saat aku ingin mencium keningnya, tiba-tiba saja dia menarik kalung yang kupakai dan ....

Chup ...

Dia menciumku di bibir, Ini anak kayaknya uda gila,

katanya yang cium harus aku. Lah waktu dicium kenapa malah dia yang ambil ahli cium, uda itu kenapa sampai sekarang dia tidak menyelesaikannya.

Mpph ....

Buset ini anak lama amat ciumnya ... tidak malu apa ditengok i orang, segera kudorong-dorong tubuhnya pelan agar dia segera melepaskan ciumannya. Ini sudah cukup lama dan aku hampir kehabisan napas.

Beberapa detik kemudian dia melepas ciuman tersebut, lalu tersenyum sinis memandangku. Aku pikir mungkin dia akan menerkamku nanti.

Acara pun selesai semua tamu berpulangan dan kami pun juga, sesampainya di rumah Zen. Mamanya Zen berkata pada kami, "bersiaplah pesawat ke Jepang akan segera berangkat.”

Aku hanya terdiam saja sedangkan Zen meloncat-loncat kegirangan, apa dia betulan menerkamku nanti? Sampai-sampai dia bisa sebahagia itu? Segera kutanyakan pada Mamanya Zen apa mereka ikut atau tidak.

"Mama, apa kalian akan ikut?"

"Tentu saja tidak menantuku, itu kan bulan madu kalian, pulang dari sana Mama berharap kalian membawa seorang cucu buat Mama,” ucapnya dan aku hanya menelan ludah, aku belum mau punya anak. Dan itu memang tidak boleh.

Beberapa jam kemudian kami sudah siap untuk berangkat. Selama perjalanan dia tidak ada berbicara apa pun, hanya kekosongan dan keheningan saja yang ada. Aku pun tidak mau memulai pembicaraan pertama kali, lagian tidak ada yang ingin aku tanyakan.

Akhirnya kami sampai juga ... kami langsung mengambil tas dan pergi keluar. "Ke mana kita selanjutnya?” Tanyaku padanya. Dia hanya menunjuk ke arah taksi

Aku pun mengerti maksudnya.

Segera kami masuk, perjalanan kami lumayan jauh. Hotel yang kami tempati adalah hotel khusus yang disediakan orang tuanya. Jadi maklum saj kalau tempatnya strategis dan sedikit jauh dari bandara.

Saat sampai, aku begitu kaget melihatnya. Hotel itu sungguh besar dan luas, dia pergi mengambil kunci kamar, dan setelah dia mendapatkannya. Kuikuti dia dari belakang, gayanya saat jalan, seakan-akan dialah bos di hotel ini.

Sesampainya dikamar dia melemparkan tasnya ke kasur lalu membuka jasnya. "Buka bajumu,” katanya secara spontan padaku.

"Maksudmu,” jawabku yang masih penasaran.

"Kamu kan istriku? Tujuan kita ke sini buat bulan madukan?" jelasnya.

Ini anak baru ngomong uda ajak main. Kiranya aku mau apa? "Aku gak mau!" bantahku, kupelototi mataku le arahnya dan dia hanya diam.

Apa pun alasannya, untuk sekarang aku tidak akan membiarkannya menyentuhku. Aku tidak mau punya anak sekarang, lagian aku masih takut untuk melakukan hal seperti itu. Walau umurku sudah cukup, tapi dia kan belum.

"Begitu, bersiaplah untuk mati nanti malam.” Dia tersenyum sinis padaku.

Mati? Memang dia mau melakukan apa? Terserah dia, aku tetap tidak peduli mau dia mengancamku, mau dia menerkamku kalau aku bisa bertahan tidak masalah. Dia kemudian keluar dari kamar.

Aku tidak akan tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini. Beberapa jam kemudian, pukul 20.00, anak itu belum pulang juga. Aku merasa sedikit khawatir. Sejarahnya dia tidak tahu bahasa Inggris apalagi bahasa Jepang. Kalau dia nyasar bagaimana? Atau tidak dibunuh orang?

Ah sudahlah lebih baik ditunggu saja. Sudah lebih sepuluh kali lebih aku bolak-balik mengelilingi tempat tidurku, api tetap saja dia belum pulang sampai jam 21.00. Aku semakin khawatir.

Apa dia tidak mau pulang, karena tidak kukasih jatah ya, akh lupakan saja, lebih baik aku mencarinya kalau dia kenapa-kenapa yang repotkan aku juga. Aku pergi meninggalkan hotel.

***

J a n g a n - l u p a - t a p - l o v e, - f o l l o w, - d a n - j u g a - k o m e n. S i l a k a n - b a c a - c e r i t a - l a i n - y a n g - b e r j u d u l - Ignorant King - a t a u - k e t i k - d i - p e n c a r i a n - Ignorant King - g e n r e - f a n t a s i - R o m a n c e.

Semangat bacanya :v

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel