
Ringkasan
Seorang wanita berumur 21 tahun dan pria berumur 17 tahun menikah? Dengan sifat sang cowok yang kekanak-kanakan dan mesum serta si cewek yang suka marah-marah. Akankah pernikahan mereka bertahan dengan sikap yang bertolak belakang atau mereka akan pisah karena tidak sanggup melanjutkannya lagi? Penasaran juga kenapa mereka bisa menikah? Ayo buruan dibaca.
Bagian 1
Bagian 1
"Mama aku tidak ingin menikah,” ucapku memohon kepadanya agar Mama tidak menikahkanku dengan orang yang tidak kukenal.
"Sayang! Papa dan Mama akan bangkrut, jadi jika kamu menikah dengannya, masalah keuangan kita akan dibantu oleh mereka,” jelas Mama lagi membuatku semakin pusing, apa yang harus kulakukan lagi?
"Tapi Ma! Aku masih kuliah ... aku mau setelah aku wisuda, aku baru menikah.” Penolakan mulai terjadi, aku menangis sambil memegangi kaki Mama yang ada di hadapanku, berharap Mama bisa menerima pendapatku.
"Walaupun menikah, kamu tetap bisa pergi ke kampus sayang,
Mama mohon, apa kamu akan menolak permintaan kami?"
"Baiklah Ma, jika itu yang membuat kalian senang.” Dengan berat hati akhirnya aku menerima pernikahan tersebut, ya Tuhan semoga ini adalah pilihanku yang tepat. Aku tidak mau mereka merasa sedih karena aku membantahnya. Mungkin ini adalah cara untuk membalas pengorbanan mereka padaku.
"Affry! Mama menyayangimu,” ucap Mama sambil memeluk dan mengelus kepalaku.
***
"Apa kamu sudah siap, Sayang?” tanya Mama. Hari ini adalah pesta perjodohanku dengan laki-laki yang tak kukenal sama sekali, bahkan Mama dan Papa tidak menunjukkan identitas tentang dirinya, semoga saja dia lelaki baik yang menerima aku apa adanya.
"Iya, Mama,” jawabku sambil merapikan pakaianku.
Aku kemudian keluar dan menemui Mama di depan kamar, Mama membimbingku turun dan berjalan ke ruang tamu, lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan khusus untukku, di sana ada Papa dan beberapa orang yang tidak kukenal sama sekali sedang berbincang-bincang.
"Maaf kami lama,” ucap Mama karena keterlambatan kami.
Beberapa waktu kemudian proses perjodohan telah siap, tapi ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Aku sudah menunggu lama tapi calon suamiku itu tak kunjung datang, yang ada di hadapanku hanyalah orang tua dan adiknya. Masa iya aku nikah sama adiknya, kan tidak logis, rasa penasaranku semakin memuncak, apa dia laki-laki jahat bahkan perjodohan saja dia tidak datang. Bagaimana saat pernikahan kami nanti, dia akan meninggalkanku atau langsung memasangkan cincin dan pergi seperti yang di komik-komik. Tidak ... tidak, aku harus menanyakannya pada Mama, sebentar lagi acara akan dimulai.
"Ma, di mana pria yang akan menikah denganku ... mengapa dia tak kunjung datang?" bisikku.
"Ha?! Kamu buta ya, Nak? Calon suamimu sudah ada di hadapanmu dari tadi." What, tidak mungkin aku menikah sama anak kecil kan, harga diriku di mana? Mama pasti bercanda.
"Mama, di depanku hanya ada orang tua dan adik dari calon suamiku," tegasku menyangkal perkataan Mama.
"Nak! Dia itu bukan adiknya ... tapi calon suamimu.” Sambil menunjuk ke arah anak kecil itu.
Mama dan Papa kerasukan atau apa ya? Apa mereka mau menantunya lebih muda dari anaknya? Terus aku bisa malu nikah sama anak kecil, apa yang harus kukatakan sama temanku nanti. Masa iya aku bilang, aku mau nikah sama anak-anak.
"Mama bagaimana ini? Masa aku nikah sama anak kecil!” protesku.
"Fry, pelankan suaramu ... bisa malu Mama kalau mereka mendengarnya, tenang saja dia anak SMA kok dan lagi pula dia calon penerus dari perusahaan mereka, terima saja Nak ...."
"Ma! Aku sudah dipaksa nikah, masa dinikahinya sama anak kecil lagi,” rengekku yang tidak menyangka bahwa nasibku akan begini.
"Sudahlah Nak."
Aku hanya bisa diam tidak bisa bicara apa pun, mau bagaimana lagi aku sudah terlanjur menerimanya, ini juga si anak kecil masa mau nikah sih? Masa mudanya kan bisa hancur, di pikirannya apa coba?
Perjodohan pun dilakukan dan aku hanya bisa menerimanya. "Baiklah Pak, proses ini sudah selesai, kami akan pulang.” Akhirnya perjodohan ini selesai juga dan mereka pulang.
Pagi yang cerah dengan wajah yang malas aku pergi ke dapur menemui Mama,
lalu memeluknya dari belakang sambil berkata, "Pagi Ma."
Mama membalasnya, “Pagi juga, Sayang.” Lalu melanjutkan tugasnya yaitu memasak.
"Ma, besok aku akan meninggalkan rumah ini.” Sambil melepaskan pelukan.
"Mama sudah tahu Nak, jadilah istri yang baik dan menantu yang sayang pada mertuanya, kalau tidak salah dengar katanya setelah kalian menikah kalian akan pergi ke Jepang untuk bukan madu. Ehem, Mama saja bulan madunya di rumah,” ucap Mama meletakkan pisau lalu mulai menggelitikiku.
Mama apa-apaan sih, masa anaknya ditertawai kayak begini. Ma kalau suamiku bukan anak kecil ya tidak masalah, ini kan dia masih anak kecil. Dia juga pasti tidak akan mau menjadi seorang Papa di masa SMA-nya.
"Apa sih Ma? Aku itu masih kecil, lagi pula dia kan masih anak-anak, masa anak-anak jadi seorang Papa,” tolakku memayungkan bibir.
"Ya siapa yang bilang buat anak ...? Mama kan bilang bulan madu! Uhuy, ada yang mau punya anak cepat-cepat punya anak ini?" goda Mama lagi membuatku malu. Aku kira pembicaraan Mama lari ke situ rupanya ... astaga malunya aku.
"Kan maksudnya bulan madu itu?” Aku menanyakannya lagi apa maksud Mama yang sebenarnya.
"Kyah ... bulan madu itu bukan hanya untuk membuat anak sayang, tapi supaya kalian berdua bisa memperkuat cinta kalian tanpa ada yang mengganggu, sudah besar harus dijelaskan,” tawa kecil Mama.
"Mama, jangan meledekku lagi," rengekku.
"Iya ... iya, tapi kamu itu lucu tahu hahaha,” tawa lepas Mama lagi dan kali ini aku sangat malu.
"Mama," panggilku, ingin menanyakan sesuatu.
"Apa Sayang? Mau Mama ajari cara membuat sang suami nyaman, atau mau Mama ajari cara yang itu-itu,” ucap Mama mengangkat alisnya kemudian melihat ke arahku.
Ok, Mama dari tadi meledekku dan ini sangat memalukan sekali, tapi ... ah, ntah kenapa dari tadi aku malah memikirkan perkataan Mama. Tidak ... tidak selama aku bisa menjaga kesucianku aku akan melakukannya sampai aku cukup umur nanti.
"Mama ... aku lagi serius!” rengekku dengan suara sedikit keras, semoga dengan ini Mama tidak main-main lagi. Soalnya kepalaku uda sakit mendengarnya, rasanya kayak ingin bunuh orang.
"Baiklah Mama akan menjelaskan, pertama-tama kamu selalu menyiapkan makan untuk suamimu, lalu manja kan dia. Ketika dia sudah nyaman sama kamu dan dia minta jatah ... nah! Langsung kamu kasih biar Mama cepat punya cucu.”
Kenapa pembicaraan Mama jadi ke sini? Kan yang mau ngomong aku tadi. Terus kapan aku tanya hal itu sama Mama. Astaga Mama ini, mungkin lagi kesambet setan kali ya? Atau Mama lagi dapat bonus jatah bulanan dari Papa makanya sesenang ini.
"Mama kok ceritanya jadi ke sini? Apa aku menanyakan hal ini?”
"Ya ... bercanda sayang," bujuk Mama, rasa kesalku semakin memuncak.
"Pokoknya aku tidak akan buat cucu untuk Mama, titik!” Aku kemudian pergi meninggalkan Mama.
"Aku tidak dapat cucu? Tidak akan mungkin, Mama akan memperhatikanmu Sayang seberapa tahannya kamu menahan nafsumu," ucap Mama kuat, aku berhenti lalu melihat Mama. Mama tertawa dan melanjutkan masak.
***
J a n g a n - l u p a - t a p - l o v e, - f o l l o w, - d a n - j u g a - k o m e n. S i l a k a n - b a c a - c e r i t a - l a i n - y a n g - b e r j u d u l - Ignorant King- a t a u - k e t i k - d i - p e n c a r i a n - Ignorant King - g e n r e - R o m a n c e - F a n t a s i.
Semangat bacanya :v
