Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Baby : 4

Matt menelan ludah sebelum kembali melanjutkan, “tubuhmu terbawa arus sungai. Dengan luka bakar di beberapa bagian. Dan…” Ada keraguan dari pancaran wajah Matt . Aku menatapnya lurus dan intens. Dia sedang mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan yang sebenarnya. “Dan apa?” tanyaku penasaran, aku memajukan tubuhku sedikit ke depan, menempel pada pinggiran meja makan. “Wajahmu rusak.” Sendok makanku terlepas, dan jatuh tepat di atas piring di hadapanku hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Aku mematung dengan wajah kaku, dan mata melebar lagi.

Matt yang bertubuh tinggi beranjak dari kursinya, berjalan memutari meja makan menghampiriku, “Kau baik-baik saja?” suara Matt yang terdengar khawatir. “Ya.” Hanya kalimat itu yang berhasil keluar dari bibirku, terdengar penuh penekanan. Kuhela napas dan menghembuskannya perlahan. Menelan ludah dan melirik Matt yang sudah berdiri menjulang tak jauh dariku.

“Aku ingin melihat wajahku.” Matt tidak langsung menjawab, ada rentang waktu sepersekian detik ia menatapku dalam, kemudian ia tarik kursi lainnya yang ada tepat di sampingku dan berujar, “Ada yang ingin aku katakan padamu.” Matt menjilat bibirnya yang kering, lalu melanjutkan ucapannya, ada keraguan di mata Matt , “Aku... Aku mengubah wajahmu menjadi…” kalimatnya menggantung. Sebelah alisku naik dibalik perban. “… menjadi wajah mendiang istriku.”

Jiwaku terasa lepas dari raga, terhempas. Spontan aku menghempaskan punggungku pada sandaran kursi yang aku duduki. “Keadaanmu sangat buruk, dan semuanya berkejaran dengan waktu.”

Bayangan dari masa lalu berkelebat di pelupuk mataku. Sebuah truk barang yang datang dari arah berlawanan datang menerjangku. Membuatku kehilangan kendali atas setir mobil yang ada di tanganku.

“Ruangannya sudah siap, Tuan,” ujar Ella yang sudah kembali dengan langkah yang tidak kami sadari. “Ok. Ayo kita buka perban di wajahmu.” Aku mengangguk pelan. Ella membantuku untuk bangun dari duduk, menggeser kursi agar aku mudah bergerak.

Ruangan yang ada di luar rumah utama. Bangunan yang terpisah. Aku harus melewati pintu geser kaca, dan mendapati taman yang asri dengan sebuah kolam renang besar, mungkin seukuran kolam renang olimpiade. Langkahku melewati jalan setapak diantara rerumputan yang terlihat amat terawat, jelas dari tinggi rumput yang sama.

“Kau telah kembali, Meg. Ya, dia yang akan menjadi dirimu, baby, ” desis Matt yang berjalan di depanku beberapa langkah.

Aku memasuki sebuah ruangan bercat putih. Terasa harum saat pintu dibuka, harum yang berasal dari pewangi ruangan yang terpasang. Aku memasukinya dengan ragu pada awalnya. Namun Matt memintaku untuk masuk. Melangkah kian dalam, berbarengan dengan Ella yang menutup pintu dan meninggalkan aku serta Matt berdua di dalam ruangan.

Mataku mendapati lukisan yang tergatung di salah satu sisi dinding. Sebuah lemari yang berisi buku-buku, dari sampul yang terlihat banyak didominasi oleh buku mengenai kedokteran. “Kau seorang dokter?” tanyaku memastikan sambil menoleh untuk mencari keberadaan Matt di dalam ruangan ini.

“Ya, aku seorang dokter bedah plasik,” sahut Matt dari sebuah kursi.

Aku menoleh kearah Matt lalu terdiam, bagai terkena mantra. Lidahku kelu untuk mengeluarkan suara. “Aku yang melakukan pembedahan pada wajahmu. Kau ingin melihat wajahmu saat--” Aku mengangguk cepat sebelum kalimat Matt selesai. Matt sempat terkejut, namun hanya sesaat sebelum akhirnya dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana jeans yang dikenakannya.

Langkahku mendekat kearah Matt , lalu menarik sebuah kursi beroda mendekatinya. Kurasakan lirikan mata Matt dari ujung matanya. Kami saling menjulurkan tubuh, ponsel milik Matt ada di hadapanku, “Kau yakin?” tanya Matt sekali lagi, dan aku mengangguk dengan tegas.

Bagai sambaran petir, spontan aku menutup mulutku dengan telapak tangan saat ponsel Matt berubah terang dan ada sosok terkapar, kotor, dan tak sadar diri dengan wajah bersimbah darah serta luka bakar, api ledakan telah membuat sisi kanan tubuh terbakar begitu juga dengan wajah. Kerongkonganku terasa tercekik.

Kau akan mati disini. Ya, mati seorang diri.

Tak akan ada yang tahu. Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan.

Bayangan yang ada di pelupuk mataku berpejar jelas, aku terpental, mendarat tepat di tanah dengan kepala yang membentur sebuah batu besar hingga terdengar “BUUKK”, masih jelas di telingaku. “Ledakan itu… ya aku…” aku menarik mundur tubuhku dengan tatapan mata kosong, Matt menatapku dengan heran, keningnya berkerut.

“Kau ingat?”

Aku menggeleng pelan. “Aku… tidak ingat lagi.”

“Baiklah,” ucap Matt sambil menghembuskan napasnya. “Ok, kita mulai untuk membuka perban di wajahmu.” Jantungku berdebar-debar seakan berpacu cepat. Matt memulai dengan memintaku untuk duduk tegak, namun tetap santai. Aku berusaha menurutinya meski bahasa tubuhku tidak dapat berbohong. Jemari Matt mulai melepaskan kait perban yang ada di samping kepalaku. Tangan Matt yang berputar-putar mengelilingi kepalaku.

Tubuh tinggi Matt yang menjulang di hadapanku, menempatkan wajahku tepat berada di depan perutnya. Hari ini Matt mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru yang tangannya di gulung sampai siku. Berpadu padan dengan celana jeans hitam yang bergantung pas di pinggangnya. Hidungku menangkap wangi parfume yang bercampur dengan aroma maskulin dari kulit Matt yang putih. Pikiranku melayang-layang. Sampai Matt meraih sebuah kursi berkaki untuk duduk di hadapanku secara tiba-tiba. Napasku langsung tercekat karena terkejut.

“Aku sudah membuka perbannya,” ujarnya sambil tersenyum. Aku menelan ludah, mencoba untuk tetap bernapas saat tangan Matt menjulur kearah kelopak mataku, menyorotkan lampu berbentuk menyerupai pulpen ke arahku. Jantungku seperti berlari.

“Kau lihat jari telunjukku?”

Aku mengangguk. Matt melakukan banyak pemeriksaan dan tes untuk diriku. Dan semuanya tampak memuaskan hasilnya, jika aku menilainya dari raut wajah Matt yang terpampang di hadapanku. Berselang lima belas menit kemudian. Matt berbalik, memundurkan kursi beroda yang didudukinya ke arah meja di belakangnya. Tangan Matt berhasil menyambar sebuah cermin, lalu kembali kehadapanku.

“Kau ingin melihat wajah barumu?”

Aku merasa ada tumpukan oksigen dalam rongga dada. Penuh dan sesak. Aku mencoba untuk menghembuskannya dengan lega lalu mengangguk dengan mantap. Matt tersenyum, dan menjulurkan sebuah cermin ke hadapanku. Sedetik kemudian, aku terduduk tegak, melongo, terkejut, jantungku bertalu-talu, dan semua rasa berkumpul menjadi satu hingga membuatku membeku. “Kau baik-baik saja?” Pertanyaan Matt memecah lamunanku. Mataku berkaca-kaca, menatap Matt dari balik bulu mataku. “Ya, aku baik-baik saja.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel