Baby : 3
“Tekanan darahmu sudah normal. Aku senang akhirnya kau siuman?”
Bagai terjerembab dalam dunia yang membelesakkan diriku. Aku terdiam. Bahkan suara pria yang sedang memegang tanganku, memeriksa lututku terasa samar di telinga. Bagai angin lalu yang bertiup.
“Berapa lama aku pingsan?” tanyaku sambil menoleh ke arah pria itu. Sosok yang tinggi menjulang di hadapanku, saat aku duduk di tepian ranjang. Suara yang pada akhirnya mampu keluar dari rongga leherku. “Tiga bulan, kau koma selama tiga bulan.” Kalimat yang diulang. Aku terduduk tegak. Masih terasa nyeri-nyeri di permukaan kulitku, sisi kanan tubuhku yang terbakar sebagian. Ada luka yang mulai kering dan menghitam. Melayangkan pandangan menatap jendela berkorden bunga-bunga yang melambai tertiup angin. Pupil mataku melebar, aneka citra berkelebat di mataku.
“Kau ingat siapa namamu?” tanya pria itu. Ia meraih sebuah kursi yang kemudian ia duduki, tepat di hadapanku. Ia menatapku, menanti jawaban dengan sabar. Otakku berputar-putar bagai pusaran. Bayang-bayang yang coba aku singkirkan, namun tak juga bisa menyingkir. Tengkuk kepalaku terasa nyeri lagi. Bagai hujaman benda tumpul.
“Aku…aku…” kalimatku menggantung, kekosongan hadir beberapa detik sebelum pria itu berbicara, “Jangan kau paksakan. Kau mengalami trauma karena kejadian yang menyeramkan, mungkin yang dapat mengancam jiwamu, dan tubuhmu bereaksi sehingga menggangu memori dalam otakmu.” Aku menatapnya lurus, tercengang hingga aku lupa untuk bernapas. Terkejut. “Mengancam jiwa?” desisku pelan nyaris berbisik. Kelebat-kelebat putih dan hitam bahkan abu-abu berseliweran di kepalaku. “Perban di wajahmu, baru akan dibuka lusa,” pria itu menambahkan. Ia menatapku intens.
“Apa yang kau ingat terakhir kali?” Pertanyaan yang membuatku menoleh kearahnya. Jemariku terulur ke wajahku. Ada rasa kasar yang kurasakan di jariku, tekstur kain kasa. Aku merasakan kepalaku kosong, hanya ada rasa nyeri. “Aku…aku…” tak ada kalimat lain yang keluar dari bibirku. Ujung mataku mulai basah. “Lebih baik--”
“Aku tidak ingat apa-apa.” Selakku menatap ke dalam matanya dengan tatapan sedih. Aku ingin menangis saat ini. Pria itu menelan ludah, wajahnya kaku menatap diriku. “Aku tidak menemukan identitasmu.”
Aku mencoba untuk menghela napas, “Aku tidak ingat siapa diriku.”
***
“Tuan, apakah Anda---”
“Aku telah mengubah wajahnya dengan wajah istriku, Ella,” ucap Rexypelan dikeheningan ruang kerjanya, seakan mampu membaca pikiran Ella. Rexymenoleh sekilas kearah Ella, sebelum kembali menatap keluar. Ella menelan ludah, menatap tuannya yang berdiri di depan jendela, pandangan yang tertuju keluar.
“Meg, dia telah kembali,” desis Nick. Suara yang terdengar penuh harapan. Ada binar kebahagiaan di mata biru Nick, setelah setahun kepergian istrinya yang ditemukan bunuh diri di dalam bathtub dengan nadi tersayat. Tubuhnya terendam dalam kubangan darah segar yang bercampur dengan air hanga di kamar mandi mereka.
***
Waktu berlalu, dua hari kemudian, percakapan beberapa hari yang lalu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Bagai alunan musik yang di putar ulang terus-terusan. Malam ini, untuk pertama kalinya aku keluar dari dalam kamarku. Kondisiku malam ini sudah lebih baik jika dibandingkan dua hari yang lalu saat aku baru tersadar. Banyak waktu yang aku lewati dengan tidur, dan tidur, seakan tubuhku membutuhkan istirahat panjang.
“Selamat malam, Nona,” sapa seorang wanita yang aku kenali dari suaranya. Wanita yang pertama aku lihat saat aku berhasil membuka mataku setelah tiga bulan memejam. Wanita yang suaranya aku dengar memanggil nama pria bermata biru pemilik rumah. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya. Ya nama mereka berdua. Aku menoleh kearahnya yang berdiri di ambang pintu kamar. “Malam,” balasku dengan seulas senyum yang aku pamerkan, namun tidak yakin akan terlihat olehnya karena perban yang masih menutupi wajahku. Hanya terlihat bibir dan kedua mataku.
“Makam malam sudah siap, apakah Anda ingin makan di kamar, atau--”
“Apakah dia...” kalimatku menggantung, sorot mataku yang ragu, takut salah menyebutkan nama. “Dokter…dokter!!! Dr. Hurd!!!” pekikan yang aku dengar. Mataku mengerjap, aku menelan ludah, lalu melanjutkan ucapanku, “Dr. Hurd---” Kudapati ia menatapku dengan kening berkerut. “Namamu?” pertanyaan yang tiba-tiba keluar, wanita itu tersenyum sambil menghembuskan napas. “Nama saya Ella.” Kepalaku mengangguk secara refleks dengan senyuman yang terselip. “Ella, aku…”
“Kau butuh udara segar, Nona…” selak pria itu yang muncul dari belakang Ella yang diakhir kalimat tampak kebingungan. Ella dan pria itu saling bertatapan sebelum keduanya menatapku yang duduk di atas ranjang dengan masih mengenakan piyama dan wajah yang berbalut perban. “Sepertinya, kau harus memilih sebuah nama untukmu.” Aku terdiam mematung. “Kau tidak ingat namamu?” Aku menjawab dengan sebuah gelengan.
“Aku tidak tahu siapa kalian. Aku lupa…aku lupa siapa diriku. Awwww!!!” pekikku tiba-tiba di ujung kalimat, karena aku merasakan kepalaku sakit luar biasa. Menghujam kepalaku secara tiba-tiba. Aku membanting tubuhku ke kasur dan kepalaku terhempas di tumpukan bantal, meringis kesakitan dan pria itu langsung mendekat kearahku. Meraih kedua bahuku, “Sebaiknya kau berbaring. Ella, kau ambilkan tas milikku di ruang kerja.” Ella mengangguk cepat dengan wajah panik dan berlari keluar ruangan.
“Sepertinya kau memerlukan pemeriksaan di RS. Aku tidak punya alatnya, dan aku bukan dokter syaraf.” Kalimat yang meluncur cepat tanpa jeda. “Ini, Dok,” kata Ella sambil menyerahkan sebuah tas. Ella telah kembali dengan napas yang terdengar naik-turun bagai lari ribuan kilometer.
“Awwwww!!!!” pekikku secara mengagetkan dan terdengar lebih kencang dari sebelumnya sambil memegangi kepalaku dengan kedua tangan. Membuat keduanya terjingkat karena kaget. Aku meringkuk. Sungguh kepalaku rasanya bagai di hajar dengan benda keras. Kepanikan yang memenuhi seisi ruangan. “Minumlah ini, aku harap bisa meredakan sakitmu,” kata pria itu. Ia membantuku untuk bangun meski hanya setengah dari tubuhku. Ella menyodorkan segelas air putih kehadapanku, keduanya membantuku untuk minum obat.
***
Matahari kian meninggi menuju siang. Aku terbangun keesokan harinya dengan posisi miring di balik selimut tebal yang menutupi tubuhku, wajahku menghadap kearah jendela dengan kordennya yang sedikit terbuka hingga secercah sinar matahari yang tak lagi selembut sinar pagi berhasil masuk dan jatuh tepat mengenai wajahku. Aku tersentak, mataku menyalang, tapi aku diam, tidak mengeluarkan suara. Jantungku masih berdetak tak beraturan. Keningku berpeluh.
Tanganku meraba selimut, merasakan tekstur kainnya. Lama aku berdiam, sebelum aku mendekatkan selimut dalam genggamanku ke hadapan hidungku. Menghirupnya dalam. Jelas ini harum, ada yang berkelebat di otakku. Diriku yang meringkuk ketakutan dibalik sebuah selimut lusuh abu-abu yang berbau diruang pengap. Ya dibalik selimut antara batas sadar dan penantianku akan seseorang. Tapi siapa? Di mana selimut berbau pengap itu?
Kusibakkan selimut yang menutupi tubuhku, mulai menjulurkan kedua kaki sebelum menapak ke lantai. Terasa ubin yang dingin mengenai telapak kaki yang telanjang. Aku berjalan ke arah jendela, membuka kordennya.
“Ya Tuhan,” desisku, sambil meletakkan telapak tanganku ke kaca jendela yang masih tertutup. Terasa hangat menjalari pembuluh nadi. Ada bayang wajah yang berbalut perban dari pantulan kaca jendela. Wajah milikku. Sebelah tanganku mengusap perban. “Siapakah diriku?” pertanyaan yang aku tujukan untuk diriku sendiri.
***
Membungkus tubuh mereka berdua di handuk, “I love you, Gladys.” Bagai sebaris kalimat mantra, seketika Gladys menempatkan lengannya pada sepasang bahu kekar di hadapannya hingga membiarkan handuknya jatuh dan teronggok di atas lantai. Mereka kembali berjalan ke kamar tidur. Gladys berjalan lenggak-lenggok dengan kepolosan tubuh langsingnya. Berbalik diatas tungkai kakinya, dan Gladys mendorongnya ke tempat tidur, menarik handuk pria dihadapannya hingga membuatnya telanjang, “Oh, you’re sexy, baby,” desis Gladys dengan senyum miring, sorot matanya berkabut gairah yang mulai terbangun, kemudian Gladys membasahi bibirnya dengan lidah dalam gerakan lamban, sebelum meringkuk di sampingnya dan meletakkan kepalanya di dada bidang yang ada dihadapannya. Mereka saling melahap, Gladys mengangkangi pria itu, duduk di pangkuannya, hingga menempatkan kedua payudaranya yang terbuka tepat berada di hadapan sang pria.
Tak satu pun dari keduanya berbicara selama beberapa menit. Gladys bisa merasakan dia menggigil dibawahnya setiap beberapa menit saat ia berangsur-angsur tenang. Meniupkan napas, pria itu menariknya lebih dekat kepadanya dan mencium dengan rakus, beradu lidah yang basah dengan jemari yang meremas payudaranya. Gladys mendesah hingga melemparkan kepalanya ke belakang saat putingnya di jilat dengan pelan, menggelitik sebelum mengulumnya bagai bayi.
“Itu menakjubkan, baby, begitu menakjubkan. Aku tidak akan pernah membiarkan orang lain melakukan hal itu kepadaku, tapi denganmu, aku hanya mengikuti itu saja. Aku senang, aku melakukannya. Kau membawaku ke tempat yang aku tidak tahu ada.”
Meringkuk lebih dekat kepada pria itu, Gladys mencium dadanya dan mengangguk, “Sama-sama, Frank. Kau pastinya juga mengguncang duniaku. Tapi sekarang aku harus jujur. Aku senang kita bisa bersama-sama setelah dia lenyap.”
Jemari Frank mengelus punggung Gladys dengan gerakan naik-turun. Sementara Gladys menjalankan jemari lentiknya keseputaran perut Frank yang berotot. “Aku tidak sabar menunggu hari pernikahan kita, sayang.” Frank terkekeh, sementara jemari Gladys kian turun, meraba paha Frank yang berbulu. “Aku masih menunggu uang asuransinya cair, baby. Setelah itu, kita lakukan apa yang kita inginkan,” ucap Frank sambil meraih dagu milik Gladys untuk menyambar bibirnya bersamaan dengan jemari Gladys yang telah menggapai ereksi Frank dan menggenggamnya erat.
