Baby : 5
Seharusnya batas waktu pencarian korban tidaklah diperpanjang. Semua sesuai dengan aturan yang di tetapkan oleh kepolisian. Radius telah diperluas, masa pencarian sudah di perpanjang. Tapi jasadku tidak juga ditemukan. Frank meminta pihak kepolisian untuk memperpanjang masa dan radius lokasi pencarian.
Ratapan kesedihan yang selalu terpampang di wajah Frank seakan menegaskan gambaran Frank adalah suami idaman, yang dengan setia menanti dan tidak rela kehilangan pasangan hidupnya.
“Aku turut bersedih untukmu, Frank,” ucap Erika, wanita setengah baya dengan rambut pirang yang selalu di jepit ke atas membentuk cepolan, yang bekerja sebagai penasehat keuanganku dan Frank. “Terima kasih, Erika,” sahut Frank dengan mimik sedih, hanya memamerkan seulas senyum yang dipaksakan.
Erika duduk berseberangan dengan Frank yang ada di balik meja kerjanya. “Aku datang untuk menginformasikan padamu mengenai asuransi jiwa milik Danisha dan juga Ben.” Erika memulai percakapan sambil mengeluarkan satu buah folder bening, mengeluarkannya dan menyodorkannya kehadapan Frank. “Ben?” kening Frank berkerut karena terkejut. Erika mengangguk pelan. “Danisha tidak mengatakannya padamu?” Frank menggelengkan kepala.
“Ben memiliki asuransi yang sama dengan Danisha, dan mewariskannya pada Loli.” Erika menceritakannya pada Frank dengan lugas. “Loli,” desis Frank pelan. Erika melayangkan tatapannya ke Frank. “Dananya baru bisa cair setelah Loli berusia 17 tahun, Danisha mengubah hak waris kepemilikan asusansi jiwa Ben ke anak mereka tepat 1 bulan setelah Ben tewas.” Erika melanjutkan informasi yang di ketahuinya.
“Bagaimana kabar Lolita?” pertanyaan yang tiba-tiba loncat secara bebas dari bibir Erika. Seketika Frank duduk tegak di kursinya. “Dia baik.” Frank menjawab seadanya, singkat dan terdengar enggan untuk membahas
Frank kembali menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi yang dia duduki. Otak Frank langsung berputar, banyak rencana yang memercik di kepala Frank. Erika beranjak dari duduknya, mencondongkan tubuhnya sedikit kedepan. “Kau bisa bubuhkan tandatangan mu disini, Frank.” Suara Erika memecah lamunan Frank dilanjutkan dengan tarikan napas. “Dimana?” tanya Frank dengan seringai miring.
Erika menunjuk pada kolom kosong di kanan paling bawah yang telah di sediakan. Tanpa ragu Frank langsung membubuhkan tandatangannya pada bagian yang ditunjuk. “Kau tidak membacanya lebih dulu?” Frank menatap Erika dengan tajam yang berdiri menjulang tepat dihadapannya. Frank telah mengetahui nominal yang akan ia terima dari dana asuransi yang cair dari polis milikku. Tanda tangan milik Frank bertebaran di beberapa lembar dokumen, hingga pada lembar terakhir Frank bertanya, “Kapan dananya akan di transfer?”
Erika mematung beberapa saat sebelum ia kembali mendudukan dirinya di kursi. “Seharusnya hari ini, sebelum penutupan operasional bank jam 2 siang,” jawab Erika dengan lugas. Frank tersenyum miring dengan pikiran yang beraneka ragam.
***
Menerima semua yang terjadi, tapi apa? Aku tak dapat berpikir dengan benar saat ini. Rasa frustasi yang membuat kepalaku terasa sakit. Ruang kosong dalam jiwaku yang mulai berteriak dan terus mempertanyakan. Aku masih terus bertanya-tanya siapa diriku hingga waktu berjalan dengan cepat menuju tiga hari kemudian. Hari ke tujuh bagiku dengan diriku yang baru, tanpa tahu siapa diriku di masa lalu. Mengenaskan? Ya, sangat bagiku.
Kebosanan mulai datang merayap, tak cukup ruang bagiku untuk menghindar. Ada gelisah yang mulai menyapa. Menduduki sebuah kursi di teras taman yang letaknya ada diantara rumah utama dan ruang klinik milik Matt . Mataku memandang dalam lamunan, kolam renang yang ada dihadapan, dengan airnya yang bening, terlihat biru cerah, tenang dan menjanjikan kesegaran.
“Ternyata kau disini,” ucap Matt yang muncul tiba-tiba, menghancurkan semua lamunanku. Ia berdiri menyandar di bibir pintu geser, mengenakan celana jeans biru dan kaus ketat hitam, kakinya tidak mengenakan alas. Aku menoleh, menatap Matt dari balik bahuku, tersenyum masam ke arahnya tanpa maksud untuk protes. Aku hanya mengerutui diriku sendiri. “Kau ingin pergi keluar bersamaku?” tanya Matt lagi terdengar bagai ajakan. Ada binar rasa bahagia di mata biru Matt . “Kau akan mengajakku keluar?” tanyaku terdengar tak yakin. Wajahku yang polos tanpa make up memandang Matt , mengingatkan Matt akan keberadaan mendiang istrinya. Bagai jaring waktu membawa Matt kembali ke masa lalu, tapi nyata. Matt menganggukan kepala pelan dengan seulas senyum yang dapat aku lihat di sudut bibirnya.
“Ya, aku bersedia mungkin dengan aku berjalan-jalan bisa membuatku ingat akan sesuatu,” tukasku sambil beranjak dari kursi dan berbalik menghadapnya. Matt hanya menatapku lurus. Aku tak dapat membaca perasaannya saat ini, selain Matt yang sedang tenggelam dalam lamunannya.
“Kau akan mengajakku pergi kemana?” tanyaku dengan antusias, memecah lamunan Matt , mencoba untuk membangun suasana yang menyenangkan. “Aku…” Matt menelan ludah, “Kita akan membeli keperluanmu,” tukas Matt sambil memamerkan senyumnya. Kali ini aku yang terdiam, pandangan kami saling bertemu. Bagai jaring yang mengikat, tak ada yang mengucapkan satu patah kata pun untuk beberapa detik. Mata biru Matt terasa menarikku ke dalam ruang rasa sampai Ella datang untuk menemui Matt .
“Maaf Tn. Hurd, ada telp untuk Anda dari dr. Smith,” Ella mengucapkan dengan nada ragu disaat pandangannya mendapati kami berdua diam mematung di depan pintu. Bagai deja vu bagi Ella, bayangan setahun silam sebelum kematian Ny. Hurd kembali melintasi kepalanya. Mereka yang menghabiskan hari-harinya di teras rumah.
Matt mengulurkan tangannya tanpa meninggalkan tatapan matanya dariku, hingga membuatku salah tingkah, dan aku hanya mampu menelan ludah, sampai Ella mengulurkan gagang telepon pada Matt meski tuannya tidak menatapnya. “Matt ,” desisku. Mataku melirik ke arah Ella, Matt mengerjap seakan baru tersadar dan sikapnya tampak canggung setelahnya.
Matt melayangkan tatapannya pada Ella, “Terima kasih Ella,” ucap Matt yang dibalas Ella dengan anggukan dan beranjak pergi. “Aku…aku jawab telepon dulu,” ujar Matt dengan pandangan mata kearahku kembali. Suara Matt terdengar grogi dan sikapnya salah tingkah, wajahnya terlihat bersemu. Matt berjalan meninggalkanku menuju ke sebuah ruangan, dan menutup pintu di belakang langkahnya.
***
Aku telah membawa tas kecil yang ada dalam genggamanku. Ella telah mengisi lemari dalam kamar yang aku tempati dengan pakaian-pakaian wanita yang sungguh aku menyukai semua model dan warnanya, sepatu flat yang nyaman untuk aku kenakan, serta tas dan aksesoris lainnya. Tak banyak, tapi bagiku cukup.
“Barang-barang ini dari siapa?” tanyaku pagi itu di saat Ella memasuki kamarku dengan tumpukan pakaian yang terbungkus plastik pelindung. “Tn. Hurd yang menyiapkannya untuk Anda, Nona,” jawab Ella kala itu. Aku terkejut saat ukurannya terasa pas di tubuhku. “Anda menyukainya, Nona?” Ella penasaran dengan pendapatku, ia mengamati diriku yang sedang mematut diri di depan cermin berkaki. “Aku menyukainya, Ella. Kalian sungguh orang yang baik,” ujarku. Ella tersenyum manis dan terdengar hembusan napas yang lega.
Aku terdiam, menatap Ella dari dalam cermin, dan Ella menatapku, “O iya, kau yang memilih semuanya?” tanyaku, kali ini aku yang dibuat penasaran. “Bukan, Nona. Tapi Tn. Hurd.” Mataku terbelalak, tak hanya sedikit rasa terkejutku. Napasku tercekat. “Matt ?” Ella menjawab dengan anggukan. “Apa kau sudah siap?” tanya Matt dari arah pintu, tubuhku langsung memutar, menatap Matt dengan canggung. “Matt ,” desisku.
“Saya permisi,” pamit Ella meninggalkan kami berdua. “Kau akan mengajakku kemana?” Matt menjilat bibirnya dengan salah tingkah, “Aku…aku akan membawamu ke rumah sakit untuk memeriksa sarafmu. Apa kau masih suka---”
“Ya, kau benar, aku masih merasakan sakit,” selakku. Aku ingin segera mengakhiri teka-teki siapa diriku. “Aku ingin sembuh, Matt ,” imbuhku
.
***
Menekuri jalan yang tampak ramai di akhir pekan, dengan toko-toko yang dihiasi aneka macam pernak-pernik hingga mampu membuat orang yang melewatinya tertarik, ya… ada rasa yang muncul dalam benakku, rasa ingin turun dan melihat-lihat ke dalam toko-toko itu, paling tidak mampir sesaat hanya untuk melihat. Namun aku tidak bisa protes, meski sudah ada di ujung lidahku. Entah mengapa seperti desakan dalam diriku.
Aku sempat melirik Matt dari sudut mataku, ia yang terlihat tampan, dengan janggut yang tidak di cukur. Aroma maskulin yang berkelebat di ujung hidungku. Harum parfume yang aku merasa begitu mengenalinya.
“Kita sudah sampai,” tukas Matt memecah lamunanku. Aku menghembuskan napas dengan lega dan berubah menjadi terkejut saat tanganku dan tangan Matt tanpa sengaja bertemu di kepala sabuk pengaman yang mengikat tubuhku. Kami saling bertatapan dengan terkejut. “Maaf aku…” kalimat Matt menggantung sambil menarik tangannya yang berada tepat di atas punggung telapak tanganku. “Aku tidak bisa menghilangkan kebiasaanku kepada---”
“Apa keberadaanku mengganggumu? Kau jadi---”
“Tidak, tidak, aku senang kau…” sekali lagi Matt menggantungkan kalimatnya. Aku menatap Matt dengan penasaran hingga kulit keningku berkerut. “Maaf, bukan maksudku.” Matt menyelesaikan kalimatnya, dan meninggalkan banyak pertanyaan di kepalaku yang kosong akan masa lalu. Wajah Matt berubah masam seketika. Dilepaskannya sabuk pengaman miliknya, lalu keluar dari dalam mobil, kemudian berjalan memutar untuk membukakan pintu untukku. Matt meraih tanganku untuk membantuku keluar dari dalam mobil yang bisa dikatakan cukup tinggi untuk bisa sampai berpijak ke tanah beraspal di bawah kakiku. “Terima kasih, Matt .” Ia membalas dengan senyuman tipis.
“Bukankah kita akan---”
“dr. Smith membatalkan janji temu.”
“Maksudmu?” tanyaku dengan arah tatapan tertuju pada Matt . “Dia, ada panggilan darurat, jadi…” Matt menelan ludah sebelum menyelesaikan kalimatnya, “lebih baik kita makan siang saja.” Ada jeda sepersekian detik. Bayangan di depan pintu geser, saat Ella menyodorkan gagang telepon kepada Matt dari seseorang. Ya, aku masih ingat namanya. “Dia meneleponmu untuk membatalkan janji temu?”.
“Ya, dia menghubungiku untuk itu.”
Terdengar aneh untukku. Aku terdiam. “Ayo, aku sudah lapar.” Matt meraih tanganku lagi dan berjalan satu langkah di depanku, kami melangkah sambil bergandengan tangan. Telapak tangan Matt yang lebar membungkus telapak tanganku. Terasa kehangatan yang menjalari nadiku. “Tidak, ini tidak mungkin. Rasanya aneh,” batinku memprotes, mataku menatap punggung lebar Matt dan tautan jemarinya di jemariku, hingga kami memasuki pintu resto.
“Meg,” desis seseorang dari sebuah sudut saat matanya mendapati kehadiranku dan Matt . Meski hanya selewat lalu karena posisi Matt yang berada di depanku, hingga membuatku tertutup. Wajahnya pucat pasi. “Ini tidak mungkin,” ujarnya seorang diri.
Matt telah memesan tempat di sudut, di tepian jendela hingga tampak orang yang berlalu lalang. “Selamat siang, Tn. Hurd. Apakah Anda….” Pelayan itu menatap ke arahku dengan aneh dan terasa mencurigakan bagiku. “Aku memesan yang seperti biasa, Ben.” Alisku naik sebelah saat Matt mengucapkan nama Ben. Aku melayangkan tatapan mataku ke pelayan itu, dan mendapati nama yang tertera di sisi dada kirinya, Ben Taylor. “Kau baik-baik saja?” tanya Matt .
“Ya, aku baik-baik saja. Aku, aku butuh ke toilet. Kau…bisa pilihkan makanan untukku?” tanyaku sambil menatap Matt yang duduk berseberangan denganku. “Baiklah.” Aku langsung menggeser kursiku untuk beranjak dari duduk. Berjalan dengan tergesa-gesa.
***
