Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Perjodohan Gadis Desa

"Mas, biarin aku masak dulu ya, aku lapar nih! Mana kamu cuman punya mie sama telur! Miskin banget!" bentak Clara sambil menyalakan kompornya.

"Sayang, aku hanya seorang kurir pengantar bunga, istriku guru honorer. Kami punya anak kembar juga!" sahutnya sambil memeluk Clara dan menjamah lobang surgawinya.

"Ihh.. Jangan gitu dong! Mana bisa aku masak kalau tanganmu nakal!" bentak Clara sambil mencoba mengelak dari pelukan penuh nafsu itu.

Arka bukannya berhenti, dia justru mematikan kompor lalu menggendong Clara dan meletakkan tubuhnya di meja makan.

"Aku tidak butuh makan, tapi kamu!" bisik Arka sambil kembali mencium Bosnya sendiri.

Tangannya bergerilya menjamah gunung kembar wanita itu sambil sesekali menghisapnya, membuat si wanita semakin mabuk kepayang. Perlahan ia mulai bermain di lobang surgawi si bos, memijatnya perlahan lalu menjilatnya pelan-pelan.

"Ahh ... Hentikan, aku bisa mati dalam kenikmatan! Mas Arka! Kamu benar-benar perkasa!" teriaknya sambil terus mendesah.

Kini meja makan itu telah menjadi tempat berpijak keduanya untuk melanjutkan permainan panas yang seolah takkan pernah usai. keduanya benar-benar terjerat oleh panas dan nikmatnya hasrat terlarang.

*****

Seminggu sebelum kedatangan Clara.

Setelah beberapa jam mengendarai motor sambil kerapkali berhenti karena Runa merasa kelelahan, akhirnya ia sampai di rumah Ayu, sang ibu. Cuaca hari itu panas dan mereka tiba ketika siang hari. Terlihat pintu rumah Ayu masih tertutup dan halamannya nampak kotor.

“Assalamualaikum, Bu, ini Arka,” ucap Arka sambil mengetuk pintu dengan keras-keras berharap ibunya mendengar teriakannya.

“Iya, sebentar.” Ayu berteriak sambil berjalan, kemudian memutar kunci untuk membuka pintu.

“Masuk, Nak, kenapa kamu bawa anak ini juga?” tanya Ayu yang terlihat seperti tidak suka melihat kehadiran Aruna.

“Iya, Bu, anakku sepertinya bosan di rumah terus jadi dia ingin ikut,” jawab Arka sekenanya.

Ia menyuruh anaknya untuk segera ke kamar mandi dan berganti pakaian. Mendengar titah ayahnya, anak itu segera beranjak.

Di ruang tamu, Arka mulai perbincangan dengan ibunya. Ia nampak lelah setelah perjalanan dengan motor bututnya itu.

“Aku sudah dipecat dari pekerjaanku, bahkan sudah seminggu aku tidak bekerja, sementara ini aku mengandalkan pesangon yang tidak seberapa,” ucap Arka dengan nada rendah seolah dialah makhluk paling menderita sedunia.

Padahal pasca dipecat, dia belum mencoba melamar ke mana-mana karena sibuk dengan kegalauannya selama ini.

“Seharusnya kamu nggak usah nikah sama Anna, kalian itu nggak cocok. Meski mertuamu itu kaya tapi mereka sombong,” tegas Ayu, seolah melihat umpan untuk menjatuhkan Anna.

Dalam hatinya ia kasihan dengan nasib buruk yang menimpa anaknya, tapi ia justru menyalahkan menantunya atas kesialan itu.

“Entahlah, Bu, sampai sekarang orang tua Anna sama sekali nggak peduli sama aku, masih aja acuh seolah-olah aku ini bukan siapa-siapa,” curhat Arka pada ibunya dengan wajah penuh kekesalan.

“Sudahlah, Nak, tidak perlu membahas si perempuan bawa sial itu. Nanti sore ibu akan mengenalkan kamu dengan keluarga juragan material di desa ini, dia punya sawah yang lebih luas daripada sawah ibu. Lebih baik kamu berkenalan dengan dia, siapa tahu jodoh,” ucap Ayu dengan semangat berapi-api.

Percakapan kedua orang tua itu ternyata sedari tadi didengar oleh Aruna. Batinnya terguncang saat ia mendengar neneknya malah ingin menjodohkan ayahnya dengan perempuan lain. Ia sebenarnya bukan anak biasa, sekilas dia terlihat seperti anak kecil yang akan masuk sekolah dasar, padahal dia sangat cerdas bahkan hasil kecerdasannya bisa setara dengan anak SMP.

Namun, karena ia pendiam atau tak terlalu menonjol, tak ada yang menyadari kelebihan Aruna termasuk ibunya sendiri, Anna.

Aruna sebenarnya mulai menyadari gelagat buruk ayahnya saat ia tak sengaja mendengar pertengkaran orang tuanya hari itu. Ia mulai menyadari bahwa ayahnya mulai tidak tulus atau mengabaikan bundanya. Dia juga memiliki firasat buruk ketika ayahnya memilih untuk mudik.

Sore itu, nampak seorang laki-laki dan perempuan muda sudah duduk di ruang tamu milik Ayu. Di sana juga terdapat sepasang ibu dan anak yang terlihat sumringah menyambut kedua tamu istimewa itu.

“Oh, jadi ini anak bungsu ibu Ayu yang dari kota itu,” tanya lelaki tua bernama Warsa.

“Iya, Pak, ini anak saya yang paling kecil, dia sudah dipecat dari pekerjaanya dan istrinya juga galak. Pokoknya perempuan nggak baik, kasihan dia sampai kurus begini gara-gara di suruh kerja terus,” ucap Ayu dengan terus mendramatisir, ia juga membuat anaknya seperti korban kesialan rumah tangganya.

“Mas, kamu masih ingat aku? Aku Ningsih, adik kelas kamu saat SMP, dulu kamu sering banget godain aku karena aku cantik. Apa benar Mas Arka sedang proses cerai?” tanya perempuan muda berkulit sawo matang bernama Ningsih.

Mendengar pertanyaan itu, Arka mengernyitkan dahinya sambil melirik pada ibunya seolah-olah minta penjelasan, dia masih berusaha mencerna keadaan ini. Ia tidak menyangka bahwa ibunya telah mengarang cerita terkait proses cerainya dengan Anna.

“Iya, Ningsih, aku masih ingat kamu, dulu kamu memang menarik. Kita bahkan sempat dekat saat ibumu meninggal, kamu selalu cerita sambil nangis-nangis ke aku. Setelah lulus dan pindah sekolah, kita sudah hilang kontak, tapi kalau tentang proses cerai ….” Arka mulai menjelaskan perihal status pernikahannya, tiba-tiba ibunya memotong perkataannya.

“Nak, Ningsih, Arka ini baru tadi siang sampai di sini. Dia pasti kelelahan jadi nanti saja ngobrol berdua agar lebih akrab sambil nostalgia,” jawab Ayu penuh dengan senyum kepalsuan, ia mencoba mengambil alih obrolan agar Arka tidak merusak rencananya.

“Jadi gimana, Pak? Kita sepakat dengan harga kemarin ya, beri diskon lagi lah, apalagi kita sebentar lagi jadi besan,” pinta Ayu dengan wajah yang dibuat seramah mungkin guna mempengaruhi Warsa.

Hubungan Ayu dan Warsa cukup dekat sebab lelaki itu adalah sahabat Ayah Arka. Mereka bahkan sempat menjodohkan Arka dan Ningsih. Namun, batal karena Arka lebih memilih Anna yang dikira merupakan putri orang kaya karena berasal dari kota.

Runa yang bersembunyi di balik tirai pembatas antara ruang tamu itu mulai geram dengan kelakuan neneknya. Ia tidak menyangka bahwa neneknya akan bertindak sejauh itu, hanya karena sang ibu tak kunjung memiliki anak laki-laki, dan tega menjodohkan anaknya dengan perempuan lain.

“Aku nggak akan biarkan Ayah bercerai dengan Bunda,” gumamnya perlahan.

Di sisi lain, Anna dan Arini mulai bersiap untuk berangkat ke dokter kandungan.

Jalanan di kota itu tampak mulai kering karena sudah tiga hari tak turun hujan, cuaca panas tak mengurungkan niatnya untuk bertemu dokter itu.

Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di klinik, terlihat antrian masih sepi. Anna memang memilih antrian pagi. Sesampainya di klinik, ia melihat nama di papan itu dr. Adrian M, SpOG.

"Adrian?" batin Anna, ia merasa tidak asing dengan nama itu. Nama itu terus terngiang-ngiang bahkan ketika ia mulai dipanggil oleh suster yang berjaga.

“Nyonya Anna Khairunnisa, silahkan masuk,” ucap suster tersebut dengan ramah.

Anna berjalan perlahan sambil menggandeng Rini yang tengah sibuk melahap permen lolipop kesukaannya.

“Nyonya Anna,” ucap lelaki itu dengan ragu-ragu.

Pria itu nampak terkejut melihat Anna! Sudah lama mereka tidak bertemu, mungkin sekitar 20 tahun yang lalu saat mereka masih anak-anak.

“Iya, Dok,” jawab Anna dengan ragu-ragu sambil menatap mata dokter itu, pikirannya mulai berkecamuk, seperti tidak merasa asing dengan pria di hadapannya.

“Apakah kamu Anna putri dari Bapak Iwan?” tanya pria itu.

Pria itu mulai memperhatikannya dengan seksama, ekspresinya seolah-olah ragu dengan apa yang diucapkan.

“Iya, Pak, bagaimana Bapak mengenal orang tua saya?” Anna bertanya sambil terheran-heran, tidak merasa punya teman seorang dokter.

Namun, batinnya bergetar, merasa tidak asing dengan pria di hadapannya, apalagi dia sampai menyebut nama orang tuanya.

“Ini aku Adrian, Ann, teman masa kecil kamu. Dulu kamu sering mengikutiku saat bermain, bahkan teman-teman sering mengejekmu karena kamu tidak punya teman. Setelah lulus sekolah dasar, aku pindah rumah karena orang tuaku pindah dinas kerja di rumah sakit yang terletak di kota lain. Akhirnya kita terpisah dan lost contact,” papar Adrian dengan senyum ramahnya, matanya berkaca-kaca seolah dia menyimpan rasa haru yang dalam.

“Subhanallah, ini Mas Adrian, putra dari Dokter Andrew yang dulu buka praktek di rumah?” tanya Anna dengan hati-hati seolah-olah ia khawatir pikirannya keliru.

Dalam hati kecilnya, ia sangat bahagia. Bagaimana tidak? Lelaki ini sudah seperti kakak baginya, selalu bersamanya saat kecil bahkan melindungi dia dari pembullyan. Saat kecil Anna sangat pemalu, temannya tidak banyak dan dia sering dirundung oleh teman-temannya.

Setelah dirasa cukup bernostalgia, akhirnya mereka mulai membahas tujuan utama Anna menuju klinik Dokter Adrian tersebut. Anna mulai bercerita terkait keinginannya untuk program hamil anak laki-laki, apa saja yang telah ia lakukan, kemudian mengapa suaminya tak turut serta membersamainya.

Mendengar ceritanya, Adrian hanya menganggukkan kepala dan mulai memutuskan untuk melakukan usg transv dengan tujuan melihat kualitas sel telur dan meminta Anna untuk melakukan tes-tes yang mendukung promilnya. Anna memperhatikan dengan seksama dan antusias atas seluruh saran dari dokter yang ternyata teman masa kecilnya itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel