Pustaka
Bahasa Indonesia

Hasrat Liar Mantan Suamiku

86.0K · Tamat
Shilla Marselia
80
Bab
397
View
9.0
Rating

Ringkasan

Arka adalah seorang kurir pengantar bunga yang tidak bahagia di pernikahan yang menginjak sepuluh tahun. Dia terus didesak oleh ibunya untuk memiliki anak laki-laki yang membuat pernikahannya mulai terasa hambar. Meski telah memiliki anak kembar perempuan, nalurinya untuk berkelana mencari kebahagiaan dengan wanita lain telah membuatnya jatuh ke dalam jerat perselingkuhan dengan mantan pacar SMAnya. Akankah Arka sanggup mempertahankan pernikahannya atau semakin terlena dalam petualangan mencari wanita yang dapat memuaskan hasrat bercintanya?

RomansaDewasaPerselingkuhanOne-night StandplayboyLicikGenit

Hasrat Liar Suamiku

"Mas, lepasin dong! Aku nggak bisa napas nih!" desak Clara, wanita cantik dan seksi yang tiba-tiba muncul setelah beberapa tahun menghilang dari kehidupan Arka.

"Clara, aku merindukanmu, kenapa dulu kamu pergi meninggalkanku?" ujar pria yang masih baru saja tersadar dari tidur lelapnya.

"Mas, aku sudah di sini! Jangan gigau terus donk!" ujar Clara lembut sambil menyentuh pipi sang mantan pacar.

Kedua insan di mabuk asmara dan rindu kini mulai menyatu dalam indahnya nostalgia SMA. Mereka dulunya adalah sepasang kekasih yang mengikat janji setia tapi berakhir saat si wanita pergi tanpa berkata-apa.

Arka yang tengah dimabuk asmara dalam dada, melupakan janji setia pada Anna, istrinya. Perlahan tangannya menjamah gunung kembar si wanita lalu meremasnya perlahan, membuat Clara mendesah pelan.

"Mas, kamu mau apa? Ini rumahmu! Bagaimana kalau istrimu tiba-tiba datang?" ujar Clara sambil mendesah penuh kenikmatan.

Bukannya berhenti, Arka justru semakin mempercepat permainannya, asmara terlarang menjadi ajang untuk mencurahkan segala hasrat akan rindu yang sempat tertunda dalam jeratan nafsu yang melenakan jiwa.

"Ahhh.. Terus Sayang, jangan berhenti!" teriak Clara yang justru ketagihan saat tubuhnya dijamah manja oleh keperkasaan Arka.

*****

Sebulan sebelum kedatangan Clara.

“Gimana, Na, sudah isi apa belum?” ujar Ibu Mertua Anna dengan memberikan pertanyaan yang sama saat berkunjung ke rumahnya.

Dengan tersenyum Anna menjawab, “Belum, Bu, do’ain aja ya. Lagi pula saya masih ingin fokus mengasuh Arini dan Aruna, mereka sebentar lagi masuk SD pasti semakin banyak keperluannya.”

Ibu Mertua mengernyitkan dahinya yang sudah penuh dengan goresan-goresan kehidupan, berucap dengan penuh penekanan, “Apa? kamu gimana sih, Na? Justru karena anakmu sudah besar, sudah saatnya mereka punya adik, dan adiknya harus laki-laki! Kasian Arka tidak punya anak laki-laki, apa kata orang nanti? Aura saja sudah punya anak laki-laki dan perempuan. Kamu jangan mau kalah sama dia!”

“Bu, kami pasti akan berusaha lagi. Ibu tidak perlu khawatir, aku dan Mas Arka pasti akan berusaha semaksimal mungkin,” balas Anna dengan lembut meski hatinya terasa seperti diiris-iris, perih.

Mendengar suara ibunya yang mulai meninggi, Arka yang sedang bermain dengan anak-anaknya mulai beranjak menuju ruang tamu untuk menenangkan ibunya yang mulai mengintimidasi Anna.

“Ibu, sudah. Jangan tanya itu lagi pada Anna. Kasihan dia sudah lelah mengurus aku dan si kembar.” Terdengar suara Arka dengan penuh penekanan pada ibunya. Dia nampak menahan emosi saat ibunya terus memberondong Anna dengan pertanyaan kapan punya anak laki-laki.

“Arka. Ibu tidak ingin kamu menjadi bahan gosip tetangga, kamu sudah lama nikah, apa susahnya punya anak laki-laki? Mending kamu cari istri lagi!” ketus ibunya dengan sorot mata tajam pada Anna, seolah-olah dia penyebab semua kegagalan itu.

“Ibu, kami akan berusaha lagi dan jangan pikir aku akan menikah lagi, itu tidak akan terjadi karena aku sangat mencintai Anna!” balas Arka dengan tegas.

Menghindari konflik berkepanjangan, akhirnya Arka mengajak istrinya untuk segera pulang. “Anna, ayo kita pulang, sudah cukup kita berkunjung ke rumah ibu!”

Hari itu cuaca sedikit mendung, tak mengurungkan niatnya untuk segera pulang, apalagi mobil sewaan mereka telah bertengger di halaman sejak pagi. Sebelum pulang tak lupa mereka mencium tangan Ayu dengan takzim, kemudian Anna memberikan sebuah amplop berisi nominal uang yang mungkin tidak seberapa itu.

“Punya duit kamu? Gaji guru honorer berapa sih?” ketus Ayu sang Ibu Mertua.

“Ada, Bu, meski tidak banyak, semoga bisa sedikit meringankan Ibu,” balas Anna lembut dengan senyum di bibir merahnya.

Di sepanjang perjalanan, semua diam membisu seperti terhanyut dalam pikiran masing-masing. Sepasang suami istri itu nampak memperhatikan lalu lalang kendaraan yang melaju dengan kecepatan sedang, belum ada yang memulai perbincangan. Sampai akhirnya Aruna mulai mengeluhkan sesuatu pada bunda yang teramat disayanginya.

“Bunda, aku tidak suka di rumah nenek, tadi Runa dengar nenek marahin Bunda. Kenapa sih nenek kok jahat?” celotehnya pada Anna.

Anna yang sedang melamun segera tersadar, dipandanginya anak kesayangannya itu dengan penuh kasih sayang, sambil tersenyum menjawab, “Nenek tidak jahat, Nak. Hanya mengingatkan bunda untuk lebih berusaha lagi. Runa tidak boleh menuduh nenek jahat ya, nenek tidak jahat kok.”

Mendengar jawaban itu, Runa mulai memejamkan mata mencoba mencernanya, meski seperti tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya.

Melihat sikap Runa yang seolah abai, Anna hanya tersenyum lalu menoleh ke sebelah kirinya, terlihat Rini menarik tangan bundanya seolah-olah ingin mengajaknya mengobrol.

“Bunda, tadi Kak Vina ngejek Rini, katanya Rini tidak punya adik laki-laki, tidak seperti kak Vina yang punya adik. Padahal Rini tidak mau punya adik, Rini sudah senang punya Runa,” celoteh Rini sambil cemberut, menunjukkan kekesalannya pada sikap Vina, anak dari Aura sang kakak ipar.

Anna hanya tersenyum dan memeluk Rini agar lebih tenang dan terlelap, lalu ia mulai terdiam dalam lamunannya.

Tiba-tiba dia teringat pada kenangan yang membuatnya akhirnya setuju untuk dinikahi Arka. Kenangan yang membuatnya begitu mencintai Arka yang hanya seorang kurir pengantar bunga. Perihal perjuangan mereka untuk mendapat restu dari orang tua Anna yang seorang PNS tentunya tidak mudah, karena cinta mereka ibarat cinta beda strata sosial. Orang tua Anna berharap anaknya bersuamikan lelaki yang mapan bukan lelaki yang tidak jelas masa depannya seperti Arka.

“Na, sudah hampir sampai, tolong bangunin si kembar.” ucapan Arka menyadarkan Anna dari lamunannya. Ia bergegas membangunkan si kembar dengan perlahan. Anna tersenyum kembali melihat suaminya yang cekatan menurunkan barang-barang mereka, kemudian menggandeng Runa.

Terlintas di pikiran Anna, alasannya masih mempertahankan pernikahannya meski sang mertua selalu membuatnya sedih. Arka adalah lelaki yang bertanggungjawab, setia dan begitu menyayangi keluarganya. Meski tak semapan mantannya dulu, itu bukanlah masalah penting baginya karena uang bisa dicari. Begitu pikiran Anna.

Beberapa jam kemudian, tak terasa waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Terlihat si kembar sedang bermain di ruang TV sambil diawasi Anna, sedangkan Arka di ruang tamu memainkan ponselnya.

“Aruna, Arini, ayo tidur, sudah malam, mainnya besok lagi!” titahnya pada si kembar.

Meski terlihat ogah-ogahan, mereka tetap mulai mengemasi mainan, setelah usai dan mereka mulai berjalan perlahan menuju kamarnya.

“Mas, ayo istirahat, kamu belum mengantuk?” sapa Anna pada suaminya yang sedang asyik bermain ponsel.

“Kamu tidur terlebih dahulu saja, aku masih main game,” balas Arka tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya.

Anna hanya terdiam dan langsung menuju kamarnya. Ia mulai memikirkan perkataan mertua sambil berbaring di atas ranjangnya, seorang diri dan mengharap suaminya segera menemaninya beristirahat. Dengan mata terpejam, ketakutan itu muncul di pikirannya, bagaimana jika mereka tidak punya anak laki-laki? Bagaimana jika Arka menikah lagi demi punya anak laki-laki?

“Belum tidur kamu, masih kepikiran omongan Ibu?” tanya Arka seolah mampu menerobos apa yang dilamunkan istrinya sejak tadi.

“Iya, Mas, aku takut kamu mulai terpengaruh dengan omongan Ibu. Apalagi Ibu keras kepala, dia pasti akan terus memaksa kita untuk memiliki anak laki-laki,” ungkap Anna dengan nada sedih, seolah-olah hal yang telah terpikirkan akan segera terjadi.

“Sudahlah, Na, kamu tahu kalau aku begitu mencintaimu apa adanya, nanti aku akan bicarakan lagi pada Ibu, agar dia tidak terus menerus mendesakmu,” balas Arka disertai pelukan mesra agar istrinya lebih tenang.

“Mas, kamu jangan meremehkan Ibu. Ibu pasti tidak gampang dibujuk. Sebaiknya kita mulai program seperti dulu, tapi bedanya kita akan program bayi laki-laki. Aku akan mulai ambil pekerjaan sampingan untuk menambah pemasukan kita,” ujar Anna semangat dan mulai membalas pelukan suaminya.

Mendengar jawaban istrinya, Arka seolah abai, dia mulai memejamkan matanya, pikirannya melayang-layang, batinnya berbicara. Bagaimana mungkin mereka harus mulai punya anak lagi? Pasti nanti kebutuhan semakin banyak, kehadiran si kembar saja sudah cukup membebani hidup mereka. Lama kelamaan Anna pasti akan mendesaknya untuk dapat pekerjaan yang lebih layak, hal inilah yang dikhawatirkan Arka.

Awalnya ia mengira dengan menikahi Anna, hidupnya akan mapan karena orangtua Anna yang seorang PNS. Ternyata hingga kini orang tua Anna tidak setuju. Orangtua Anna hanya mau menerima si kembar dan Anna saat berkunjung, sedangkan Arka seolah-olah dianggap orang asing. Tanpa Anna ketahui, Arka sebenarnya menyesal menikahi Anna karena tidak mendapat fasilitas dari orang tuanya seperti perkiraannya. Namun, Anna tidak pernah tahu perasaan Arka yang sebenarnya.

Beberapa hari kemudian ….

Arka terlihat berjalan dengan perlahan menuju rumahnya sambil menundukkan kepala, tatapannya terlihat kosong, melihat suaminya pulang dengan tidak memiliki semangat, Anna segera menyiapkan kopi kesukaannya.

Waktu itu sore hari, cuaca nampak sedikit mendung, alam seolah memberi petanda bahwa sebentar lagi hujan.

Dengan perlahan tapi pasti akhirnya Arka berucap, “Aku dipecat, Na, toko bunga bangkrut karena bos terlibat investasi bodong.”

Dengan senyum yang dipaksakan Anna menjawab, ”sudahlah, Mas, rejeki bisa dicari. Mas tidak perlu khawatir, aku bakal cari tambahan sambil menunggu Mas dapat kerja lagi.”

Anna mencoba membesarkan hati suaminya.