Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PHK Mengubah Hidupku

"Clara, tubuhmu benar-benar membuatku kecanduan, aku tidak bisa berhenti sayang," bisik Arka sambil terus menghujam lobang surgawi wanita itu dengan pusakanya.

"Ahh ... Aku juga, Mas. Jangan berhenti, Oh.. Nikmatnya," balas Clara terus meracau, mendesah, dia benar-benar telah kehilangan akal sehatnya.

Kedua insan di mabuk asmara terlarang terus memainkan ranjang yang sudah mulai basah akibat peluh keringat dan cairan kenikmatan yang membanjiri kulit mereka.

Panasnya kamar yang sempit, hanya bermodal kipas angin kecil tak menyurutkan keduanya untuk terus bercinta, melampiaskan hasrat terpendamnya, bahkan tak terasa sudah satu jam mereka bergulat dalam goyangan hasrat menggelora jiwa.

****

Tiga minggu sebelum kedatangan Clara.

Hari itu langit cerah, jalanan masih basah karena semalam hujan mengguyur kota metropolitan. Terlihat orang-orang mulai berbondong-bondong untuk memulai aktivitasnya, tidak terkecuali Arka. Ia menuju tempat kerjanya mengendarai motor butut warisan orang tua.

Hari itu jalanan nampak padat merayap, terlihat kendaraan mulai perlahan bergerak pasca lampu merah di pertigaan. Jarak tempuh dari kontrakan menuju toko florist tidaklah jauh, sekitar 15 menit saja.

Sesampainya di toko, Arka memarkirkan motornya. Hari itu sama sekali tak ada firasat buruk dalam benaknya, dengan langkah penuh semangat, ia berjalan menuju tokonya tanpa melihat tulisan di pintu tertera “close”.

Toko terlihat sepi padahal sudah pukul delapan pagi, biasanya sudah mulai ada aktivitas tapi tidak di hari itu. Terlihat bos toko dengan wajah sayu tanpa semangat bahkan tak menyadari kalau Arka telah tiba.

“Pagi Bos, tumben pagi-pagi sudah di toko, biasanya siang baru nongol,” tanya Arka dengan senyum khasnya.

“Iya, maaf. Sepertinya kamu nggak bisa kerja di sini lagi,” sahut lelaki yang terlihat berusia 50 tahun itu, kulitnya putih dengan sedikit kerutan di wajahnya. Bos toko itu keturunan Cina-Jawa.

“Kenapa bisa tutup, Bos? Padahal kemarin-kemarin toko baik-baik saja, orderan ramai seperti biasa, apa karena saya ijin tidak masuk dua hari maka bos memecat saya?” tanya Arka dengan suara pelan seperti shock karena merasa di PHK sepihak.

“Bukan karena itu tapi terjadi kesalahan dalam pengelolaan keuangan toko sehingga saya harus menjual toko ini, nanti kamu ambil uang pesangon ke Erina, sekarang dia lagi ke toilet,” ucap Bos tanpa ragu kemudian mulai melangkahkan kakinya keluar dari toko.

Kabar mengejutkan ini tentunya mengguncang pikiran Arka. Bagaimana nanti biaya si kembar? Bagaimana dengan desakan promil dari istrinya? Bagaimana reaksi ibunya nanti? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang dalam pikirannya ibarat potongan-potongan film pendek.

“Hei, melamun pagi-pagi, kesambet nanti, kaget ya sama ucapan si bos?” celetuk Erina yang sanggup membuyarkan lamunan Arka.

“Iya nih, kenapa kok mendadak tutup, perasaan kemarin masih baik-baik aja?” tanya Arka dengan ekspresi penuh tanda tanya.

“Bos ketipu karena dia terhasut temannya untuk ikut investasi bodong. Akhirnya toko ini dijual untuk menutupi hutang-hutangnya dan untungnya laku.

Tiga hari lagi si pemilik toko baru akan launching dan teman-teman lain sudah ambil uang pesangon kecuali kamu,” sahut Erin sambil memainkan rambutnya dengan ekspresi heran, mengapa hanya Arka yang tidak tahu apa pun perihal toko florist ini.

Mendengar pernyataan itu, Arka mulai memahami kondisinya meski ia heran mengapa teman-temannya tidak ada yang mengabarinya. Ia tidak menyadari bahwa teman-temannya cukup kesal dengan sikapnya yang sering hutang tapi tidak membayar, kerapkali beralasan jika uangnya habis untuk biaya si kembar.

Awalnya mereka simpati tapi karena terlalu sering dan susah bayar, akhirnya mereka mulai menjauh. Padahal uang itu selama ini digunakan untuk top up game online.

Usai menerima uang pesangon, Arka mulai melajukan motor bututnya ke rumah budenya. Di kota itu, satu-satunya keluarga Arka hanya budenya, karena ibunya masih menetap di desa untuk membantu mengelola sawah peninggalan suaminya bersama saudara-saudaranya yang lain.

“Assalamualaikum Bude, ini Arka, ” ucapnya sambil mengintip di jendela yang tidak tertutup gorden, berharap melihat ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.

“Waalaikumsalam, masuk nggak dikunci,” teriak Bude Ara.

Arka langsung masuk dan duduk di ruang tamu. Ia memilih untuk tidak pulang karena tahu Anna pasti belum pulang dari kerjanya.

“Tumben ke rumahku siang hari begini, kamu tidak kerja?” tanya Bude Ara sambil membawa kopi kesukaan keponakannya.

“Aku dipecat dari pekerjaanku, Bude, gimana ini? Pusing kepalaku,” jawab Arka dengan lemas.

“Dulu ibumu sudah bilang tidak usah dilanjutkan hubunganmu dengan Anna, kalian itu tidak jodoh, kalau dilanjutkan akan sial terus,” sahutnya dengan penuh penekanan.

“Aku juga tidak tahu, aku mengira orang tua Anna bakal bantu kami atau memberiku pekerjaanlah, PNS pasti banyak kenalannya, malah kita seperti diasingkan. Hingga saat ini mereka masih tidak bisa menerima aku, apalagi tahu aku dipecat, mungkin mereka menyuruh kami cerai,” tutur Arka berharap budenya memberikan saran yang terbaik bagi masalahnya.

“Kalau begitu ceraikan saja Anna! Nikah lagi sama perempuan kaya biar kamu tidak usah capek-capek kerja. Guru honorer seperti dia gajinya tidak seberapa,” balas bude tanpa keraguan sedikitpun.

Mendengar jawaban itu, Arka mulai terpengaruh dengan ucapan budenya.

Mungkin sudah cukup kesabarannya selama ini, mertua yang diharapkan memberikan perubahan pada hidupnya tak kunjung memberikan restu yang berdampak pada kesulitan ekonomi yang dirasakannya saat ini.

Hari menjelang sore, ia memutuskan untuk pulang meski sebenarnya malas untuk melangkahkan kakinya, khawatir dengan reaksi Anna nanti.

Setibanya di rumah, Arka melihat sang istri tengah menyapu halaman. Ia sebenarnya mulai bingung dengan perasaannya, takut menyakiti si kembar jika berpisah dengan istrinya, padahal dalam lubuk hatinya mulai merasa ragu-ragu.

Melihat kedatangan suaminya, Anna tersenyum sebagai bentuk sapaan khas padanya yang baru saja tiba. Meski sang suami terlihat lemas dan duduk dengan ekspresi tak berdaya di ruang tamu mereka, wanita itu beranjak menuju dapur untuk membuatkan kopi kesukaan suaminya. Kemudian mengantarkan kopi itu sambil menunggu suaminya bicara.

Arka duduk sambil memijat kepalanya perlahan, mulai merasa lelah dan pusing. Melihat istrinya membawakan kopi kesukaannya, perasaannya sedikit lega, ia berharap kopi itu bisa sedikit meringankan beban pikirannya.

Setelah menyeruput kopinya, ia mulai bercerita tentang PHK yang disebabkan oleh si bos yang tertipu investasi bodong.

Anna mendengarkan keluh kesah suaminya dengan penuh perhatian, meski hanya bisa tersenyum dan menguatkan hatinya. Sang istri tetap bersikukuh untuk program hamil anak laki-laki.

Mendengar penuturan itu, ia hanya terdiam seolah-olah setuju dengan pilihan istrinya, padahal dalam hati sebenarnya menolak karena ia merasa tak sanggup jika harus menambah biaya untuk promil di saat ekonomi keluarga tidak baik-baik saja.

Keesokan harinya ekspresi Arka terlihat kebingungan. Ia mulai memikirkan bagaimana caranya memperoleh pekerjaan secepatnya. Dipandanginya si kembar yang sedang bermain di halaman rumah mereka. Ia merasa si kembar adalah salah satu alasannya tidak bisa melepaskan istrinya, padahal pikirannya sudah mulai terpengaruh oleh ibu dan budenya.

Melihat suaminya sedang duduk melamun di teras, Anna menyapa dengan senyum khasnya. “Mas, aku berangkat dulu ya, titip anak-anak,” ucap Anna.

“Iya, hati-hati ya,” jawab Arka dengan ekspresi datar.

“Mas, minggu depan kita mulai ke dokter ya, aku sudah dapat masukan dari temanku kalau ada dokter yang bagus di kota ini. Dia hanya datang berapa kali sudah berhasil hamil anak laki-laki,” tutur Anna penuh semangat.

Melihat ekspresinya istrinya yang bercerita dengan riang gembiranya ternyata tak mampu menularkan energi positif itu pada dirinya. Ia semakin bingung karena sebenarnya tidak setuju dengan pilihan itu tapi ia juga belum bisa menolak keinginan ibunya, hatinya sendiri sedang dilanda dilematis yang tak berkesudahan.

Ia sebenarnya ingin memberitahu istrinya jika semalam Ibunya menelepon. Ibu mengabari bahwa rumahnya akan segera direnovasi sehingga membutuhkannya untuk mengawasi. Namun, ia tidak tahu bahwa sebenarnya sang ibu mencoba mendekatkannya dengan anak salah satu pengusaha terpandang di desanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel