#Chapter 5
Heksa tiba-tiba ingat tulisan Lizia.
“Hisap, ya di situ. Tolong hisap, ohh..”
Jemari besar pria itu masuk satu persatu, hingga terbenam tiga jari. Wanita itu meringis, antara sakit dan nikmat.
Bibirnya terus menghisap, menjilat dengan jemari memutar atau menarik dan mendorong seirama.
Heksa menatap jemarinya. Jemarinya juga besar, uratnya timbul dan seksi tentu saja. “Si cantik mau coba ga ya? Tiga masuk,” gumamnya lalu tersenyum samar.
Heksa memilih bersantai di sofa. Dia bersiul, kadang tertawa geli mengingat semua novel yang Lizia buat.
Sungguh sisi Lizia yang satu itu membuat mood Heksa sangat baik.
Lizia yang lupa membawa pakaian jelas memakai jubah mandi. Dia tidak bisa memakai handuk dengan santai lagi. Dan kebiasaannya yang memakai celana pendek dan kaos crop top pun tidak bisa.
Ada hantu nakal di sisinya sekarang.
“Hi, udah selesai?”
Lizia menguatkan pegangannya pada jubah. “Udah, aku lapar jadi jangan ganggu.” cicit Lizia tersipu malu. Dia malu soal isi laptopnya.
“Oke, sayang.” Heksa tersenyum manis.
Lizia mengerjap, menatap Heksa terheran. Kenapa dengan senyumnya yang tidak biasa itu? Lizia segera meraih pakaian dan lainnya lalu kembali ke kamar mandi.
Tak lama Lizia keluar.
“Mau coba ga?”
Lizia urung mengambil pengering rambut. “Ha? Co-coba apa?” cicitnya tanpa berani menatap lama Heksa.
Heksa selalu gemas dengan suara lembutnya. “Coba, tiga jari besar.” Heksa gerakan ketiga jemarinya.
Lizia melotot samar lalu memilih segera keluar kamar tanpa peduli dengan rambutnya yang masih basah dan belum di sisir.
Heksa tertawa geli melihat kepanikan itu. “Kamu tertangkap basah sayang, ga kalah mesumnya,” gumamnya begitu puas.
Heksa mengunci kedua tangan Lizia, terus menekan satu persatu jemarinya ke dalam pusat Lizia.
Heksa rebahan menyamping menatap lekat Lizia yang menggeliat, mengernyit dan mendesah halus.
Wajahnya memerah cantik, membuat Heksa mengecupinya lembut dengan terus membuat pusat Lizia nyaman oleh jemarinya.
“Ah.. Sakit,” lirih Lizia.
“Nanti juga enak,” Heksa menekan jari ketiga, Lizia begitu sempit.
“Ah..” Lizia tersentak saat Heksa menghisap lehernya lalu menggerakan ketiga jemarinya cepat.
Heksa tidak puas di sana saja, dia merobek pusat Lizia dengan tongkatnya hingga tenggelam dalam.
Lizia menjerit dalam nikmatnya dan Heksa menggeram di leher jenjang itu.
“Ahh..” Lizia meliuk dan-
Heksa terengah, menatap jemarinya yang penuh cairan kental. Dia terlihat lega, terpejam lalu tersenyum.
Hanya membayangkan Lizia dengan cerita yang gadis itu buat sungguh membuat Heksa puas.
“Dasar, cantik. Di imajinasi aja enak,”
Heksa berjalan santai menuruni anak tangga. Dia melirik ke arah meja makan. Di sana Lanon tengah mengeringkan rambut adiknya.
“Cih, kakak yang romantis.” Heksa menyentuh bekas lukanya sekilas lalu terus melangkah mendekati Lizia.
Lizia hanya melirik sekilas dan pura-pura acuh lagi. Dia hanya makan sarapannya saat rambutnya di gosok Lanon.
Heksa menatap Lanon yang berdiri tepat di sampingnya, meliriknya tajam lalu menghantamkan sisi tubuhnya pada Heksa sampai Heksa terpental dan duduk di lantai.
Lizia tersentak kaget dan refleks menoleh.
“Ada apa?” tanya Lanon.
“Ha? Engga, kak.” Lizia kembali memakan rotinya walau gugup.
Heksa menghembuskan nafas kesal. Jadi begitu cara main Lanon. Memang hebat dia, bisa mengelabui semua orang seolah dia tidak memiliki kelebihan yang sama seperti Lizia.
Dan setiap pukulan Lanon itu menyakitkan, tenaga dalam yang dia punya sungguh hebat. Heksa mengaku kalah.
Heksa berdiri dengan tertatih, membuat Lizia meliriknya lalu melirik Lanon yang bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
“Gue jaga adek lo! Lo malah sakitin gue bajingan kecil!” amuk Heksa.
Lizia kembali melirik keduanya dengan mulut penuh. Lanon terlihat masih asyik mengeringkan rambutnya.
Lizia menatap Heksa bingung, dia bicara dengan kakaknya?
Lizia berhenti mengunyah, membiarkan kedua pipinya kembung, dia menahan nafas saat Heksa mendekat lalu menempelkan bibirnya di bibir Lizia, menjilat sekilas sambil melirik Lanon dengan puas.
Heksa pun pergi dengan tertatih menuju kamarnya.
Lanon mengetatkan rahangnya. Dia kembali marah, hantu satu itu sungguh nakal. Lanon akan segera mengantarkannya ke neraka!
Dari awal datang hantu mesum itu berani menyentuh adiknya. Dan barusan mencium bibir adiknya.
Memang minta di remukan!
“Ada apa?”
Lizia segera menggeleng. “E-engga,” jawabnya pelan nan lembut.
Lanon mengusap kepalanya sayang.
Celine menopang dagu dengan kedua telapak tangannya, tersenyum hangat melihat kasih sayang kakak dan adik di depannya.
Rasanya Celine maupun Abidzar tidak gagal membesarkan keduanya hingga seakur dan saling menyayangi.
Abidzar melirik Celine yang senyum-senyum senang bukannya sarapan itu. Tak hanya anak-anak, istrinya pun kini terlihat lucu. Padahal sudah tidak muda lagi.
Abidzar menghela nafas. Tidak menyangka waktu berlalu begitu cepat. Si kembar sudah besar sekarang.
Lizia memutuskan masuk ke kamar. Di luar banyak hantu dari luar rumah mengganggunya, tidak ada Heksa membuat mereka berani mengejutkannya dengan muncul tanpa lengan, kepala atau kedua mata yang menggantung penuh darah.
“Takut, hm?” Heksa tersenyum miring, dia yang menyuruh hantu-hantu itu mengganggu Lizia agar segera naik ke kamar.
Heksa bosan, dia ingin mengajak Lizia nonton film. Atau mengajaknya untuk kembali mengorek masa lalunya.
“Mau nonton?” Heksa tersenyum lembut, dia tidak ingkar dengan janjinya pada Lanon.
Dia akan memperlakukan Lizia dengan baik, tidak membuatnya terintimidasi dan ketakutan sampai cemas lagi.
Lawannya Lanon, dia terlalu hebat. Jika saja dia manusia, mungkin saat itu juga dia akan menjadi hantu.
“No-nonton?”
“Atau mau nulis cer—”
“Engga! Aku libur kalau hari libur!” potongnya cepat sebagai peralihan. Dia kembali merasa malu.
“Yaudah ayo nonton, film horror.” ajak Heksa.
Lizia pun mengalah, dia mulai menyalakan laptop.
“Padahal aku bisa jadi inspirasi, ga mau coba aku? Cari pengalaman nyata gitu, biar makin oke nulisnya..” bujuk rayunya.
Dengan wajah merah Lizia memilih fokus dengan judul-judul film horror.
“Kamu udah nemuin tokoh yang sesuai, punya tongkat bisbol.” Heksa mengusap celananya.
Dia dulu mengeluh karena miliknya besar dan panjang sampai kadang kepala tongkatnya tidak tertutup celana saking panjang. Jika begitu, dia akan melipat miliknya ke bawah dan itu lebih mengganjal.
Kini Heksa merasa senang memilikinya. Siapa tahu itu daya terik untuk Lizia mau bersamanya, menemani hidupnya yang membosankan sebagai hantu.
Lizia terbatuk pelan, salah tingkah dengan paniknya. Lucu. Jemarinya sampai bergetar gugup dan terus mencoba memilih judul.
“Itu, terkunci di dunia lain,” tunjuk Heksa.
Lizia juga agak tertarik. Melihat posternya para remaja SMA. Mungkin saja di dalamnya tidak ada hal begituan.
“I-iya, ini aja.”
Keduanya duduk bersandarkan kepala ranjang dengan laptop di pangkuan Lizia sesuai maunya Heksa.
Heksa sendiri asyik bersandar di bahu Lizia tanpa peduli gugupnya gadis itu yang walau kini mulai rileks karena film mulai seru.
