Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#Chapter 6

Ada 5 sekawan. Mereka pencinta hantu, mulai berencana untuk mengisi kekosongan selama libur sekolah 2 minggu.

Dari ke gunung, laut dan wisata lainnya sudah mereka kunjungi dengan bahagia, penuh kenangan.

Hingga suatu hari, Rivalda mengusulkan untuk berburu hantu. Dia mengajak teman-temannya untuk ke sebuah sekolah terbengkalai.

“Dia omongannya agak sompral,” tunjuk Heksa pada pemeran Mikael.

“Hm, dia jadi kayak nantangin hantu,” balas Lizia begitu pelan dengan suara lembutnya yang khas.

Heksa sontak meliriknya yang terlihat tidak gugup lagi saking serius pada film mungkin. Cantiknya.

“Dia juga, terlalu sombong.” tunjuk Lizia.

Heksa malah asyik melihat bibir Lizia yang bergerak saat dia bicara.

“Di poster, Mikael sama Amad yang berdarah parahkan, Mikael lengannya kayak putus, terus—”

“Aku cium boleh?” potong Heksa.

Lizia sontak menoleh agak terkejut. Dia mematung saat bibir bawahnya Heksa usap-usap.

Heksa membenarkan duduknya lalu memiringkan wajah dan menempelkan bibirnya walau sekilas karena Lizia segera menjauh panik.

“Kita bikin kesepakatan,” Lizia akan memanfaatkan kesempatan.

“Hm?” Heksa terlihat tertarik.

“Aku kasih kamu cium, tapi tolong jangan ganggu waktu aku nulis, ada pembaca yang nunggu aku, jangan sentuh sembarangan isi laptop aku juga,” jelas Lizia agak sedikit gugup.

Heksa tersenyum. “Ciumnya setiap mau, deal?” tatapannya begitu lekat. Ini langkah yang bagus, penawaran yang sangat menarik.

Lizia panik di duduknya.

“Janji juga jangan sembarangan sentuh—”

“Kesepakatannya banyak dong, aku bisa minta lebih?”

Heksa mendongak, melenguh nikmat saat Lizia menghisap tongkatnya walau hanya bisa masuk setengah.

Mulut kecilnya yang hangat, sungguh memanjakannya.

“Kamu terbaik,” puji Heksa sambil menekan miliknya sampai Lizia memerah lalu terbatuk hampir muntah setelahnya.

Lizia terlihat sayu, dia terengah dan lalu membiarkan atasannya di buka, Heksa hisap setiap Kulitnya dan tak lupa dia remas.

Lizia sepertinya mulai menikmati. Apalagi saat mulut Heksa menghisap bagai bayi haus.

“Ah.. Haa..”

Lizia menutup laptopnya cepat dengan wajah semerah kepiting. Nafasnya memberat samar. Kenapa dalam Imajinasinya kini selalu Heksa yang muncul.

Sudah 3 hari sejak ciuman saat itu. Lizia selalu merasakan perasaan aneh. Jantungnya berdebar juga.

Heksa mengusap wajah gugup Lizia. Dia sungguh senang bisa melangkah selangkah lebih jauh.

Heksa kembali mendekatkan bibirnya. Mengecupnya ringan dua kali kemudian mulai melumatnya.

Lizia bisa merasakan, dingin dari mulut Heksa yang basah. Sapuannya begitu terasa, nafas dan semuanya. Getaran yang Lizia rasakan kenapa terasa nyata.

Lizia semakin penasaran, kenapa Heksa terjebak di dunia hantu. Kenapa dia terasa begitu nyata bagai manusia.

Ciuman ternyata begini ya rasanya. Batin Lizia.

Keduanya saling berjauhan dan memandang. Heksa tersenyum puas.

“Saatnya kita nonton lagi, cantik.” Heksa menjilat bibirnya sendiri. Terlihat menyukai apa yang dirinya lakukan.

Melihat itu Lizia berdebar. Heksa begitu seksi. Dia cocok menjadi tokoh yang sedang dirinya buat.

Heksa berjalan mendekati Lizia yang masih tertidur. “Udah cukup tidurnya,” dia guncang pelan lengan Lizia. “Saatnya bangun, sekolah.” lanjutnya.

Heksa melirik jadwal Lizia yang begitu manis dengan tulisannya cantik seperti orangnya itu.

“Pagi ini upacara, sebelum itu jadwal piket,”

Lizia sontak membuka matanya. Lagi-lagi Heksa berguna. Lizia menepis pemikiran itu dan memilih bergegas untuk bersiap dan berangkat sekolah.

Heksa jelas santai, dia bisa menghilang lalu muncul di sekolah, tepat di samping Lizia. Heksa begitu sibuk mengusir para hantu hingga mereka hanya bisa mengintip Lizia.

Lizia sudah tidak terlalu memikirkan hantu semenjak ada Heksa, semua perhantuan sudah diurus olehnya.

“Pagi, Liz.. Kesiangan ya?” sambut Gea yang tengah menyapu dalam kelas.

Maafkan Lizia yang belum terbiasa piket pagi. Di sekolahnya yang cukup mewah dulu, semua kebersihan sudah diatur OB. Tapi kali ini, dia sekolah di sekolah yang sederhana. Dia harus bekerja sama dengan beberapa siswa sesuai jadwal untuk menyapu dan merapihkan ruang kelas.

“Maaf ya..” cicitnya lembut, begitu pemalu sambil membenarkan kaca matanya.

“Santai aja, bagian sana belum.” tunjuk Gea seraya memberikan sapunya. “Eh, Liz.. Pagi ini ada hantu ga?” bisiknya penasaran.

Lizia menatap Heksa yang duduk di samping kursi tempat duduknya. Terlihat asyik menatapnya. Lizia jadi salah tingkah.

“Ada ya?” panik Gea saat melihat Lizia yang berpaling dan gugup itu, tidak berpikir Lizia tengah salah tingkah.

“I-iya..”

“Ihh sereeem! Kayak gimana bentuknya?” Gea terlihat takut tapi sungguh penasaran juga.

Sion muncul, terlihat sama tertarik melihat tingkah keduanya.

“Hantu-hantu?” bisiknya sambil mendekati dua perempuan yang saling merapat itu.

“Iya, ada katanya, Yon.” bisik Gea.

Lizia melirik lagi Heksa yang terlihat rebahan di meja. “Dia kakak kelas kita yang waktu itu, seragamnya yang dulu,” jelasnya pelan.

“Dia jahat ga sih?”

“Bilang aja nakal, sayang.. Kalau mereka berani macam-macam, terutama cowok itu, liat aja!” Heksa kembali mengangkat wajahnya lalu tersenyum genit.

Lizia merona, kembali salah tingkah, membuat Gea dan Sion menautkan alis.

“Wajahnya jelas ga? Penasaran nih, kita minjem buku tahunan sekolah yuk? Kita cari sosoknya ada engga,” Sion berseru semangat.

Lizia terkejut senang mendengar ide itu, Heksa pun sama. Kenapa tidak terpikirkan soal itu? Oh iya, otaknya hanya berisi hal mesum.

“Dia mau ga?” tanya Sion.

Lizia mengangguk senang. Gea dan Sion juga senang.

“Bilangin sama kamu.

Ajak kakak itu ketemuan nanti pulang sekolah di perpustakaan.” ujar Gea.

“Dia denger kok,” Lizia melirik Heksa yang mendekat lalu mengecup pipinya. “Usir dulu dia,” bisiknya lalu Heksa menghilang dan saat muncul lagi sudah ada di ambang pintu, tengah menghantam makhluk jahat.

“Itu angin kenapa mendadak besar sampai pintu ke banting gitu,” panik Sion. “Apa hari secerah ini bakalan hujan?” beonya.

Lizia mengabaikan celotehan Sion, dia menatap Heksa dengan kerennya membuat para hantu seram itu terbirit-birit, ada yang menghilang juga.

Lizia merasakan jantungnya berdebar. Dia merasa dilindungi, selama ini tidak ada yang bisa membuatnya terlindungi bahkan guru spiritualnya sekali pun.

Heksa begitu terengah beradu energi dengan mereka yang tertarik pada Lizia. Keposesifan Heksa membuat Lizia tidak muak sama sekali.

Hidupnya perlahan mulai normal.

Walau Heksa mesum, membuat Lizia takut tapi dia juga membantunya untuk hidup. Bahkan membantu untuk menjadi inspirasi cerita novelnya tanpa disadari.

Heksa dengan terengah, berkeringat dan memar menghampiri Lizia. “Aman, cantik. Kamu duduk sana, guru bentar lagi masuk.” Heksa lebih dulu duduk dan istirahat mengumpulkan energi lagi.

Lizia duduk dengan tidak lepas memandang Heksa. Ada sisi baiknya ternyata, perasaan Lizia menghangat.

“Liz, denger ga?” Gea mengguncang lengan Lizia. “Malah ngelamun, ada hantu ya?” bisiknya.

“Ha? Iya ada apa? Kamu bilang apa?” tanyanya pelan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel