Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#Chapter 4

Lizia melirik Heksa yang nemplok di punggungnya dengan dagu di bahu Lizia. Mereka begitu intim.

Lizia menggeliat tidak nyaman. Dia sedang olah raga. Hari ini jadwalnya olah raga. Bersama kelas sebelah yang jadwalnya di tarik ke jam yang sama.

“Lizia ya, salam kenal. Aku Hengky,” senyumnya begitu manis, tatapannya lembut bagai laki-laki baik.

“O-oh.. Iya,” cicitnya sambil menerima sekilas uluran tangan itu. Lizia berdebar, bukan karena dia tampan. Tapi ini pertama kalinya ada laki-laki mengajaknya berkenalan.

Biasanya di sekolah terdahulu, laki-laki usil yang mendekatinya, membuatnya tidak nyaman karena bullyan mereka.

Tapi kali ini terlihat berbeda.

Heksa menatap tajam wajah Hengky dengan penuh permusuhan. Berani sekali dia mendekati Lizia.

“Kamu pindah kenapa? Dari sekolah bagus ke sekolah umum begini,”

“I-itu, aku kurang nyaman aja.” Lizia tertunduk malu.

“Kita sekelas, tapi baru kenalan sekarang. Kamu selalu keliatan sibuk soalnya, jadi ragu buat ajak kenalan.”

“Lebih baik ga usah ajak kenalan,” sewot Heksa.

Entah kenapa, pertemuannya dengan Lizia yang singkat rasanya tidak singkat. Dia bagai sudah kenal Lizia dari lama.

“Anak-anak, setelah pemanasan, kita akan bermain bola volly,”

Lizia menatap Heksa yang masuk ke ruang gantinya. Lizia sontak memeluk tubuh atasnyaa yang hanya tertutup bra.

“Ka-Kamu!” suaranya begitu pelan dan panik. Di luar banyak temannya.

“Aku lagi jaga, banyak hantu yang mau ke sini.” datar Heksa seolah tidak tertarik berbuat mesum lagi padahal mati-matian menahan untuk tidak mendaratkan bibir ke dua toket mungil yang menyembul di bra.

Lizia terhenyak saat melihat makhluk besar yang mengintip, Heksa jelas segera mengusir mereka.

Lizia merasa terpojok saat Heksa tidak sadar terus menghimpitnya di dinding toilet. Jika begitu, bagaimana Lizia bisa mengganti pakaian.

Heksa menunduk, mengendus leher Lizia yang begitu menegang kaku.

“Ck! Lucu, semakin takut semakin lucu,” bisiknya.

Dengan usil, Heksa melepaskan ikatan bra Lizia lalu menjauh dan memunggunginya dengan senyum miring terbit begitu tampan.

Lizia yang panik jelas memeluk dirinya sendiri lalu melirik kesal Heksa. Itu pertama kalinya Lizia bisa berekspresi kesal. Biasanya dia hanya akan mengalah dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Lizia jadi terlihat lucu. Abidzar persi perempuan memang menggemaskan.

Pagi hari di hari libur, Lizia menggeliat dari tidurnya. Dia menghirup udara yang sejuk dengan nikmat, barulah membuka matanya. Ada suara gemericik air di kamar mandinya.

“Hm? Siapa yang man- oh kak Lanon mungkin.” gumam Lizia serak lalu menggeliat nikmat.

Lizia diam mengerjap, tidurnya sungguh pulas dan nyaman. Tidak ada drama pusing karena banyak terbangun oleh gangguan hantu di luar kamar.

Tapi tunggu! Di mana Heksa?

Lizia menatap pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Dia masih telungkup dengan wajah menghadap kamar mandi.

Heksa menggelengkan kepalanya hingga cepretan air dari rambut basahnya membentuk seni yang indah, tubuhnya pun terpahat dengan sempurna, Vline yang pria sekali.

Dan tongkat bisbol itu-

Lizia melotot sampai rasanya kedua mata akan melompat jatuh keluar dari tempatnya. Bagaimana bisa kelamin sebesar itu.

Heksa tertawa pelan melihat wajah pucat Lizia yang nyawanya seperti tercabut saking syok itu.

“Gue tahu lo ga polos, di laptop lo isinya cerita 21++..” Heksa melenggang santai dengan tongkat yang bergerak bagai belalai gajah.

Lizia semakin pucat. Dia segera memalingkan wajah dan membenamkannya di bantal. Wajah Lizia bagai kepiting rebus kini.

Dan apa katanya? Laptop?

“Kamu buka laptop itu?!” seru Lizia sampai tubuhnya bangun saking panik, malu dan campur aduk.

Dia menunduk menuju tempat laptop berada. Dia segera memeluk laptopnya. Dia merasa tidak memiliki privasi kini.

Lizia gelisah, terus memunggungi Heksa yang memakai seragamnya lagi.

“Lo bisa bikin gue ganti pakaian? Dengan ilmu yang lo punya?” Heksa urung memakai pakaiannya.

Lizia mengerjap gugup. Mungkin bisa? Entahlah, seingatnya belum pernah.

“Gue jaga rahasia tenang aja, asal lo juga bisa di ajak kerja sama.” bisik Heksa yang sudah nemplok di tubuh belakang Lizia.

Lizia melotot merasakan tongkat bisbol itu. Gila!

Lizia menyimpan laptop dan berlari keluar kamar. Dia tidak akan banyak berpikir, dia akan mencuri pakaian Lanon untuk menutup belalai itu.

Heksa tersenyum melihat Lizia yang terbirit-birit. Dia menatap miliknya yang keras lalu membelainya.

“Keras di waktu yang tepat, dia pasti ngiler.” gumamnya.

Heksa jadi ingat cerita dewasa yang Lizia buat di draf rahasianya dan ternyata dia seorang penulis. Lebih tepatnya penulis dewasa.

Heksa sungguh tertipu dengan kepolosan, kelemah lembutannya, dia yang pemalu, ternyata Lizia hanya bisa mengekspresikannya lewat tulisan.

Dia tidak pernah ciuman tapi cukup ahli jika membuat cerita dewasa. Bahkan Heksa sampai menganga setiap membaca perpartnya.

Imajinasi Lizia sungguh liar. Cocok dengannya yang memang mesum.

“Hm.. Ga buruk,” Heksa menatap celana santai yang di pakainya.

Lizia menelan ludah dan segera memalingkan wajahnya yang seketika terbias warna pink. Dia menyesal memilih celana itu. Ternyata malah membuat anunya Heksa semakin menonjol besar.

Lizia panas dingin dan segera ke kamar mandi. Dia harus menyegarkan pikiran.

“Apa Heksa itu wujud dari imajinasi aku ya? Dia mesum kayak tokoh pria yang aku buat,” gumam Lizia.

Lizia kembali terbayang tongkat Heksa, seketika menggeleng cepat.

“Lebih baik mandi,” Lizia melepas semuanya dengan cepat, dia ingin segera turun dari kamar dan sarapan.

Lebih baik kumpul bersama keluarga agar Heksa diam tak bertingkah.

“Sejumbo itu ternyata,” Heksa tidak berkedip melihat bulatan yang sangat besar. Tidak normal di tubuh Lizia.

Lizia sungguh baik menyembunyikannya.

Lizia menoleh cepat dan mematung. Heksa memilih meraih satu cincin yang selalu dia pakai itu, tertinggal tidak maksud mengintip.

Walau sebenarnya memang mencari kesempatan dalam kesempitan sih.

“Mau ambil ini, sayang. Lanjut,” Heksa pun berbalik dan menembus tembok lagi.

Lizia baru menghembuskan nafasnya. Dia tidak sadar menahan nafas saat melihat Heksa kembali masuk sembarangan.

“Bener-bener ga ada privasi,” lirih Lizia dengan wajah memerah malu. Padahal Heksa hantu, kenapa juga dia malu.

Bukan sekali dua kali ada hantu di toilet, melihatnya pipis dan sebagainya tapi kenapa dia malu pada Heksa?

Jangan bilang dia mulai terbiasa dengan kehadiran Heksa yang seperti manusia normal?

“Wah, gede banget. Enak di remas,” Heksa meremas angin sambil terus mengingat yang dia lihat dengan terpesona.

Heksa sangat suka dengan bentuk dan besarnya. Lizia sungguh tipenya sekali. Heksa jadi ingin menjadi manusia, tapi belum waktunya.

Heksa menatap langit cerah dengan bibir terangkat membentuk senyum misterius.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel