Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#Chapter 3

Mereka terus berbincang, mulai akrab. Dan Lizia sangat senang. Gea baik, tidak ada penjaga di tubuhnya, entah belum terlihat mungkin. Sion hanya ada leluhurnya yang baik, tidak membuat Lizia takut, dan Nimas ada perempuan cantik berkebaya, sepertinya warisan dari leluhurnya juga.

Ini pertama kalinya Lizia bisa mendapatkan teman dalam jumlah banyak dan langsung cocok.

Lizia merasa aneh. Ada sesuatu yang merayap di dalam selimutnya. Menyentuh pahanya yang memang hanya tertutup oleh celana pendek kain.

Lizia masih lelap, memilih mengabaikannya. Hingga tanpa disadari, celananya terlepas di dalam selimut itu.

Heksa mengendusnya, menjilatinya sampai Lizia menggeliat dan membuka matanya. Nafas Lizia terasa memberat.

Rasa apa ini?

Lizia gelisah saat merasakan sesuatu yang mendesak di bawah sana. Hingga rasanya melayang.

Lizia terpejam dan terengah. Apa dia tengah bermimpi. Tapi tunggu, ini bukan mimpi!

Lizia membuka selimut dan melotot kaget. Heksa tengah menyeka mulutnya. Terlihat puas dengan apa yang dia lakukan.

Lizia memakai pakaian serba tertutup, memastikan tidak akan mudah di lepas oleh hantu kriminal itu! Nakal sekali dan lebih nakal dari hantu yang selalu muncul tiba-tiba.

Heksa yang duduk di Sofa Lizia hanya memandangnya datar, dia sudah tidak bisa melihat kaki jenjang mulus Lizia dan perutnya yang selalu terlihat karena kaos yang dipakainya di rumah selalu crop top.

Lizia melirik Heksa yang hanya duduk menatap ke arahnya itu. Entah kapan dia bisa pergi, tapi jika pergi maka semua hantu akan tertarik lagi padanya.

Jujur saja, dengan adanya Heksa, semua hantu menyeramkan tidak berani mengganggunya. Heksa bagai penangkal.

“Gue kayaknya udah lama berkeliaran di dunia hantu, entah gimana kehidupan gue sebelumnya. Gue tiba-tiba aja ada di dunia yang penuh hal aneh, manusia kepala kuda, ular kepala manusia dan masih banyak lagi. Gue merasa paling normal, gue kayak manusia, lo merasa gitukan?”

Lizia duduk di ujung kasur, mencoba berani menatap Heksa yang wujudnya memang terlalu sempurna untuk ukuran hantu.

“Apa lo tahu alasannya? Lo punya hal spesial, apa lo ga bisa korek masa lalu gue?” Heksa terlihat lebih santai, aura playboy dan mesumnya cukup tidak terlihat.

Usilnya Heksa memang agak lain. Bukan membuat orang jatuh, kaget atau hal lain yang dilakukan para hantu.

Usilnya Heksa memang nakal di jalur lain. Dasar mesum!

Lizia menatap wajah tampannya lekat, mencoba menyerap energinya dengan harapan tertarik ke masa Heksa masih hidup.

Tidak ada.

Lebih tepatnya tidak bisa. Pandangan Lizia gelap seperti ada yang menghalangi. Energi Lizia bahkan tersedot banyak sampai mimisan.

Heksa segera beranjak, dia meraih tissue dan menyerahkannya. Lizia menerima dan segera menyeka darahnya.

“Gimana? Lo dapet?” Heksa usap kepala Lizia, rambutnya halus sekali. Dia sungguh senang bisa bertemu Lizia, menyentuhnya dan kelak dia akan mengajak Lizia tidur bersama.

Dia sungguh ingin merasakan itu, melakukan yang belum dia lakukan. Sepertinya dia mati muda? Entahlah.

Heksa sungguh tidak akan melepaskan Lizia.

Lizia menggeleng dengan masih sibuk pada darah yang keluar dari hidungnya. Tubuhnya lemas seketika.

“Gelap, ini pertama kalinya aku ga bisa.” ujar Lizia pelan.

Heksa memasukan kedua jemari tangannya ke setiap sisi saku seragamnya. Berdiri santai menunggu Lizia selesai dengan darah di hidungnya.

“A-aku butuh tidur. Aku mohon, jangan lakuin hal kayak waktu itu. Aku mau diajak kerja sama buat cari apa yang terjadi sama kamu, tapi jaga batas. Kita beda alam.” tatapan Lizia tetap menunduk tidak percaya diri.

“Hm.” gumam Heksa malas.

Heksa menatap hantu yang mengintip di jendela, dia segera mengusirnya. “Cewek gue mau tidur, pergi!” usirnya galak.

“Ga bisa masuk, bang. Kok abang bisa masuk?”

“Gue cowoknya, bawa temen lo jauh-jauh, jangan berisik!”

Lizia melirik sekilas dengan agak salah tingkah. Apa katanya? Cewek gue? Lizia melirik semua mantra, jimat dan hal lain yang mengisi kamarnya. Semua hal yang katanya bisa mengusir hantu, sungguh tidak ada efeknya pada Heksa.

Hantu yang lain tetap tidak bisa masuk. Lizia jadi penasaran.

Lizia pun mulai bersiap tidur. Dia akan kembali nyenyak. Akhirnya bisa tidur dengan normal tanpa suara bising dari para hantu.

Semua berkat Heksa?

Lizia mulai terlelap. Sedangkan Heksa menatap sosok yang tidak asing. Dia menembus pintu, dia keluar dari rumah Lizia dan berhenti di taman.

“Lo boleh deket, tapi tahu batas bajingan!”

Bug!

Bug!

Bug!

Heksa mencoba melawan, menepis tanpa mau kalah. Para hantu menonton perkelahian itu. Bahkan Lizia dalam mimpinya pun ikut menonton.

“Demam, dasar nakal!” Celine menjitak kening Lanon yang panas.

“Akh! Mama!” pekiknya agak merengek kesal. “Katanya demam, bukannya di sayang!” rajuknya.

“Ga usah sekolah.” Celine memasangkan pereda panas di kening Lanon dengan kesal. “Makanya dengerin kata orang tua! Jangan lewatin makan malam! Tidur terus kerjaannya!” omelnya.

Abidzar yang belum berangkat bekerja hanya berdiri sambil tersenyum melihat Celine yang mengomeli Lanon. Tingkah keduanya, keras kepalanya sungguh mirip.

Lizia yang mendengar keributan di kamar kakaknya jelas menghampiri mereka, menatap Lanon.

“Kakak kenapa memar? Berantem ya?” tanya Lizia lembut penuh perhatian.

“Memar?” Celine menatap anaknya. “Kakak cuma demam, ga ada memar, sayang.” Celine usap lengan Lizia sekilas.

Lizia sontak terdiam.

“Ekhem! Kakak ga sekolah, kamu berangkat sana..”

“Iya, ini mau.” Lizia berpamitan, menerima pelukan dan kecupan di pipi dari kedua orang tua dan kakaknya.

Lizia melirik sekilas Lanon yang memalingkan wajahnya. Lizia yakin, dia melihat memar tapi orang tuanya tidak?

Selain Heksa, Lizia juga penasaran dengan kakaknya itu. Apa dia sama seperti dirinya setelah bertambah umur? Mata batin yang kembali terbuka dengan sendirinya.

“Aw! Sakit, mama!” keluh Lanon saat omelan Celine di sertai pukulan kesal saking cemas.

Celine memang paling tidak bisa melihat anak-anaknya sakit. Dulu Lizia sakit sampai hampir meninggal akibat hal mistis. Sejak saat itu, sakit seringan apapun selalu membuat Celine takut dan cemas berlebihan.

“Baba! Bawa mama, malah bikin makin sakit,” ngedumel nya.

“Jadi kamu ga butuh mama?” amuk Celine semakin gemas. Dasar tidak pernah akur, sekalinya akur romantis sekali.

Abidzar segera membawa Celine ke kamar. Mendudukkannya di ujung kasur.

“Anak kita sakit wajar, kamu terlalu berlebihan, sayang.” suara Abidzar tetap lembut, penuh kasih sayang.

Celine menghela nafas panjang. “Hal spesial yang Lizia dapat waktu kecil, buat aku trauma, Abi. Lizia hampir jadi mayat, aku ga mau kehilangan mereka.” lirihnya.

“Aku juga ga mau, kita berdoa ya, semua baik-baik aja. Lizia sama Lanon di jaga, terkhusus Lizia. Dia udah dibekali ilmu,” Abidzar menarik Celine, memeluk dan mengusapnya sampai tenang.

“Lizia liat Lanon memar, kita ga liat. Apa hal mistis yang buat Lanon demam?”

Abidzar menggeleng. “Aku ga tahu, sekarang fokus sembuhkan Lanon dulu. Kalau ga kunjung sembuh, kita bawa ke guru spiritual mereka.” bisiknya.

Celine mengangguk, mendongak dan mencium Abidzar. “Jangan kerja, tiba-tiba kangen dan mau kamu.” bisiknya.

“Mau liburan? Kita rencanakan, hm?” Abidzar tahu, betapa mumet Celine yang selalu di rumah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel