#Chapter 2
Tidak tahu harus bagaimana menanggapinya.
Lizia mulai gelisah. Dia tidak suka dengan sentuhannya yang terasa dan keterlaluan.
“Katanya murid baru itu indomie,” bisik Sion.
“Bukan indomie, indihome,” ralat Nimas.
“Kalian ck! Indigo,” Gea terlihat kesal pada dua temannya itu.
Lizia samar mendengar bisik-bisikan itu. Dengan terus merasa tidak nyaman merasakan usapan di paha kirinya yang terus saja usapan itu masuk ke dalam rok dan menyelinap masuk ke dalam celana dalamnya.
Lizia segera bangkit dengan terengah panik. Jemari dingin itu menyentuhnya semakin hilang batas.
Gea, Sion dan Nimas sontak terkejut dengan gerakan Lizia. Mereka pikir Lizia marah karena membicarakannya.
Di dalam kelas itu memang hanya berisi mereka yang memilih tidak pergi ke kantin.
“Kenapa, Lizia?” Gea mendekatinya yang pucat dan panik. Apa melihat hantu? Apa benar indigo?
Lizia segera menggeleng lalu tersenyum dan kembali duduk dengan gugup. Dia membuka buku, mulai membaca walau tidak fokus.
Gea pun memilih tidak mengganggu lagi.
Lizia melotot samar, menatap Heksa yang bergerak turun masuk ke kolong meja. Senyum bad boynya muncul.
Lizia mencoba merapatkan kakinya agar Heksa tidak bisa mengintip namun tenaganya kalah.
Lizia melirik sekitar dengan gelisah. Bagaimana bisa Heksa memasukan kepalanya ke dalam rok. Dengan segera Lizia berdiri dan berlari pergi.
Gea, Nimas dan Sion sontak menatap kepergiannya.
“Dia denger kita ngobrol kali ya?” Nimas jadi tidak enak hati, padahal maksud mereka tidak menjelekannya, membully atau apapun itu.
Heksa keluar dan berdiri santai, memasukan jemari ke saku celana seragamnya. Lalu tersenyum miring.
“Lizia cantik, gue mau dia.” gumamnya lalu bersiul.
Lizia menutup pintu kamar mandinya. Dan terkejut samar saat melihat Heksa menembus pintu. Kali ini dia bisa melihat bahwa dia sungguh hantu walau wujudnya sangat sempurna seperti manusia.
“Mau mandi?” Heksa berdiri di depan Lizia.
Lizia memalingkan wajahnya, mencoba tidak panik. “Aku emang bisa liat kamu, tapi bukan berarti kamu seenaknya. Aku bisa bantu kamu pulang, tenang di alam sana.. Jadi tolong, aku butuh privasi.” ujarnya panjang lebar namun dengan tatapan menunduk.
“Pulang? Tenang? Gue suka kayak gini, bebas tanpa ada yang liat.” Heksa membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan Lizia.
Sungguh cantik. Lizia begitu terang, pantas saja banyak hantu yang penasaran. Ada aura penarik yang membuat banyak hantu tertarik.
Lizia tidak tahu harus bagaimana, berdoa, memakai ilmu yang diajarkan. Heksa tetap tidak bisa terusir.
“Gue bebas sentuh siapapun, ngintip siapa pun.” bisik Heksa di depan wajah pucat Lizia.
Heksa kecup bibirnya sekilas. Untuk pertama kalinya. Lizia jelas melotot kaget. Di dunia nyata belum pernah dan ciuman pertamanya dengan hantu
Lizia menggeleng, tidak. Itu tidak terhitung ciuman pertama karena dia hantu walau pun kecupannya terasa nyata.
Heksa menatap Lizia yang semakin pucat. Tidak lucu jika pingsan. Jika Lizia semakin takut, bukankah ingin melakukan banyak hal dengan Lizia akan terwujud lama?
“Oke, gue keluar.” Heksa tersenyum, dia usap kepala Lizia lalu pergi santai menembus pintu.
“Tolong antar ke ruang guru, mejanya Bu Ayun.”
Lizia dan Gea mengangguk lalu pergi bersama dengan kedua lengan memeluk buku yang sama banyaknya.
Heksa tentu menjadi terus mengekori Lizia. Hanya dia yang bisa melihatnya untuk pertama kalinya. Jelas tidak akan Heksa lepaskan.
Heksa yang posesif dengan apa yang menjadi miliknya jelas mengusir beberapa hantu yang ingin mendekati Lizia. Dia kini terlihat seperti pengawal Lizia dari dunia lain.
Lizia cukup lega dengan banyaknya makhluk yang langsung pergi karena diusir Heksa. Dia bisa sedikit mengangkat kepala, melihat beberapa hiasan di lorong sekolah barunya.
Biasanya Lizia tidak berani mengangkat wajahnya, takut bersitatap dengan para hantu dan mereka mendekatinya jika tahu dia bisa melihat mereka.
“Liz,”
“Ya?” cicitnya canggung.
Lizia selalu tidak bisa berteman, kadang penjaga dari alam lain setiap orang selalu seram-seram. Kadang juga membuatnya lelah karena energinya tersedot oleh penjaga yang memang kuat.
Tapi kali ini, Lizia menatap Gea. Dia tidak memiliki penjaga? Atau tidak terlihat ya? Aura Gea bagus, dia orang baik. Batin Lizia.
“Katanya kamu punya kelebihan, ya? Hari itu kita omongin kamu bukan ngejelekin kok, kita cuma penyuka horror. Jadi, waktu denger gosip kamu suka bicara sendiri di sekolah lama, katanya indigo, kita jadi pengen deket, temenan, ga lagi bully kok,” Gea jujur apa adanya.
Lizia menunduk gugup. Dia iyakan atau tidak ya?
“Jawab iya aja, sayang.” bisik Heksa dengan genitnya. Dia seperti playboy, tapi mungkin bedanya dia playboy di dunia hantu?
Lizia tersentak pelan mendengar bisikan itu, cukup kaget. Untung buku di pelukannya tidak jatuh.
“A-Aku.. Ga tahu, tapi bisa liat dan bicara sama mereka emang iya,” cicitnya gelisah, takut menjadi masalah dan semua orang malah menjauhinya.
Tapi Lizia yakin, aura Gea baik.
“Pergi ga lo!” Heksa terus mengusir para hantu dengan banyak rupa aneh itu. Lebih banyak korban kecelakaan karena di depan sekolah memang sering banyak kecelakaan.
Lizia melirik Heksa yang lumayan membantunya. Ternyata ada gunanya walau tetap saja takut dengan tingkah mesumnya.
“Wah.. Di sini banyak ga?” bisik Gea.
Lizia mengangguk.
“Serius? Siang gini?”
Lizia mengangguk lagi, dia agak gugup saat Gea memepetnya takut. Padahal masih cukup ramai kelas lain yang sedang berolahraga.
“Mau ke meja siapa?” tanya guru yang berpapasan.
“Bu Ayun, bu.” jawab Gea. “Di ujung sana kan bu?” tanyanya.
“Iya, kirain kamu dua murid baru,”
“Ini yang murid baru, bu.”
Lizia tersenyum tipis nan canggung.
“Yaudah masuk aja,”
“Makasih, bu.”
“Murid baru yang akan jadi kesayangan gue,” ujar Heksa sambil memeluk Lizia.
Lizia melotot samar, manahan nafasnya juga karena merasakan kedekatan itu. Hembusan nafas Heksa bahkan di pipi kirinya terasa.
Gea menatap kekakuan Lizia. Apa dia melihat hantu? Bantin nya.
Gea melihat seragam Lizia yang mengkerut. Alis Gea sontak menyatu. “Liz, ada hantu ya?” tanyanya.
Gea melihat seragam Lizia yang mulai seperti semula. “Apa hantunya belit kamu?” tanyanya serius. Dipikirannya hantu siluman gurita.
“Ka-kamu liat?” cicit Lizia.
“Engga, ini seragam kamu mengkerut terus perlahan normal.” jelasnya.
“A-ayo simpen bukunya dulu.” Lizia memilih melangkah duluan. Gea pun menyusul dan menyimpan semua bukunya.
Lizia menatap sebuah brosur lusuh di ujung ruangan yang tertumpuk dengan buku bekas di dalam kardus.
Lizia meraihnya. “Gea, apa ini seragam lama di sekolah ini?” tanyanya pelan masih malu karena belum akrab.
“Iya, udah 5 tahun yang lalu kita ganti jadi seragam ala Korea gini,” jelas Gea.
Lizia melirik Heksa yang tersenyum. “Apa, sayang?” ujarnya dengan tatapan yang tajam, membuat senyumnya jadi menyeramkan. Lizia belum terbiasa melihatnya. Tapi, Heksa tampan.
Gea menatap arah pandang Lizia, tidak ada apapun. Apa ada hantu? Membuatnya merinding.
“Liz, ada apa?”
Lizia menatap Heksa. “Kamu di sini dari kapan?” tanyanya.
Heksa membungkuk sampai hidungnya hampir bersentuhan dengan hidung Lizia. Dengan segera Lizia mundur.
“Eh, kenapa?” panik Gea merinding.
Mana guru semuanya sedang mengajar ke kelas. Ada beberapa guru pun hanya hilir mudik.
“Ini, ada hantu yang pakai seragam ini,”
“Bilang juga, sayang. Hantunya tampan, nakal juga..” Heksa mengusap pantat Lizia.
Lizia sontak menepisnya.
“Ah kamu! Ayo keluar,” seret Gea panik.
Heksa mendengus kesal karena Lizianya diseret keluar tanpa menunggunya.
Lizia menatap Gea, Nimas dan Sion lalu melirik Heksa yang duduk di kursi sebelah Lizia yang kosong lalu tiba-tiba kepalanya rebahan di paha Lizia.
Lizia jelas kaku, dia panik dengan setiap pergerakan Heksa yang bisa saja merabanya lagi dengan kurang ajar.
“Jadi, ada laki-laki pake seragam ini selalu ngikutin kamu?” tanya Nimas sangat tertarik.
Lizia mengangguk. “Dia kayak seumuran kita.” jelasnya pelan masih agak canggung.
“Di mana?”
“Bilang aja lagi endus vagin—” Heksa melotot melihat Lizia yang berhasil membungkam mulutnya.
Lizia juga kaget, kenapa dia bisa menyentuhnya.
“Ada apa? Ada sesuatu di bawah meja?” tanya Sion segera mengintip.
Heksa menatapnya kesal karena tanpa Sion sadari, wajahnya hampir berdekatan dengan Heksa yang masih rebahan di paha Lizia.
