Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9: Janda Idaman

“Apa?! Janda beranak empat? Apa kamu tiba-tiba sudah tidak laku, Denny? Kemana perginya wanita-wanita muda yang kamu tenteng-tenteng selama ini? Kok tiba-tiba malah mau menikahi wanita yang sudah janda dan punya banyak anak?” Yanny langsung berdiri dari duduknya, menatap tidak percaya kepada putra kesayangannya yang berada di hadapannya.

“Tenang dulu, Ma? Diana bukan seperti yang Mama bayangkan, meskipun sudah punya anak empat, dia masih muda dan sangat cantik. Dia juga seorang Direk--.” Denny masih berusaha menenangkan ibunya yang langsung panik. Namun, ucapannya segera dipotong oleh sang ibu.

“Gak-gak, deh! Gak bakalan mama setuju punya menantu janda. Apalagi ini sudah beranak empat, mau ditaruh di mana muka mama sama saudara-saudara dan teman-teman mama nantinya.” Yanny menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ma? Jangan begitu … aku sangat mencintai Diana sejak dulu, Ma. Aku benar-benar gak bisa mencintai wanita lain. Tujuh tahun, Ma. Aku berusaha mencari pengganti Diana, tapi tidak bisa hingga saat ini. Sudah takdir mungkin, aku bisa bersama Diana lagi, Ma. Dia sudah tidak punya suami sekarang. Aku ingin memilikinya kali ini, tolong restui kami, Ma,” ucap Denny memohon dengan mata yang berkaca-kaca menatap sang ibu yang masih berdiri dengan napas memburu menahan emosi.

“Tidak akan, Denny! Lebih baik kamu pertimbangkan lagi untuk menikah dengan Susana. Mama ingin menantu seperti dia, bukan seorang janda beranak empat pula.” Yanny langsung beranjak pergi tanpa menoleh lagi menuju kamarnya. Meninggalkan Denny yang duduk termangu menatap punggung sang ibu.

***

Diana menatap lagi ponselnya untuk ke sekian kalinya. Sudah tiga hari berlalu, tidak ada kabar berita dari Denny sama sekali. Padahal Denny berjanji akan segera mengabarinya hari Senin kemarin sepulang dari Balikpapan. Namun, sampai hari Selasa ini tidak ada juga kabar samasekali dari pria yang beberapa hari lalu begitu ngotot ingin menikahinya.

“Apa Denny marah gara-gara penolakanku beberapa hari yang lalu?” pikir Diana galau. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di siang hari Jumat itu.

Sebenarnya Diana sedikit menyesal dengan kejadian itu, serasa dirinya begitu murahan, tapi ia tetap harus mengakui bahwa aura memikat laki-laki itu begitu kuat. Ia tidak mampu menolaknya. Apalagi sudah tiga bulan ia tidak merasakan sentuhan yang memabukkan dari seorang laki-laki.

Diana menghela napas sekali lagi. Ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi sambil menengadahkan kepala. Matanya terpejam. Kembali lagi, bayangan tiga hari lalu muncul bagai film yang diputar ulang dalam memori ingatannya.

“Aku sangat merindukanmu, Na,” bisik Denny usai mencium mesra mantan pacarnya yang baru saja menjanda selama tiga bulan itu.

Diana membuka matanya, menatap malu wajah tampan yang begitu dekat di depan wajahnya. Aroma coca cola yang diminum Denny membuat rasa yang manis saat mereka berciuman tadi. Sangat berbeda dengan ciuman almarhum suaminya yang dingin terhadapnya.

Melihat Diana yang terhanyut dengan ciuman mautnya, Denny melanjutkan aksinya. Namun, ketika mereka berdua hampir menuntaskan gairah membara mereka, tiba-tiba Diana mendorong tubuh Denny yang mendekapnya erat.

“Jangan, Den,” ujar Diana dengan napas tersengal. Hampir saja ia larut dengan permainan laki-laki tegap itu.

“Kenapa, Na? Kita akan segera menikah, aku benar-benar menginginkanmu sekarang.” Denny berusaha meraih kembali tubuh langsing Diana ke pelukannya. Ia tahu Diana pasti sangat menginginkan kehangatan seorang laki-laki saat ini.

“Tidak, Denny. Aku tidak mau berhubungan sebelum kita resmi menikah, lupakan saja niatmu, jika kamu hanya menginginkan tubuhku saja.” Diana meraih kemejanya yang sudah terlepas, hanya menyisakan celana kerjanya yang tadi hampir dilorotkan Denny.

Denny menatap tajam wanita cantik yang sedang merapikan pakaiannya kembali. Tubuh tegap berotot itu tampak mengkilap oleh keringat, meski ada pendingin ruangan yang terpasang di ruang tamunya.

“Aku balik ke kantor dulu, Den. Udah hampir jam dua ini.” Diana meraih ponsel dan kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. Ia segera mengalihkan pandangan begitu tubuh tegap bertelanjang dada itu kembali menghampirinya.

“Maafkan aku, Na. Besok Sabtu aku akan pulang ke Balikpapan untuk memberitahu mamaku. Senin pagi aku sudah balik lagi ke Samarinda. Tunggu kabar dari aku ya, Sayang.” Denny yang masih memakai celana panjangnya, meraih tangan Diana, kemudian mengecupnya mesra.

“Iya, Den. Hm … aku jalan dulu, ya,” ujar Diana seraya menarik tangannya yang masih digenggam Denny.

Suara ketukan di pintu ruangan kerjanya menyadarkan Diana dari lamunan panasnya bersama Denny. Sesosok wajah tampan yang lain kemudian muncul dari pintu yang dibuka dari luar.

“Apakah saya mengganggu, Bu Diana?” sapa pemilik wajah laki-laki dewasa dengan berewok tipis tercukur rapi. Tubuh tegap menjulang tinggi itu kemudian berjalan ke meja sang direktur.

“Ah, enggaklah, Pak Ivan. Mari, silakan duduk.” Diana melemparkan senyum manisnya kepada sahabat suaminya yang sekarang merupakan bawahannya.

“Saya hanya mau pamit besok ke Berau, untuk melanjutkan rencana proyek yang diurus Pak Rey tiga bulan yang lalu. Tadi pagi pemilik lahannya sudah setuju, jadi rencananya saya akan menemui sub kontraktor kita yang akan mengerjakan proyek di sana nanti,” jelas Ivan setelah duduk di hadapan direktur cantiknya.

“Hm … syukurlah, proyek terakhir Mas Rey itu bisa jalan sekarang. Berapa lama Pak Ivan di Berau nanti. Terus terang, aku belum bisa menghandle di sini, untuk tugas-tugas Pak Ivan selama di Berau nanti.” Diana menatap Ivan dengan mata mengerjap panik. Ia benar-benar tidak bisa menjalankan perusahaan almarhum suaminya itu, jika tidak ada Ivan di sisinya. Ia hanya mengerti tentang laporan keuangan saja, tidak untuk operasional lapangan.

“Enggak lama kok, rencananya sekitar tiga hari saja. Seandainya lebih dari itu, gak usah khawatir, Calvin—manager operasional cukup bisa diandalkan di lapangan. Hubungi saya setiap saat, jika Bu Diana ingin menanyakan sesuatu,” jelas Ivan sembari menarik kedua ujung bibirnya ke atas, membentuk senyum kecil yang memikat. Hatinya selalu berdenyut kencang jika berdua saja di ruangan bersama janda sahabat dekatnya itu.

“Baiklah, jangan diabaikan lho, ya, kalau aku menghubungi nanti,” ucap Diana tersenyum lebar, memperlihatkan barisan giginya yang tersusun indah dalam mulut merah merekahnya. Diam-diam Ivan berupaya untuk tidak tergoda.

“Enggaklah, pasti diangkat, kecuali sedang mandi tentunya.” Ivan tertawa kecil untuk menghilangkan debaran jantungnya. Ia kemudian kembali berdiri dari duduknya. ”Saya mau makan siang dulu, lapar nih.”

“Makan di mana, Mas, eh, Pak? Aku ikut, ya? Aku juga belum makan siang, nih,” pinta Diana sembari ikut berdiri dari kursi direkturnya. Ia lalu mengambil tas yang terletak di atas meja kecil di sebelah tempat duduknya.

“Lho? Biasanya ‘kan pulang ke rumah kalau siang,” tanya Ivan heran bercampur senang.

“Lagi malas nyetir pulang nih, apalagi anak-anak lagi di rumah neneknya semua. Ibu ada acara arisan keluarga malam ini di rumahnya. Yuk, Mas. Aku kepengen makan siang di restoran padang Upik Juanda, boleh, ya?” Diana berjalan duluan ke pintu ruangannya, mendahului pria bertubuh tinggi yang masih bergeming di dekat meja direktur. Bibir Ivan terlihat tersenyum kecil mengikuti langkah anggun wanita yang memakai sepatu berujung langcip tersebut.

***

Denny terbelalak menatap pasangan wanita dan laki-laki yang baru masuk ke dalam restoran Padang tempatnya makan siang. Apalagi terlihat wanita yang ingin dinikahinya itu sangat akrab dengan laki-laki tinggi dan gagah yang berjalan bersamanya. Denny yang masih galau karena belum mendapatkan restu dari ibunya itu, berusaha menyembunyikan tubuhnya dari pandangan Diana yang kemudian memilih duduk di salah satu kursi yang kosong bersama Ivan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel