Bab 10: Jauh dari Restu
Diam-diam, Denny memperhatikan wanita yang dicintainya itu dari tempat duduknya yang kebetulan berada di pojok ruangan dan terhalang oleh tiang di tengah ruangan. Diana tidak akan bisa melihatnya duduk di tempatnya saat ini.
Denny menghela napas panjang. Ia tidak lagi berselera meneruskan makan siangnya yang masih tersisa separo. Hatinya terasa terbakar melihat wanitanya bersama laki-laki yang tidak kalah tampan dan gagah dari dirinya. Tadinya, ia sudah berencana ingin mengajak Diana untuk makan siang bersama, tapi karena ia masih galau dengan jawaban yang akan diberikan ke wanita itu, membuat Denny memutuskan untuk makan siang sendiri. Ia masih memikirkan jalan terbaik yang akan ia tempuh. Apalagi kala ingat ucapan terakhir ibunya saat ia pamit pulang kembali ke Samarinda hari Senin pagi kemarin.
“Ingat Denny! Jika kau masih ingin melihat mama berdiri dalam kondisi sehat begini, berhenti untuk meneruskan rencanamu untuk menikahi janda itu. Mama tidak akan pernah merestuimu!” Yanny berkata ketus begitu putra kesayangannya pamit sembari mencium tangannya.
“Maa … jangan seperti itu dong, Ma …. Aku sangat mencintai Diana, Ma. Tolong beri restu Mama buat kami. Mama pasti akan menyukai Diana, begitu Mama bertemu dia nanti.” Denny masih mencoba membujuk mamanya dengan wajah memohon.
“Tidak akan! Sudah sana berangkat! Nanti kamu kesiangan sampai Samarinda.” Yanny melepaskan tangannya dari genggaman sang putra. Kemudian berjalan pergi, meninggalkan Denny yang menyugar rambutnya dengan kecewa.
***
Diana kembali ke ruangannya di kantor. Seulas senyum hadir di bibirnya kala mengusap perutnya yang sedikit menyembul. Makan siang bersama pertamakalinya hanya berdua Ivan, pria yang melahap makanannya dengan nikmatnya itu, membuat Diana tanpa sadar ikut menghabiskan menu makan siangnya tak bersisa. Gulai kepala ikan yang dimakannya tadi benar-benar enak, ditambah dengan sikap Ivan yang mengajaknya mengobrol ini itu. Sangat berbeda dengan sikap pria itu kala mereka berada di kantor. Diana tidak mengira teman suaminya itu begitu menarik di luar kantor. Ia pun merasa nyaman ketika bersama Ivan yang dewasa dan menyenangkan.
Suara dering ponselnya dari dalam tas, menyadarkan Diana dari memikirkan sosok Ivan. Terlihat nama yang memanggilnya itu ‘Teman Lama’. Ia belum menggantinya dengan nama Denny, sejak menyimpan nomor itu ketika pertama kali bertemu lagi empat bulan yang lalu.
“Hallo ….” Diana menjawab pelan.
“Hallo, Na. Hm … maaf ya, baru menghubungimu sekarang.”
“Gak apa-apa. Pasti kamu bingung karena keluargamu tidak merestui kita ‘kan?” tebak Diana asal.
“Kamu pulang kerja jam berapa, Na? Aku ingin kita bertemu, nanti aku jelaskan semua.”
“Pukul setengah lima.”
“Kita ketemu di starbucks Bigmall, ya? Aku tunggu di sana sore nanti.”
“Baiklah,” balas Diana singkat.
“Oke, sampai jumpa nanti, ya.”
“Iya.” Diana menutup panggilan di ponselnya. Sesaat ia tercenung mengingat pembicaraannya dengan Denny barusan. Mencoba menerka apa yang akan dibicarakan Denny nanti sore.
“Aku yakin, hubungan kami tidak akan berlanjut,” pikir Diana dengan getir. Ia sudah mengira sejak awal. Siapa orang tua yang mau merestui anak bujangan mereka menikahi janda yang mempunyai anak banyak seperti dirinya. Ada rasa sakit yang kemudian terasa di hati Diana. Tidak bisa ia pungkiri, Denny kembali bisa membangkitkan rasa cintanya terhadap pria itu, mungkin karena ada rasa kecewa di hatinya terhadap almarhum suaminya, sehingga cinta untuk suaminya itu bisa secepat itu berlalu dari hatinya.
“Ah, lihat nanti sore aja lah, lebih cepat hubungan ini diperjelas akan lebih baik, apapun keputusan Denny, semoga itu yang terbaik bagi kami ke depannya,” pikir Diana lagi. Kemudian ia kembali menyelesaikan berkas-berkas yang masih setumpuk di atas meja kerjanya yang belum disentuhnya sejak pagi.
***
Diana memarkir mobilnya tepat di depan kafe starbucks tempat ia janji bertemu dengan Denny. Dari jauh ia sudah bisa melihat pria itu sudah duduk sambil merokok di teras kafe yang terbuka.
“Denny?” panggil Diana begitu tiba di belakang pria yang masih asyik berselancar dengan ponselnya.
“Eh, Na. Kamu sudah datang?” Denny menoleh dengan cepat ke wanita cantik yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
“Hm … kita pindah ke dalam aja ya, Den. Gak enak nih di tempat terbuka begini, ntar ada yang kenal sama aku. Kamu kan tahu kondisiku saat ini.” Diana membetulkan kaca mata hitam lebar yang menutupi sebagian wajahnya. Rambut coklatnya pun dipakainya untuk menutupi wajahnya yang terbuka.
“Oke, yuk, pindah ke dalam,” ucap Denny dengan tersenyum melihat tingkah Diana yang seperti ketakutan jika ketahuan oleh orang yang mengenalnya.
Tidak lama kemudian pasangan serasi itu sudah duduk di meja bagian pojok dalam kafe tersebut.
“Na, kita pesan makanan dulu, ya?” Denny menyodorkan menu makanan ke hadapan Diana.
“Kenapa tidak menghubungiku kemarin, Den?” tanya Diana usai Denny memesan makanan dan minuman buat mereka berdua.
“Maaf, ya, Na. Aku tidak menepati janjiku kemarin.” Denny menatap wajah wanita yang duduk di depannya dengan rasa bersalah.
“Pasti ibumu tidak merestui kita, benar ‘kan?” tebak Diana penasaran.
“Hm … kamu benar, aku tidak bisa membujuk ibuku untuk merestui kita,” keluh Denny. Ia benar-benar kecewa karena keinginannya untuk menikahi wanita yang dicintainya sejak dulu itu tidak berjalan lancar.
Meski sudah menduganya, ucapan Denny cukup membuat Diana merasa ikut kecewa. Tidak bsa dipungkirinya bahwa ia cukup berharap hubungannya dengan Denny akan berlanjut.
“Tapi aku akan tetap ingin menikahimu, Na, meski tanpa restu dari ibuku.” Denny menautkan jemari mereka berdua, mengecup punggung telapak tangan halus Diana. “Selain kamu, aku tidak ingin hidup dengan wanita lain.”
“Bagaimana mungkin kamu akan menikahiku tanpa restu ibumu, Den. Ini pernikahan pertamamu, keluargamu pasti ingin merayakannya,” ucap Diana pelan. Ada rasa sakit yang kembali menghampirinya.
“Hm … bagaimana kalau aku menikahimu secara siri saja, kita hanya butuh hubungan yang halal ‘kan, Na?” Denny menawarkan solusi yang membuat Diana terbelalak.
“Jadi tujuanmu hanya ingin menikmati tubuhku saja ya, Den? Aku tuh masih punya orang tua yang harus aku pertimbangkan,” ucap Diana kesal. Ternyata Denny hanya tertarik akan tubuhnya saja, tanpa berniat membina rumah tangga selayaknya.
“Bukan begitu, Na. Aku pesimis akan mendapat restu orang tuamu, begitu mengetahui ibuku tidak setuju dengan hubungan kita. Kalau orang tuamu rela aku menikah denganmu tanpa sepengetahuan ibuku, aku akan lebih suka seperti itu,” balas Denny bersungguh-sungguh. “Jika menurutmu itu lebih baik, aku akan melamarmu kepada orang tuamu secepatnya.”
“Sepertinya orang tuaku pun tidak akan merestui kita, Den, jika keluargamu tidak menginginkan pernikahan kita,” keluh Diana kemudian.
“Ini pasti gara-gara Susana, padahal kemarin-kemarin ibuku cuek saja saat aku membawa wanita berganti-ganti ke rumah di Balikpapan, makanya aku sangat berharap ibuku merestui pernikahan kita, daripada aku terus hidup gak benar seperti itu,” ucap Denny dengan wajah kesal.
“Susana? Siapa dia?” selidik Diana.
“Teman sekolahku dulu, kami bertetangga saat aku SMP sampai SMA. Ibunya teman akrab ibuku dulu. baru-baru ini ibuku bertemu mereka tanpa sengaja, akhirnya malah sepakat mau menjodohkan aku dengan Susana.” Denny bercerita dengan wajah cemberut, tidak tampak lagi senyum memikat di paras tampannya sejak mereka bertemu tadi.
“Ini akan lebih sulit untuk kita, Den,” keluh Diana tak kalah kecewanya dari Denny.
“Na … jangan menyerah gara-gara ini, ya? Kita akan tetap bersama. Kita sudah sama-sama dewasa, pantas mendapatkan kebahagiaan yang diinginkan. Setelah menikah nanti, kita bisa bebas bertemu kapan saja di rumahku, ‘kan dekat dari kantormu,” bujuk Denny.
“Maksudmu, kita akan menikah diam-diam?”
