Bab 8: Dilamar
“Masuklah!” suruh Denny dengan melebarkan daun pintu.
Diana melangkah masuk, kemudian duduk di kursi tamu. Pandangan Diana mengedar menyisiri seluruh ruangan. Isi rumah itu terlihat mewah. Meski warna hitam dan putih mendominasi penuh.
“Kamu mau minum apa, Na?” Denny menawarkan.
“Tidak, terima kasih.” Diana tidak ingin berlama-lama di tempat itu, meski harus ia akui tempat tersebut lebih dari menyenangkan. “Jadi katakan, apa tujuanmu menyuruhku kemari?”
Denny yang baru meneguk minuman cola-nya hingga tandas, menatap wanita cantik itu sekilas. Kemudian mengisinya kembali dari botol yang terletak di meja ruang tamu itu.
“Rupanya kamu sudah tidak sabar dengan apa yang akan aku katakan, Diana.”
Perempuan yang disebut namanya hanya bisa menatap si pria tak berkedip.
“Katakan saja apa yang ingin kamu beritahu padaku, sebentar lagi aku harus kembali ke kantor!”
“Aku ingin melamarmu menjadi istriku.” Denny dengan tenang mengucapkan kata-kata itu, tetapi yang mendengar terperanjat dengan mata membola.
Beberapa saat Diana tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh tak disangkanya, Denny akan melamarnya seperti ini. Wanita yang baru menjanda selama tiga bulan itu hanya diam terpaku menatap lelaki yang juga tengah menatapnya tajam. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menelan saliva yang tiba-tiba terasa seret di tenggorokan.
“Sepertinya kamu butuh minum, Na.” Denny dengan tersenyum menuangkan coca cola soft drinks yang di atas meja ke dalam gelas kosong yang memang sudah disediakannya untuk sang pujaan hati.
“Nih, minumlah,” ujar Denny sembari menyodorkan gelas bertangkai lancip itu.
Diana menyambut gelas itu, kemudian meneguknya sedikit.
“Hm … jadi bagaimana dengan lamaranku tadi? Masa iddahmu ‘kan sudah berakhir, aku ingin menjadi suamimu secepatnya,” lanjut Denny to the point.
“Den … kamu sudah pikirkan masak-masak belum? Aku tuh janda dengan anak empat lho? Bagaimana dengan tanggapan orang tuamu nanti? Teman-temanmu?” cecar Diana usai menenangkan diri dari desakan laki-laki di depannya itu.
“Oh, tentu dong, Na. Bagi diriku sendiri, tidak ada yang perlu kupertimbangkan lagi. Sejak ketemu kamu kembali empat bulan yang lalu, aku benar-benar menyadari bahwa ternyata hanya kamu yang bisa membuat hidupku bergairah kembali. Aku laki-laki dewasa sekarang, Na. Aku gak butuh pertimbangan orang lain terhadap keputusanku ini.” Denny bicara tegas dan penuh percaya diri. Sangat berbeda dengan Denny yang dikenal Diana dulu kala masih pacaran.
“Masalahnya kamu itu bujangan, Den. Kamu pantas mendapatkan wanita yang masih gadis. Terus terang aku tidak percaya diri bersanding sama kamu lagi dengan statusku sekarang. Beda hal mungkin seandainya aku belum punya anak sebanyak ini.” Diana masih berusaha menolak permintaan Denny yang menurutnya tidak masuk akal.
“Kalau masalah berhubungan dengan wanita aku sudah cukup puas, Na. Aku ingin mengakhiri petualanganku sama wanita-wanita itu, karena aku tidak pernah bisa mencintai mereka seperti aku mencintaimu seperti dulu. Please, bantu aku untuk mengakhiri kehidupan yang gak benar ini, Na.” Denny beranjak duduk di kursi panjang yang diduduki Diana. “Menikahlah denganku, Na,” lanjut Denny sambil meraih tangan Diana, lalu menciumnya penuh perasaan.
“Tapi, Den … aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini, aku juga gak mau kamu menyesal nanti setelah menikahi aku.” Diana menarik pelan tangannya yang digengam erat oleh laki-laki yang duduk dekat di sampingnya itu. Aroma mint yang maskulin dari tubuh tegap itu, membuat Diana menjadi susah bernapas, apalagi sentuhan Denny di tangannya, terasa ada kehangatan yang mengalir di tubuhnya semakin tak tertahankan.
“Waktu sebulan ke depan, cukup buatmu memikirkan permintaanku ini, Na. Aku tahu sekali type wanita sepertimu.” Denny mengunci mata Diana dengan mata elangnya.
“Maksudmu apa, Den?” tanya Diana sedikit gugup.
“Kamu tidak akan sanggup hidup tanpa kehangatan laki-laki untuk waktu yang lama, kamu butuh suami secepatnya, Na.”
Tanpa sadar mulut Diana terbuka karena kaget. Ia tidak menyangka Denny begitu terus terang mengungkapkan semua itu, membuat wajah Diana kemudian memerah. Mantan pacarnya itu benar-benar menembak tepat sasaran apa yang dirasakannya selama tiga bulan terakhir ini.
Denny tidak melepaskan momen itu, wajahnya tiba-tiba sudah mendekat ke wajah Diana yang masih melongo. Bibir merah dan seksi itu sangat menggoda hati laki-laki berusia tiga puluh tahun itu untuk kembali ingin mengecupnya seperti yang sering mereka lakukan ketika pacaran dulu.
Diana tersentak begitu dirasakan napas hangat Denny menerpa wajahnya, hanya tinggal satu senti lagi pria itu akan menciumnya, Diana segera menjauhkan wajahnya dengan hati berdebar kencang. Ia berusaha menetralkan perasaannya.
“Beri aku waktu, Den. Ini sangat tiba-tiba, aku merasa jangan-jangan kamu hanya ingin balas dendam padaku, karena dulu aku memutuskan hubungan secara sepihak,” ujar Diana seraya menjauhkan duduknya ke pojok kursi.
“Aku bukan anak kecil atau pemuda labil yang kamu kenal dulu, Na,” tawa Denny terkekeh geli.
“Aku merasa aneh aja, kenapa kamu masih mau bersamaku dengan kondisiku sekarang,” balas Diana tidak habis pikir.
“Di mataku tidak ada yang berubah padamu, Na. Secara fisik malah kamu bertambah cantik dan seksi. Laki-laki mana yang tidak akan tertarik padamu. Ingat, hanya aku yang akan membebaskan kamu secepatnya dari kesepian, kamu butuh laki-laki tampan dan sehat seperti aku, Na.” Denny mengedipkan sebelah matanya dengan percaya diri.
Diana menatap mata laki-laki yang juga sedang menatapnya dengan senyum menawan di bibir tipisnya, ia melihat kesungguhan di mata itu.
“Kamu benar-benar serius, Den?” tanya Diana ragu.
“Sangat serius, aku sangat merindukan kebersamaan kita lagi seperti dulu, Na.” Denny kembali meraih jemari tangan Diana dan menggenggamnya erat. “Yakinlah sama ketulusanku dan aku tidak akan mengecewakanmu.”
“Aku akan memikirkannya, Den,” ucap Diana setelah terdiam beberapa saat.
“Baiklah, Diana. Aku ingin jawabanmu secepatnya, sebelum aku pulang ke Balikpapan minggu depan. Aku akan memberitahu keluargaku, bahwa aku akan melamarmu,” balas Denny.
“Aku gak yakin orang tuamu akan setuju,” ujar Diana pesimis.
“Hanya ada ibuku, ayahku sudah meninggal setahun yang lalu. Kita lihat saja nanti, yang pasti aku akan menjadi suamimu,” balas Denny yang tanpa diduga Diana, tiba-tiba sudah meraih tubuhnya ke pelukan lekaki kekar itu.
Sejenak tubuh Diana menegang, ada suatu perasaan yang minta pelampiasan. Apalagi kemudian bibir hangat Denny sudah menempel di keningnya.
***
Akhir pekan itu Denny pulang ke rumah orang tuanya di Balikpapan. Jaraknya hanya sekitar dua jam saja dari kota Samarinda. Dua atau tiga kali sebulan, Denny selalu mengunjungi ibu dan kedua adik perempuannya di kota kelahirannya itu. Denny tiba sekitar pukul tujuh malam di rumah orang tuanya. Sang ibu langsung mengajak putra kesayangannya itu makan malam berdua. Kedua adik perempuan Denny kebetulan sedang tidak berada di rumah pada saat itu.
“Ma, ada yang ingin aku bicarakan sama Mama,” ucap Denny ketika mereka usai makan malam. Ia ingin segera meminta restu dari ibunya untuk menikahi Diana.
“Wah, kebetulan nih, Den. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama kamu,” jawab Yanny—sang ibu dengan wajah berseri-seri.
“Mengenai apa, Ma?” Denny balik bertanya begitu melihat ibunya yang lebih antusias ingin bicara sesuatu dengannya.
“Kamu ingat gak sama Susana putrinya Tante Ning, tetangga kita dulu waktu tinggal di dekat Sepinggan.” Yanny menatap Denny sembari menyodorkan sepiring kecil potongan buah apel yang baru dikupasnya kepada anak laki-laki satu-satunya itu.
“Ya, ingatlah. Aku ‘kan satu sekolah waktu SMP dan SMA dulu sama Susana. Kenapa emang dia?” tanya Denny sambil memakan potongan buah apel.
“Iya, Susana yang dulu suka sama kamu, terus sering bantuin mama masak, padahal ingin nyamperin kamu aslinya.” Yanny tertawa geli mengingat ulah anak gadis temannya dulu itu.
“Terus kenapa dengan gadis tomboi itu sekarang?” desak Denny tidak sabaran. Urusannya belum kelar, sang mama malah menceritakan teman satu sekolah dengannya dulu.
“Nah, berapa hari yang lalu mama ketemu sama Tante Ning dan Susana di supermarket, lalu kami ngobrol-ngobrol dong? Tahu gak, sekarang Susana keren lho, gak tomboi lagi.”
“Tentu saja, Ma, dia kan udah usia hampir tiga puluh tuh, masa masih tomboi aja, pasti udah punya anaklah dia,” ujar Denny dengan mata malas.
“Anak dari mana? Wong dia belum menikah kok,” jawab Yanny sewot.
“Hm … gak laku berarti dia,” tebak Denny sambil memasukkan potongan buah terakhir ke dalam mulutnya
“Bukan karena gak laku, Denny!”
“Terus apa dong, Ma? Ngapain sih bicarakan Susana terus, aku juga ada nih, urusan penting yang mau aku bicarakan sama Mama,” balas Denny sedikit kesal.
“Ini lebih penting, Denny? Makanya dengerin mama dulu,” ucap Yanny tak mau kalah.
“Oke-oke, Mamaku sayang? Terus gimane kelanjutan ceritanye?” Denny melipat kedua tangannya di dada, lalu menyandarkan punggungnya di kursi makan. Matanya menatap sang ibu dengan serius.
“Susana itu ternyata setelah lulus SMA melanjutkan kuliah ke Jakarta. Kedokteran, lho? Mama gak tahu ceritanya, karena kita ‘kan langsung pindah ke perumahan sini waktu kamu baru selesai ujian SMA dulu.”
“Kedokteran? Hm … wajar sih, kalau Susana lolos di kedokteran, ‘kan keunggulannya cuma pintarnya doang,” balas Denny sembari tertawa kecil.
“Ih, jangan salah, sekarang Susana cantik lho, udah gitu, dia baru saja menyelesaikan pendidikan dokter spesialis kandungan,” sanggah Yanny masih berapi-api.
“Ya, udahlah, Ma. Ngapain sih ceritain Susana terus, wong dulu aku gak akrab kok sama dia.” Denny mulai bosan.
“Bentar dulu! Nah … kemarin mama telponan sama Tante Ning, terus ngobrol-ngobrol sampe kami tuh berencana menjodohkan kamu sama Susana,” ucap Yanny dengan wajah bahagia.
“Apa?! Jodohin aku sama Susana?” Denny terlonjak kaget.
“Lho? Apa salahnya? Kalian ‘kan sudah sama-sama dewasa, udah cocok tuh untuk berumah tangga. Mama itu juga pusing, Denny! Lihat kamu gonta ganti pacar melulu. Sampe mama gak ngerti lagi deh, entah mana wanita yang kamu seriusin untuk dijadikan istri,” keluh wanita berusia lima puluh lima tahun itu.
“Ah, enggak deh, Ma. Aku sudah punya calon sendiri. Ini yang dari tadi mau aku ceritain sama Mama,” balas Denny cepat.
“Calon istri? Wanita yang mana? Mama kenal gak sama dia?” tanya Yanny sedikit kecewa. Ia sudah senang sejak kemarin karena akan punya calon menantu seorang dokter.
“Aku ingin menikahi mantan pacarku waktu kuliah di Samarinda dulu, Ma.” Denny menjawab dengan mantap.
“Mantan pacar? Kok bisa balikan sama mantan pacar lagi? Kalau dulu sudah pernah putus, sekarang mau berlanjut ke pernikahan, mama rasa kalian tidak akan akur nantinya.” Yanny masih berusaha mempengaruhi sang putra.
“Aku benar-benar mencintai Diana, Ma. Selama ini aku tidak bisa mencintai wanita manapun yang dekat sama aku. Tolong izinkan aku menikahi Diana ya, Ma ….” Denny memohon dengan wajah memelas.
“Baiklah, ajak dia ke sini secepatnya, mama mau lihat dulu seperti apa gadis yang bisa menaklukkan hati putra tampan mama ini,” ucap Yanny mengalah.
“Hm … di-dia bukan seorang gadis, Ma, ta-tapi sudah janda. Anaknya ada empat orang, masih ke--” Denny berkata dengan sedikit gugup, belum juga ia selesai bicara, sang ibu sudah menjerit kaget.
