Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7: Mendadak Jadi Direktur

“Mas Ivan, kamu pasti tahu tentang Mbak Rinda, istri pertamanya Mas Rey ‘kan? Kalian sama-sama kuliah di Surabaya dulu,” tanya Diana begitu Ivan duduk di depan meja kerjanya kini. Ruangan kerja almarhum suaminya.

“Hm … maaf, Diana. Aku gak mau ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian,” jawab Ivan pelan. “Apalagi sekarang Rey sudah gak ada. Saranku, lebih baik kamu lupakan saja segala yang menyakitkan, kenang bagian yang menyenangkan, agar kamu bisa melanjutkan hidupmu kembali.

Diana terdiam mendengar ucapan sahabat sekaligus orang kepercayaan suaminya di perusahaan yang sekarang menjadi tanggung jawabnya kini.

“Iya, Mas. Terima kasih atas nasehatnya. Aku harap Mas Ivan juga bisa membimbing aku untuk meneruskan perusahaan Mas Rey ini ke depannya.” Diana mengulas senyum manisnya untuk pria yang juga masih betah menduda setelah bercerai dengan istrinya setahun yang lalu.

“Jangan khawatir, Diana. Aku juga tidak mau perusahaan yang kami rintis bersama ini akan hancur. Perusahaan ini juga masa depan aku sendiri,” balas pria berwajah keturunan Arab itu dengan tersenyum lembut, menatap janda sahabatnya yang cantik jelita.

“Oh iya, jam berapa Pak Bram mau datang ke sini?” Ivan mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak mau berlama-lama satu ruangan dengan wanita cantik yang duduk di hadapannya itu.

“Hm … sekitar jam dua belas, Mas. Nanti sekalian saja kita makan siang bersama di luar, kalau Mas Bram datang.”

“Oke deh, ada yang perlu ditanyakan lagi gak? Kalau gak ada aku permisi dulu.” Ivan menegakkan tubuhnya dari sandaran kursi, bersiap-siap mau berdiri.

“Udah gak ada sih, Mas. Makasih ya, sudah datang ke sini.” Diana mengulas senyum manisnya.

“Sama-sama, Bu.” Ivan pun membalas dengan tersenyum tipis.

“Eh, tetap panggil namaku aja deh, Mas,” protes Diana tertawa geli. Baru kali ini ia bisa tertawa setelah dua minggu hanya kedukaan yang dirasakannya. Hari ini memang hari pertama ia datang ke kantor peninggalan suaminya.

“Kamu ‘kan atasanku sekarang.” Ivan ikut terkekeh.

“Terserah kamu lah, Pak Ivan.” Diana menimpali dengan mamanggil Ivan dengan sebutan resmi di kantoran.

“Nah, itu udah cocok, panggil Ibu dan Pak,” ucap Ivan sambil berdiri dari duduknya dengan tersenyum lebar.

***

“Mulai hari ini jabatan Direktur di perusahaan ini dipegang oleh Ibu Diana Angelina dan Pak Ivan Sanjaya menempati posisi sebagai General Manager.” Bramantyo Yahya—kakak tertua dari almarhum Reynaldi menyampaikan di hadapan para manager dan kepala divisi yang bertempat di ruangan meeting perusahaan yang diadakan sekitar pukul dua siang.

“Kami dari jajaran Direksi mengharapkan semoga perusahaan ini tetap berjalan lancar dan berkembang seperti ketika masih dipimpin oleh almarhum adik saya. Saya harap Bapak dan Ibu semua juga tetap terus bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh.” Bram melanjutkan pidatonya. Gayanya yang tegas sama persis seperti gayanya Rey kala memimpin meeting dengan para karyawannya.

Diana pun kemudian memberikan salam perkenalannya di hadapan semua yang hadir di ruangan meeting tersebut. Penampilannya yang cantik dan menarik membuat beberapa pria di ruangan itu menatap kagum. Ditambah lagi dengan gaya bicaranya yang pintar dan berkelas. Bram dan Ivan pun merasa puas akan performance dari penerus Direktur di perusahaan tersebut.

***

Hari-hari terus berlalu dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan, baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi administrasi dan keuangan saja.

Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamit ke luar kota adalah untuk mengunjungi anak dan istrinya yang lain.

“Ah, untuk apa lagi aku harus mengingat-ngingat semua itu,” keluh Diana gusar. Ia kemudian berusaha memejamkan mata. Dipeluknya Kellan dan Jane yang sejak suaminya meninggal, kembali diajak tidur bersamanya. Ia memang selama ini membiasakan semua anak-anaknya belajar tidur di kamar masing-masing setelah memberi mereka ASI selama enam bulan. Tentu saja dengan babysitter mereka yang menjaga.

Usaha Diana untuk tidur ternyata tidak berhasil, ia meraih ponsel di atas nakas dan melihat jam di sana, pukul 22.45. Pelan Diana bangkit dari ranjang dan berjalan ke sofa yang terdapat dalam kamarnya. Dibukanya layar ponsel. Terlihat banyak chat tadi siang yang belum dibaca. Salah satunya dari sang mantan pacar yang terus berusaha mengejarnya lagi setelah Diana menjadi janda tiba-tiba.

Teman Lama

Na, udah makan siang belum?

Aku telepon kok gak diangkat sih?

Na, kita ketemuan, ya? Aku ingin tahu kabarmu.

Na?

Ok, kalau kamu terus cuekin aku, jangan salahkan

kalau aku akan melanggar laranganmu.

Diana menghela napas panjang, mengingat Denny yang tiada bosan mengiriminya pesan tiap hari. Laki-laki itu juga sudah tidak sabaran ingin bertemu. Diana memang meminta Denny jangan menemuinya dulu sekitar tiga bulan ini karena ia butuh waktu untuk menata hatinya kembali usai ditinggal pergi selama-lamanya oleh Rey. Apalagi kesibukannya di kantor peninggalan suaminya, benar-benar membuat waktu Diana cukup tersita.

“Denny? Apa yang harus aku lakukan untuk menghindar dari dia. Aku tidak percaya diri dengan status janda beranak empat begini untuk memulai kembali berhubungan dengan laki-laki yang belum pernah menikah seperti Denny,” pikir Diana dengan hati resah. Sebenarnya ia juga tidak kuat untuk lama-lama hidup sendiri. Sejak Rey meninggal, ia berusaha mati-matian untuk tidak memikirkan kehangatan-kehangatan malam yang dulu dilaluinya bersama sang suami. Ia kadang kesal sendiri akan hasratnya yang terlalu bergairah untuk itu. Dulu suaminya juga suka geleng-geleng kepala melihat Diana yang tiada bosan meminta nafkah batinnya. Laki-laki sedingin Rey pun jadi tidak berdaya jika istri cantik dan seksinya itu beraksi.

***

Diana bangun di pagi hari itu dengan kepala sedikit pusing, baru sekitar pukul satu dinihari ia bisa tertidur. Bergegas ia bangkit menuju kamar mandi dan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Kesegaran kembali menghampirinya setelah itu.

Wanita tiga puluh tahun itu kemudian memulai aktifitasnya sehari-hari. Sarapan bersama Tian dan Kevin, sebelum kedua anaknya itu berangkat sekolah. Sejak mulai bekerja di kantor peninggalan suaminya, Diana sudah mempekerjakan seorang sopir untuk mengantar dan mengawasi kedua anaknya di sekolah. Leo—saudara sepupunya sendiri yang baru lulus SMA, kebetulan melanjutkan kuliahnya pada malam hari. Diana cukup merasa aman melepas pengawasan anak-anaknya pada adik sepupunya itu.

Sebelum berangkat ke kantor, Diana masih menyempatkan waktu sekitar satu jam bermain bersama kedua anaknya, Kellan dan Jane. Sekitar pukul sembilan baru ia berangkat ke kantor dengan memakai mobil mewah peninggalan suaminya.

Ketika jam istirahat dan makan siang, Diana lebih memilih pulang ke rumah, sekalian memantau anak-anaknya.

Diana baru saja akan menjalankan mobil ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Terlihat di layar ponsel, Denny yang memanggilnya. Diana tidak menjawab, hanya membiarkan saja. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Denny yang terus mengejarnya. Tidak lama kemudian ponsel itu pun diam. Namun, kemudian terdengar notifikasi whatsapp-nya.

Teman Lama

Aku OTW ke rumahmu.

Buru-buru Diana memencet panggilan untuk mantan kekasihnya itu, ia tidak ingin bertemu Denny di rumahnya. Ia seorang janda kini, ia tidak mau dulu menerima tamu laki-laki sementara ini.

“Hallo, Na. Akhirnya Hp-mu bisa menghubungiku juga.”

“Iya, hallo, Denny.”

“Kamu di rumah ‘kan?”

“Nggak, aku sedang di luar rumah,” jawab Diana cepat.

“Bagus kalau begitu, kita makan siang bareng, ya?”

“Hm … lain kali gimana?” Diana masih mencoba menghindar.

“Kenapa Diana? Kamu terus menghindariku?”

“Bu-bukan begitu, Denny. Aku benar-benar sibuk sekarang.” Diana mencoba mencari alasan.

“Aku ingin bertemu kamu sekarang, ada yang ingin aku bicarakan. Aku tidak akan menghubungi dan menemuimu lagi setelah ini.”

“Hm … baiklah, di mana kita bertemu?” Diana akhirnya mengalah. Ia berharap setelah ini Denny benar-benar berhenti mengejarnya.

“Bagaimana kalau di rumahku saja, di Perumahan Pesona Mahakam.”

“Oke, kirimkan alamatnya.” Diana memutus panggilan dari Denny. Lokasi kantornya yang di komplek Mahakam Square, cukup dekat ke alamat yang langsung dikirim Denny ke ponselnya.

Hanya sekitar lima belas menit Diana tiba di lokasi perumahannya Denny. Terlihat pagar rumah sudah terbuka dan ada mobil Denny yang dikenalnya terparkir di halaman. Diana memarkir mobilnya di depan pagar rumah. Sesaat ia menenangkan diri, lalu melangkah turun dari mobil. Degup jantungnya kian lama kian berpacu kencang saat langkahnya sudah berdiri di depan pintu rumah itu. Sungguh, Diana tak pernah segugup ini sebelumnya.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia memencet bel yang terpasang di pintu. Hanya sesaat Diana menunggu sampai pintu di depannya terbuka. Menampakkan Denny yang berdiri dengan segelas minuman di tangannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel