Bab 6: Luka Hati Istri Kedua
“Meskipun hanya menikah siri, aku adalah istri pertama Rey. Kami sudah pacaran sejak masih kuliah di Surabaya dulu dan menikah siri dua tahun sebelum Rey menikahi kamu.”
“Apa? Kamu jangan ngawur, ya? Mentang-mentang Mas Rey sudah tiada, kamu mau mempengaruhi saya?” teriak Diana lagi dengan suara bergetar, air matapun sudah hampir luruh dari pelupuk matanya.
“Saya tidak bohong, Diana. Kita sama-sama mencintai orang yang sama. Hubungan kami tidak pernah direstui oleh orang tua Rey karena latar belakang saya yang miskin, makanya aku rela Rey menikahi kamu dulu karena Rey sudah didesak oleh orang tuanya untuk menikahi wanita lain. Kamu adalah wanita sempurna yang memenuhi kriteria istri yang diharapkan oleh orang tuanya.” Rinda memaksakan diri menjelaskan kenyataan yang terjadi kepada Diana yang merupakan istri sah dari suami tercintanya. Airmata pun deras mengalir di pipi pucatnya. Kehilangan Rey juga sangat memukul perasaan wanita berusia tiga puluh lima tahun itu.
Mendengar semua penjelasan dari wanita yang mengaku istri siri suaminya, Diana tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dihempaskan tubuh lelahnya di sofa yang terdapat di ruangan itu. Tanpa malu lagi isak tangisnya pun terdengar di sela-sela tangan yang menutup seluruh wajahnya. Hatinya benar-benar sakit mendengar kenyataan bahwa ternyata ada wanita lain yang dicintai oleh suaminya dan ia hanya sebagai pelengkap dari kekurangan istri pertamanya Rey. Kini Diana baru mengerti, ternyata ini alasan sang suami terlalu dingin dan cuek terhadapnya selama ini. Pantas saja Rey betah di Berau dua minggu, ternyata suaminya itu ditemani oleh wanita yang dicintainya sejak dulu.
“Kamu tidak usah khawatir, Diana. Aku tidak akan menuntut apa-apa atas peninggalan Rey. Kamu dan anak-anak kalian lebih berhak mendapatkan semuanya. Setelah keluar dari rumah sakit ini, aku dan anakku akan kembali ke Malang, kampung halamanku.” Suara Rinda kembali terdengar begitu Diana sudah sedikit tenang.
“Kalian juga sudah punya anak?” tanya Diana pelan sembari mengangkat wajahnya menatap Rinda. Ia sudah tidak kaget lagi atas kejutan-kejutan yang diceritakan oleh istri siri suaminya itu.
“Iya, putra kami sudah berusia sembilan tahun kini. Arsenio berusia dua tahun saat papanya menikahi kamu dulu.
“Mengapa kalian sembunyikan semua ini kepada saya begitu lama? Kalian benar-benar tega!” Diana kembali berteriak kesal.
“Maafkan aku, Diana. Aku yang melarang Rey untuk jujur sama kamu dan orang tuanya, meskipun kami sudah mempunyai seorang putra. Aku gak mau, Rey tidak dianggap sebagai anak oleh orang tuanya. Aku tahu betapa kerasnya orang tua Rey dulu menentang hubungan kami.” Rinda menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Tolong maafkan juga semua kesalahan Rey, Diana. Agar dia bisa tenang di sisi-Nya. Lupakan juga tentang aku karena hari ini adalah hari pertama dan terakhir kita berjumpa. Kamu masih muda, berusahalah melupakan hal-hal yang menyakitkan hatimu tentang Rey.”
Diana terdiam mendengar ucapan lembut dari kekasih hati suaminya itu. Pantas saja Rey tidak bisa pergi dari wanita itu karena dari tutur kata dan cara bicara Rinda yang lemah lembut, sangat menyentuh hati siapapun yang diajaknya bicara. Tidak seperti dirinya yang suka meledak-ledak dan manja.
***
Diana duduk termenung menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran di depan jendela kamarnya. Sudah seminggu ia mengurung diri di kamar. Kepergian Rey begitu mengguncang perasaannya. Apalagi setelah mendengar semua rahasia yang disembunyikan dengan rapi oleh sang suami selama pernikahan mereka. Padahal tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Diana benar-benar mengutuk kebodohannya selama ini.
“Mas Rey … kenapa kau sakiti aku seperti ini, Mas ….” Air mata membasahi pipi mulusnya. Isak tangisnya kembali terdengar kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta yang ada di hatinya. Diana masih saja merasa tidak percaya akan semua kenyataan ini. Bagaimana pun juga ia mencoba untuk berdamai dengan apa yang sudah terjadi, tetapi hatinya masih saja terasa sakit, menyesak seluruh rongga di dadanya.
Suara ketukan di pintu kamarnya tidak membuat Diana menoleh dari tatapannya yang masih terpaku pada kupu-kupu yang beterbangan di sekitar tumbuhan mawar kesayangannya.
“Maaf, Bu, ada tamu mencari Ibu.” Suara Tuti—asisten rumah tangganya yang bicara dari balik pintu akhirnya membuat Diana menoleh.
“Siapa?” tanyanya serak.
“Katanya teman Ibu waktu kuliah.”
Dengan malas Diana bangkit dari duduknya. Ia merapikan sedikit wajah dengan mata sembabnya di depan kaca rias. Lalu, melangkah dengan lunglai keluar kamar. Setibanya di ruang tamu, Diana terpaku menatap sesosok pria yang juga sedang menatapnya dengan senyum lembut di bibir tipisnya.
“Denny? Kamu kok tahu rumahku di sini?” tanya Diana sembari duduk di kursi depan sang tamu yang tak diundang itu.
“Kamu ‘kan pernah kasih tahu waktu itu, kalau rumahmu dekat dari jalan masuk depan sana.”
“Oh ….”
“Aku turut berduka cita ya, Na,” ucap Denny pelan setelah sesaat ruang tamu itu senyap tak ada suara.
“Kamu tahu darimana, Den?” Diana bertanya dengan netra yang kembali mengembun.
“Dari Riska. Kemarin kami bertemu di plaza mulia.”
“Makasih ya, Den. Kamu sudah datang ke sini.” Diana menjawab pelan sembari mengusap matanya pelan.
“Aku hanya ingin melihat kondisimu, Diana. Kamu sudah jauh lebih kurus dibanding dua minggu lalu kita bertemu.” Denny menatap iba wajah Diana yang terlihat pucat.
Diana tidak menjawab, hanya airmatanya yang kemudian menetes kembali di pipinya.
“Sudah cukup kesedihanmu itu, Diana. Kamu harus kuat,” ujar Denny tidak tahan melihat wajah cantik itu terlihat layu dan pucat. Ingin rasanya ia memeluk tubuh wanita yang sedang berduka cita itu.
“Seandainya kamu tahu apa yang sudah Mas Rey lakukan terhadapku, mungkin kau akan tertawa, Den,” ucap Diana dalam hati. Ia sangat malu terhadap pria yang sangat mencintai dan memujanya sejak dulu itu. Yang dengan teganya ia tinggalkan karena tertarik oleh Rey yang lebih dewasa dari mereka.
“Kok sepi, Na. Anak-anakmu pada ke mana?” tanya Denny mengalihkan pembicaraan.
“Mereka sedang di rumah ibuku sejak tadi pagi.”
“Oh ya, gimana kabar orang tuamu, Na?”
“Mereka baik-baik saja.”
“Seandainya kamu bersedia, aku ingin mengajakmu keluar mencari udara segar, Na.” Denny menatap Diana penuh harap. Ia ingin menghibur hati wanita yang masih sangat ia sayangi hingga kini.
“Maaf, Denny. Aku hanya ingin istirahat di rumah.”
“Oke … baiklah, kalau begitu aku pamit pulang dulu, ya?” Denny langsung berdiri dari duduknya.
“Aku tak bermaksud mengusirmu,” ucap Diana tidak enak hati.
“Aku tahu, Diana. Kebetulan aku juga ada janji sama teman sebentar lagi.” Denny melemparkan senyum menawannya.
“Oh, kirain kamu buru-buru pulang karena ucapanku tadi.” Diana berusaha untuk tersenyum.
“Gak kok. Ya, udah. Kamu istirahat lagi deh, jangan lupa makan, nanti malah kamu sakit kalau terus menerus bersedih kayak gitu,” nasehat Denny. Diana menatap haru mantan kekasihnya yang tidak berubah sedikitpun perhatiannya.
Diana mengantar Denny ke teras, ia melambaikan tangan begitu lelaki gagah itu berlalu dengan mobilnya.
