Bab 5: Rahasia Suami
“Bu, ada apa? Kok Ibu bisa pingsan begini?” Bau minyak kayu putih yang menyengat di hidungnya membuat Diana pelan membuka matanya. Terlihat Sinta, babysitter anaknya berjongkok di sisi sofa tempat ia berbaring. Jane--si bungsu terdengar menangis menjerit dalam troly-nya, mungkin karena sang pengasuh masih sibuk menyadarkan Diana.
Pelan Diana bangkit dari tidurnya, kemudian mulai menangis lagi, begitu teringat akan berita kecelakaan suaminya tadi. Setelah cukup tenang, ia meraih ponsel yang tergeletak jatuh di lantai. Diana memencet kembali nomor suaminya, nomor terakhir yang menghubunginya tadi.
“Hallo, Bu? Anda tidak apa-apa?”
“Dimana sekarang suami saya, Pak?” tanya Diana langsung tanpa menjawab pertanyaan dari polisi yang masih memegang ponsel suaminya.
“Sudah dibawa ke Rumah Sakit AW Syahrani Samarinda, Bu, karena menurut penumpang yang selamat, alamat mereka di kota Samarinda.”
“Memangnya ada penumpang yang selamat, Pak?” tanya Diana heran bercampur bingung. Ia pikir kecelakaan itu mungkin parah sekali sampai suaminya meninggal di tempat. Yang juga membuatnya heran adalah mengapa suaminya bukan lewat jalur tol, malah lewat jalan lama yang memang sering terjadi kecelakaan di sana.
“Ada, Bu. Wanita yang bersama suami Ibu tadi masih sadar ketika kami temukan di lokasi kecelakaan, sekarang dia juga dirawat di rumah sakit yang sama karena lukanya cukup parah.”
“Wanita? Mas Rey semobil dengan siapa? Apa mungkin salah satu karyawannya?” pikir Diana dengan hati yang bergemuruh.
“Hallo, Bu?”
“I-iya, Pak. Saya segera ke rumah sakit sekarang.” Diana langsung memutus pembicaraannya.
***
Diana menatap tubuh sang suami yang terbujur kaku di ruangan jenazah rumah sakit dengan sedih dan hati yang terluka.
“Mas Rey?” Diana memeluk tubuh kaku itu dengan menangis pilu. Meski hatinya diliputi tanda tanya akan wanita terakhir yang bersama suaminya, tapi rasa kehilangannya terhadap lelaki tercintanya lebih membuatnya terpukul. Ia benar-benar tidak menyangka suaminya akan pergi secepat ini.
“Sudahlah, Diana. Ikhlaskan suamimu sekarang. Semua ini kehendak Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang mampu menolaknya,” bujuk Ratih--ibunya Diana yang menyusul datang, begitu Diana mengabari orang tuanya sebelum berangkat ke rumah sakit tadi.
“Kita harus segera mengurus jenazah suamimu untuk dibawa ke Surabaya, sesuai dengan permintaan mertuamu ‘kan?” Shabir—sang ayah juga ikut menimpali.
Diana mengangguk pelan mendengar ucapan kedua orang tuanya. Ratih pun kemudian memeluk putri sulungnya yang terus menangis sedih sejak mendengar berita tentang kecelakaan yang menimpa sang menantu.
Malam hari itu juga jenazah Rey dibawa dengan pesawat terakhir menuju kota Surabaya, tanah kelahiran laki-laki yang wafat di usia yang ke-35 tahun itu. Diana mengantar sang suami bersama dua anaknya yang paling besar. Sang ayah ikut menemani. Ibunya untuk sementara akan mengawasi dua anaknya yang masih kecil-kecil di Samarinda.
Jerit tangis keluarga besar mertua Diana langsung terdengar begitu ambulans yang membawa jenazah tiba di rumah besar dan megah milik Hartono Yahya. Sang mertua yang merupakan pengusaha sukses di Surabaya. Lelaki berusia enam puluh lima tahun itu mempunyai beberapa perusahaan yang membuatnya menjadi salah satu orang terkaya di kota Pahlawan itu. Tiga orang putranya mengikuti jejak sang ayah sebagai pengusaha. Bramantyo Yahya—anak sulungnya meneruskan perusahaan leasing-nya, Reynaldi Yahya—putra keduanya memilih bisnis batubara di Samarinda begitu lulus kuliah serta William Yahya—putra ketiganya yang meneruskan perusahaan otomotif yang sudah dirintis sang ayah sejak muda.
Diana dan kedua anaknya hanya terpaku diam menyaksikan keharuan dan kesedihan yang berlangsung di hadapan mereka. Apalagi kedua anaknya yang masih belum mengerti apa-apa. Keduanya menatap bingung akan orang-orang dewasa yang terus bertangisan.
Berapa saat kemudian, jenazah Reynaldi yang sudah dikafani dikeluarkan dari peti jenazah, lalu dibaringkan di kasur kecil yang sudah disiapkan di tengah ruangan yang luas. Keluarga sang mertua dan para kerabat duduk mengelilingi jenazah. Tidak lama kemudian bacaan surat yasin pun terdengar di sela isak tangis dari ibu dan dua orang adik perempuan Reynaldi. Diana dan kedua anaknya pun terlihat duduk di sebelah jenazah.
Esok paginya sekitar pukul sepuluh, jenazah Rey dibawa ke lokasi pemakaman keluarga yang sudah disiapkan sebelumnya. Menjelang waktu zuhur acara pemakaman itu pun selesai dilaksanakan. Pemakaman yang dihadiri oleh banyak orang, termasuk para karyawan perusahaan-perusahaan mereka.
Tiga hari kemudian, Diana pamit kepada mertuanya untuk kembali ke Samarinda karena ia mengkhawatirkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil di rumah, meskipun ada ibunya yang ikut menjaga.
Ayahnya sudah terlebih dahulu pulang ke Samarinda, sehari setelah jenazah Rey dimakamkan.
“Diana, apa rencanamu dengan perusahaan suamimu di Samarinda. Apa kamu bisa meneruskan mengelolanya?” tanya ayah mertuanya pagi itu usai mereka sarapan bersama. Hanya ada papa dan mama mertuanya serta Willy--adik suaminya, satu-satunya yang belum menikah. Willy malah sudah dilangkahi oleh dua orang adik perempuannya. Saudara ipar Diana yang sudah berkeluarga, tinggal di rumah mereka masing-masing.
“Hm … aku masih bingung sih, Pa. Mas Rey pergi mendadak seperti ini, tapi ‘kan masih ada Mas Ivan, orang kepercayaan Mas Rey di perusahaannya. Nanti aku bisa sih tanya-tanya dia mengenai perusahaan.” Diana mengusap matanya yang kembali mengembun mengingat lekaki tercintanya yang pergi tanpa pesan apa-apa, malah meninggalkan banyak tanda tanya, terutama tentang wanita yang menemani sang suami diakhir hidupnya.
“Oh iya, si Ivan, kemarin dia juga datang menghadiri pemakaman Rey, cuma papa gak sempat ngobrol sama dia. Nantilah papa hubungi Ivan lagi, biar dia dulu yang ngawasi perusahaan. Mungkin minggu depan papa suruh Bram atau Willy datang ke Samarinda untuk mengatur perusahaan di sana. Tentu saja dengan kamu sebagai pengganti suamimu di perusahaan itu. Kamu pasti bisalah, kamu lulusan sarjana Ekonomi ‘kan?” Hartono menatap menantu kesayangannya itu dengan mata penuh harap.
“Iya, Pa,” jawab Diana singkat. Ia tidak ingin membantah sang mertua. Ia benar-benar belum bisa berpikir jernih saat ini. Dirinya hanya ingin segera pulang ke Samarinda untuk menemui wanita yang masih dirawat di rumah sakit. Hanya itu yang ada di pikirannya saat ini.
***
Diana menatap tajam wajah wanita yang masih terbaring dengan balutan perban di kepala dan gips di kakinya. Diana hanya beristirahat sekitar satu jam di rumahnya begitu tiba di Samarinda. Kini wanita yang masih berduka itu sudah berdiri di hadapan wanita lain yang bersama sang suami saat kecelakaan empat hari yang lalu.
“Diana? Itu kamu bukan?” tanya wanita itu pelan. Meski terlihat pucat, wajahnya yang cantik benar-benar menarik perhatian Diana. Meski ia bisa menilai kalau usia wanita itu sebaya dengan usia suaminya. Dari data pasien yang ia baca, nama wanita itu adalah Rinda.
“Mbak mengenal saya? Kenapa Mbak bisa bersama suami saya saat kecelakaan kemarin?” tanya Diana sambil menatap tajam wanita yang terlihat sering meringis menahan sakit di kepalanya.
“Maafkan aku dan Rey, Diana karena kami tidak pernah cerita tentang hubungan kami selama ini.” Ucapan pelan Rinda bagaikan petir yang menggelegar di telinga Diana.
“Maksud kamu apa? Hubungan apa?!” teriak Diana dengan wajah pucat pasi.
