Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Ceraikan Hana!

“Mas sudah bangun? Maaf, Hana nggak tau.” Hana yang mencari suaminya tak ada di kamar, menemukan pria itu di meja makan.

“Iya, sayang, gak apa.” Radir menyesap susu jahe yang barusan ia seduh sendiri.

Hana mengambil sesuatu dari dalam kulkas, lalu duduk di kursi sebelah suaminya. “Mas coba ini deh, enak.”

Radi melihat isi wadah makanan warna biru itu. Brownies coklat yang sudah dipotong. Kacang almond beberapa potong di atasnya.

“Beli di mana?” tanya pria itu datar.

“Dikirim Meta kemarin.”

“Ohh.” Radit mengangguk, ia membuka mulut saat Hana menyuapinya.

“Enak?”

Radit mengangguk lagi.

“Ini Hana sama Meta pernah bikin di dapur tokonya.”

“Oh ya? Kapan?” Radit tak berkedip menatap wajah istri yang tampak mulus bening.

“Sekitar dua minggu lalu kayaknya. Ini resep Ibu, pernah Hana coba tapi gagal. Eh, waktu bikinnya sama Meta malah bagus,” jelas Hana sambil tertawa kecil.

Bukannya menanggapi ceritanya, Radit malah menyentuh kulit pipi Hana yang memang terasa amat halus. “Kamu pakai apa, Sayang, kulitnya jadi sebagus ini?”

Hana tercenung sejenak, tapi tetap mempertahankan senyum. Ia memegang tangan suami yang masih menempel di pipinya.

“Mas … sebenarnya ada yang Hana mau bilang.”

Radit menatapnya, menunggu ia bicara.

Berdehem sekali, Hana pun memulai. Bagaimana pun ia tak mau berbohong jika ditanya begini. “Sebenarnya … Hana punya kerjaan,” akunya. Melihat Radit tak terkejut ia pun melanjutkan.

“Ini mungkin jalan nasib baik buat kita, Hana nggak bergelar tapi malah ditawari. Meski Hana juga tetap konsul ke professionalnya jika Hana kesulitan. Dan … yang Hana gak nyangka juga, Bu Tina sarankan Hana kuliah, Mas.”

Mata Hana berbinar, tetapi senyum ia tahan sebisa mungkin, ia tak mau Radit berpikir yang tidak-tidak.

“Mas sudah tau … terima saja, jangan pikirkan aku.”

Mata Hana sedikit membesar. “Apa Mas … tadi dengar kami teleponan?”

Radit mengangguk. Ia mengambil lagi brownies itu dan memakannya dalam diam. Saat ini rasa enak mendadak pahit di lidahnya. Namun, ia memaksa menikmati. Lebih pahit ketidakmampuannya membahagiakan istri.

“Mas?”

“Hem.”

Hana berhati-hati menjelaskan, jika menerima maka ia akan pilih kuliah online untuk kelas karyawan. “Kalau harus ke Malang dan LDR-an sama Mas, Hana nggak bisa. Untunglah ada yang online. Gimana menurut, Mas?”

Radit menoleh penuh pada sang istri. Ia tadi mengira Hana menolak tawaran orang di telepon itu karena memikirkan dirinya. “Masalah biaya gimana?” tanyanya kemudian, jujur. Karena saat ini ia hampir tak pegang uang sama sekali.

“Semua ditanggung Mas, Hana gantinya nanti kalau sudah selesai harus tetap kerja di situ.”

Radit pun bertanya pekerjaan Hana apa, dan ia cukup terkejut mendengar penjelasan sang istri. “Itu Hana anggap pekerjaan tak terduga, Mas. Makanya Hana punya uang, walau nggak banyak.”

“Justru sekarang Mas yang lebih nggak punya dibanding kamu, Sayang.”

“Maksud Mas?”

Mengalirlah cerita Radit tentang mamanya. Entah kenapa kali ini ia ingin melepas semua kekecewaannya. Hana mendengar patuh, tanpa menyela sekali pun. Rupanya, Radit sudah sejak lama diam-diam merasa dijajah Miranda. Namun, sebagai anak ia hanya menahan diri. Kasihan.

Sejak setahun terakhir, artinya sejak menikah dengannya, Miranda makin tak memberi kepercayaan keuangan pada Radit.

“Mini market gimana?”

“Itu bukan sepenuhnya punya mas, usaha retail dulu Papa yang rintis, dibantu aku sama Mas Dika, tapi kata Mbak Rani keuangan mereka juga di tangan Mama.”

Hana menghela napas berat sesaat. “Mas … daripada kita berharap, mending kita usaha sendiri. Biar pun usaha kecil,” usulnya yang mendapat tanggapan tatapan tertarik dari suaminya.

“Tapi mungkin Mama akan menentang kalau aku keluar dari Offset Printing, Sayang.”

“Mas nggak keluar juga nggak apa. Kita pikir bareng, untuk yang urus-urus biar Hana.”

“Tapi usaha apa?”

Hana membisikkan sesuatu. Radit yang memegang sepotong brownies lagi dilepasnya demi memutar badan mendengar penjelasan berbisik sang istri.

“Yakin?”

“Yakin, Mas. Usaha ini sudah lama muncul di pikiran Hana. Tinggal nunggu bergerak aja. Modalnya kan terhitung kecil.” Hana sudah memundurkan wajah, sementara Radit masih menatapnya lekat-lekat.

“Masyaallah, istriku sangat pandai. Mas sangat beruntung memilikimu, Sayang.” Tengkuk Hana diraih untuk memberi kecupan di kening bening sang istri.

“Ngomong-ngomong, kulit wajahnya jadi sebening ini kenapa?” tanya Radit kemudian, memberi tiga kali kecupan di pipi Hana.

Adzan ashar terdengar, Hana tersenyum misterius. Membiarkan suaminya penasaran ia pun bangun dan mengajak mereka shalat jamaah di rumah saja.

“Namanya temenan sama orang salon ya pasti dikasih rahasianya, Mas.”

“Oh ya? Apa rahasianya?”

“Ntar Hana jelasin Mas juga nggak paham.”

“Oh, khusus cewek? Tapi mas mau juga mulus kayak sayangku.”

“Cowok pake facial wash aja cukup.”

Radit amat penasaran, sebelum wudhu masih sempat mengusap pipi mulus sang istri. “Segini aja cukup, Sayang. Mas takut kamu terlalu bening, nanti banyak yang menggoda kamu.” Ucapan dan pelukan suami membuat Hana tertawa geli.

*

Malam ini Radit yang sudah lebih segar memenuhi undangan makan malam sang mama. Sendiri.

“Tanam saham di bisnis baru Tama sudah mama selesaikan. Kalian tangani saja apa yang perlu. Mama cukup tau hasilnya.” Miranda duduk di kursi makan utama, tempat yang dulu untuk kepala keluarga rumah ini.

Ia bicara serius dengan Tama dan Radit setelah makan malam selesai.

Dua asisten rumah berseragam hitam putih sudah membersihkan meja, Dewi juga sudah pergi ke kamar. Pengantin baru itu masih akan tinggal di rumah Miranda hingga seminggu ke depan, sebelum menempati rumah baru keduanya.

“Sebelumnya, Radit minta maaf, Ma. Sepertinya Radit akan fokus ke Offset saja.”

“Kenapa? Apa di sana terlalu sibuk sampai kamu tidak punya waktu tanya-tanya ke Tama?” sambar Miranda pedas. “Semua bisa diatur cuma melalui telepon ‘kan Tama?”

“Iya, Ma.” Tama mengangguk kaku, lalu saling lirik dengan Radit.

“Nah, apa sulitnya, Radit?” Miranda membuang begitu saja tissue yang tadi dipakai lap tangannya. “Kamu jangan cari alasan mau lepas dari mama!”

“Skali lagi maaf, Ma. Mungkin lebih baik biar Tama saja yang menjalankan.” Radit bersikeras meski mendapat pelototan tajam ke arahnya. Ia mau punya banyak waktu untuk memulai bisnis yang akan dibukanya dengan Hana. Saham usaha bersama Tama itu ada di luar kota, sudah pasti Miranda akan banyak menyuruh ia pergi nantinya.

“Kamu semakin membuat mama kecewa!!” desis Miranda memajukan wajah ke depan muka putranya itu. Tama menelan ludah yang kering melihat ketegangan pada ibu anak itu.

“Apa ular itu mencuci otakmu untuk melawan mama?!”

“Hana bukan ular, Ma.” Rahang Radit tampat menegang.

Miranda memundurkan badan, bersandar penuh pada kursi sambil tersenyum tipis. “Jadi benar, karena perempuan itu darah dagingku melawan ibunya sendiri!”

“Bukan begitu-“

“Diam kamu! Tidak ada hak kamu membantah ucapan mamamu, Radit!” bentak wanita ber-dress sutra itu keras.

Semua orang pasti mendengar sehingga rumah ini menjadi sangat hening.

Wajah Radit merah. Sedangkan Tama tak berani bergerak, padahal ia ingin sekali pergi.

“Kalau kamu memilih perempuan itu dibanding aku yang melahirkanmu ke dunia, lakukan! Lakukan!! Tapi sebelumnya, kalian keluar dari rumah itu tanpa bawa apa pun! Kamu sadar kan, kamu punya apa?” Miranda menggeleng. “Tidak ada. Kamu lahir ke rumah ini tidak membawa apa-apa. Justru kamu aku besarkan. Dididik! Diberi makan! Tapi lihat apa balasanmu, Raditya?!”

“Ma ….” Hati Radit sangat sakit mendengar ucapan wanita yang sebenarnya sangat ia sayangi. Tak pernah sebelumnya Miranda sekeras ini menegurnya. Meski dipukul hingga berbekas, lebih sakit kalimat yang terucap olehnya sekarang.

“Mama tidak mau dengar apa pun darimu! Tinggal pilh saja. Ceraikan Hana dan kembali menjadi anakku. Atau … kamu pilih ular itu tapi kita putus hubungan!” Kalimat Miranda berapi-api terucap sembari berdiri.

Tama dan Radit sama-sama membulatkan mata, terkejut saat wanita itu menarik alas meja membuat tiga gelas tersisa di sana jatuh ke lantai marmer.

Bunyi pecahan kaca hancur menggema di belakang punggung Miranda yang beranjak. Meninggalkan rasa sakit luar biasa di hati Radit.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel