Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Tekanan Hati

“Sudah turun panasnya.” Selain menempelkan punggung tangan Hana juga mengecup kening pria itu.

“Sudah nggak pusing, kok.” Radit masih memakai koko usai keduanya jamaah salat subuh, ia menarik pinggang ramping istri merapat. “Makasih, Sayangku ….”

“Sudah tugas Hana sebagai istri, Mas.” Hana tersipu mendapat kecupan lama di pipi. Bahkan Radit tak melepaskannya sampai ia tertawa. “Geli. Jambangnya tumbuh tajam banget,” ujarnya sambil menghindar.

“Geli? Tapi enak ‘kan?” goda Radit sambil mencari pipi istri untuk ia gosokkan dagunya ke sana. Tapi tak mendapatkan, Hana sudah menunduk penuh di dadanya, tertawa geli. Kecupan Radit malah bertubi-tubi mendarat di leher dan tengkuk Hana.

“Aduh, geli, Mas …!”

“Geli tapi enak ...?”

“Ngakk.”

“Iya … enak. Nih, coba.”

“Mas-“

Hana sudah terperangkap. Ia tak dapat mengelak kedua tangan suami menahan kedua belah pipi untuk mendapat kecupan.

Tawa keduanya sesekali menyelingi kenakalan Radit. Pria ini suka melihat sang istri tertawa sampai kulit wajahnya memerah. Terlihat cantik.

Sepuluh menit kemudian, Hana menyuruhnya tetap di kamar, sementara perempuan itu menyiapkan sarapan. Bubur ayam dengan cepat ia buat, lalu dibawa ke kamar.

Ternyata suaminya kembali tertidur dalam posisi bantal terlalu tinggi.

Hana perlahan merayap ke tempat tidur, bermaksud akan menarik hati-hati satu bantal yang menumpuk di bawah kepala Radit.

“Auw!” Ia kaget tubuhnya langsung dipeluk tangan kekar itu. “Mas Radit nakal, ngerjain Hana. Kaget, nihh ….”

“Hehehee, dengan begini terus aku akan sembuh, Sayang … kamu jangan repot ngapa-ngapain.”

Hana memainkan jambang pendek yang terasa tajam pada bantalan jarinya. “Jadi, Mas akan libur hari ini?”

Radit mengangguk seraya tersenyum. “Mas baru sadar selama menikah, libur mas cuma bisa dihitung jari. Maafkan mas yang kurang perhatian padamu.” Pria itu menarik istrinya merapat, memeluk tubuh mungil itu erat.

Ia melakukan itu untuk menutupi raut wajahnya saat ini. Bagaimana tidak. Kemarin sore, ibunya datang dengan tanpa hati mengambil semua isi dompetnya. Bahkan dua ATM Radit akan dikuasai Miranda.

“Kamu harus tau istri kamu itu berani membentak mama! Dia kasar! Berani-beraninya mendoakan rumah tangga Dewi tidak bahagia! Perempuan itu ular, Radit! Dia licik! Itu mengapa mama tidak setuju dari awal keinginan kamu menikahinya!”

“Ma-“

Miranda menangis di tempat duduknya.

Radit tercenung. Baru pertama ia melihat mamanya menangis. Bahkan di saat papa mereka meninggal mendadak tiga tahun lalu, Miranda hanya menitikkan air mata, tanpa sesenggukan seperti sekarang.

“Ma … ada apa sebenarnya?”

“Ini hati seorang ibu, Radit … orang itu tidak baik untukmu, dengarkan mama ….” Mengalirlah cerita Miranda tentang apa yang dikatakan Hana padanya. Tentu ditambah dengan bumbu penyedap kata, sehingga menjadikan Hana istri dan menantu terburuk dalam sejarah keluarga. Dianggap sangat tidak sopan padanya, padahal ia katakan hanya ingin berkunjung dan meminta maaf telah emosi di pesta Dewi.

Radit sulit percaya jika istrinya melakukan itu. Hatinya mengatakan ia sangat memercayai Hana. Dan, bukan hanya itu peristiwa menyesakkan hatinya hari ini. Bisnis yang ditawarkan Tama, suami Dewi, padanya malah diserobot sang mama juga. Miranda yang akan memberi modal.

Jika begitu, sama saja ia menjalankan, tetapi mamanya yang memegang keuangan.

Begitu tersadar dari lamunan dengan cepat Radit mengusap sudut mata, lantas tersenyum lebar.

“Oh ya, Sayang. Kamu belum cerita dapat rendang dari mana kemarin?” Raut wajah Radit dibuat seceria mungkin saat melepas pelukan.

“Oke, sambil cerita Hana akan suapin Mas, ya.” Hana beranjak setelah melepaskan diri saat pria itu melonggarkan tangannya.

“Itu Hana beli di warung makan Uda Minang, Mas. Cuman beli rendangnya nggak pake nasi. Nggak tau kenapa, pas Hana lewat sana bau rendang itu bikin pengen banget.” Perempuan yang mengikat rambutnya seperti ekor kuda itu kembali duduk dengan nampan, dan mangkuk di tangannya.

“Kalau Mas mau masih ada kok sisanya di kulkas,” ujarnya lagi.

Radit membuka mulut, menerima suapan sambil terus menatap wajah sang istri.

“Uangnya dari mana?” tanyanya datar.

Dari menatap bubur yang disendok mata Hana berpindah pada suami. “Perasaan Hana juga udah bilang dari tabungan Hana, Mas.”

Telapak tangan lebar yang masih terasa agak panas itu menyentuh pipi istrinya, jempolnya bergerak lembut mengusap.

“Dengan uang yang hanya lima puluh ribu sehari kamu punya tabungan?” Mata Radit menatap Hana sendu.

“Iya, Mas. Hana ‘kan nggak belanja apa-apa. Untuk sayur sama ikan ‘kan semua dari Mama.”

Bergetar bibir Radit menerima suapan kedua. Rasa nyeri dan bersalah menjalar memerihkan hatinya. Melihat itu Hana segera mengecup bibir suaminya pelan.

“Mas … tolong jangan begini. Apa karena memikirkan keadaan Hana Mas jadi sakit?” Air mata Radit luruh, dengan cepat ia usap sambil mendongak agar tak terlihat cengeng. Bubur ia telan susah payah.

“Minum dulu, Mas.” Hana memberikan minum lalu mengembalikan gelas ke nakas.

Sementara Radit masih terkurung dalam sesal, ia baru sadar dirinya sangat lemah. Tampak memiliki segalanya dari luar, padahal itu semua bukan di bawah kendalinya sekarang.

Hidup Radit dan dua saudaranya amat tergantung pada sang mama. Sejak kecil, lalu sekolah, lalu kuliah. Semua atas aturan dan pilihan Miranda. Semuanya. Tidak terkecuali perintah melanjutkan usaha almarhum papanya. Radit sungguh merasa sebagai suami, dan lelaki lemah.

“Mas ….” Hana duduk setelah menyingkirkan nampan ke sisinya. Ia memeluk suami yang terlihat tengah terpuruk. “Apa pun keadaan Mas Radit hati saya tidak terpengaruh … Hana mencintai Mas Radit apa adanya … sama seperti Mas Radit mencintai Hana juga ….”

Sepasang manusia saling mencintai ini sama-sama terisak untuk beberapa saat. Tidak ada yang bicara kemudian. Hanya pelukan erat, dan kecupan sang suami pada pucuk kepala istrinya berkali-kali dilakukan.

*

Hampir seharian aktivitas Radit hanya di kamar, ia makan, dipijat istri hingga tertidur, lalu bangun siang untuk shalat, dan makan, kemudian tidur lagi untuk pemulihan. Sore ini, sekitar jam 2 siang pria tinggi tegap itu terbangun dengan wajah tampak segar.

“Sayang?” Ia tak melihat ada Hana di sisinya.

Suara ponsel pelan di sebelah tubuhnya mengalihkan perhatian. Pesan lebih dari sepuluh dari sang mama, juga beberapa dari pegawai percetakan di kantor.

Miranda menanyakan keadaannya, apakah sudah ke dokter? Apakah Hana bisa mengurusnya? Jika tidak, ia akan dijemput sopir untuk dirawat di rumah mamanya saja. Pesan dari wanita itu sampai dikirim berkali-kali.

Radit membalas singkat, kalau keadaannya sudah membaik dan tak perlu ke dokter. Segera setelah itu Miranda menelepon lagi.

"Nanti makan malam di rumah, Radit. Sendiri saja. Ada yang penting mau mama bahas denganmu."

Hanya kalimat itu tanpa bertanya persetujuannya, lantas telepon diputus.

Menghela napas panjang Radit sebelum perlahan duduk sebentar, meredakan rasa di kepala yang agak melayang. Ia meraih gelas berisi air minum di meja sisi tempat tidur.

Hana selalu tahu apa yang ia butuhkan. Hana orang yang paling memahaminya. Radit yakin, mamanya sudah salah menilai sang istri.

Radit bangun dan keluar kamar, ia turun mencari keberadaan Hana.

Di dapur tidak ada. Di ruang tengah, sampai ke garasi Radit melihat masih ada motor istrinya.

'Berarti Hana ada di rumah? Apa dia ketiduran di ruang kerjaku?'

Radit merasa kasihan dengan istri yang pasti capek mengurusnya sejak semalam. Pria bercelana tidur biru motif bintang ini kembali naik. Dengan gerak mengendap, ia mendekati pintu pembatas kamar dengan ruang kerjanya. Takut Hana mungkin terganggu dengan kehadirannya.

Ruangan hampir seluas kamar mereka itu tampak kosong, tapi saat Radit maju perlahan, ia melihat sang istri duduk di sofa santai, menghadap arah dinding, jadi tak menyadari kehadirannya.

Perempuan ber-dress batik longgar lengan pendek itu tengah asyik bicara di telepon.

Radit sesaat berdiri terpaku di tempat. Hana makin cantik jika dipandang, rambutnya licin, wajahnya bersih, tubuh juga napasnya selalu wangi. Tidak ada yang kurang padanya, selain anggapan asal keluarga Hana yang tidak semampu keluarganya. Hanya itu.

Gerak bibir juga senyum yang ditahan sang istri selalu mampu menghipnotis Radit semakin mencinta. Namun, saat ia fokus mendengar apa yang istrinya tengah bincangkan dengan seseorang di seberang, luka di hatinya karena sang mama mendadak basah dan nyeri.

Kaki lelaki itu mundur perlahan, dan keluar ruangan itu sambil menahan napas. keningnya berkeringat dingin, ia lalu turun ke lantai bawah.

Rasa kecewa pada diri sendiri lebih besar dibanding kecewa atas perlakuan orang lain.

"Astaghfirullah ...." Radit menyalakan keran cucian piring. Membasah wajahnya berkali-kali untuk membuang perasaan buruk dalam dirinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel