Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB : 9

Nessa melakukan apa yang diminta Angga barusan. Menuju ke ruang kerjanya untuk mengambil uang di laci meja.

"Ya ampun ... dasar orang kaya. Udah punya uang segini banyak, tapi masih rakus sama harta warisan," gumam Nessa sambil mengambil satu lembar uang seratus ribuan. Cukuplah untuk ongkos taksi dari rumah ke kantornya Om-om itu.

Ia kembali turun, tapi kali ini dirinya memutuskan untuk tak menggunakan hels lagi. Kakinya sakit, betisnya pegal. Terlihat sekali bukan, ia tak cocok jadi orang kaya yang pada umumnya kemana-mana harus memakai hels setinggi gunung.

Sudah setengah jam ia berdiri di depan pagar, tapi tak ada satupun taksi yang lewat. Haruskah menunggu sampai titik keringatnya habis?

"Maaf, Pak." Ia menghentikan langkah seorang bapak-bapak yang saat itu sedang berjalan bersama anaknya.

"Iya." Laki-laki paruh baya itu menoleh kearah Nessa.

"Maaf, numpang nanya ... kok disini nggak ada taksi yang lewat, ya? Ini udah setengah jam saya menunggu, tapi tetap nggak ada. Apa taksi yang lewat ada waktu tertentu?" tanya Nessa.

"Mbak, ini perumahan, nggak ada taksi yang sengaja lewat sini kecuali sudah dihubungi sebelumnya. Kalau mau, tunggu di depan saja," jelas si bapak-bapak.

Keterlaluan sekali Angga. Dia bahkan tak memberitahu kalau enggak akan ada taksi yang lewat depan rumahnya. Kalau ia tak bertanya barusan, itu berarti dirinya bakalan lumutan, dehidrasi, gersang, dan tandus berdiri di pinggir jalan dengan tambahan hembusan kabut jalanan. Oke, dan itu terlalu lebay.

Dengan langkah kesal, ia berjalan menuju depan gerbang. Ah, ya ... benar sekali. Karena tak sampai ia menghembuskan napas, sebuah taksi langsung menampakkan diri dan segera ia stop.

"Pak, ke alamat ini, ya," ujarnya sambil menyodorkan secarik kertas pada sopir taksi.

"Oke, Mbak."

Lumayan jauh jugalah, jarak tempuh dari rumah menuju kantor Angga hingga butuh waktu 15 menit. Sesampainya di alamat yang dituju, hal pertama yang dilakukan Nessa adalah bengong setelah turun dari taksi. Sebuah gedung tinggi nampak menjulang di depannya. Berniat menghitung jumlah lantainya, tapi tak bisa-bisa.

"Ck ... Ck ... tingginya," gumam Nesaa masih berada di alam kekagumannya.

"Mau sampai kapan kamu berdiri di sini?"

Suara itu membuyarkan rasa kagum Nessa, hingga membuatnya balik ke dunia nyata. Sosok Angga sudah berdiri di depannya dengan kedua tangan berada di saku celananya.

Nessa tak langsung merespon perkataan Angga. Tahu apa yang ia pikirkan lagi? Kalau saja Angga tak bersikap menjengkelkan, dan semaunya, bukan tak mungkin kalau ia akan menaruh hati padanya. Untuk kriteria seorang cowok, om-om ini berada di level teratas.

"Heii ..."

Oke, panggilan kedua, barulah Nessa tersadar sepenuhnya. Dengan sengaja, ia menggetok kepalanya dengan tangan. Berharap, pikiran aneh tadi menghilang dari ingatannya. Ini membuatnya sedikit merasa tak baik-baik saja.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Angga menghentikan tindakan Nessa.

"Ah, tidak. Cuman agak pusing," jawabnya mengelak dengan senyum memaksa. Yakali dirinya akan mengatakan kalau sedang memikirkan Angga.

"Kamu sakit?"

Naruto, help me ... wariskan jurus 1000 bayangan untuknya. rasanya ia ingin menghilang dari hadapan Angga. Kenapa semua jadi seperti ini?

"Enggak, kok," jawabnya. "Eh, ngapain minta aku kesini?" tanya Nessa mengalihkan pembicaraan.

"Nggak ada. Cuman mau memperlihatkan wanita yang akan jadi istriku saja. Kenapa? Ada masalah?"

"Dih, nggak usahlah, Om," rengek Nessa tak setuju. "Aku malu."

"Besok kamu akan jadi istriku. Jadi, apa salahnya kalau aku memperlihatkanmu pada semua karyawanku? Bukankah, itu lebih baik. Agar tak ada perkataan dari mereka yang akan menganggap kalau kamu menikah denganku karena ..."

"Stop! Jangan diteruskan," timpal Nessa. Setidaknya ia tahu perkataan apa yang akan keluar dari mulut pedas Angga.

"Ayo masuk," ajaknya pada Nessa.

Nessa hanya berjalan mengekor di belakang Angga. Tiba-tiba ia merasa grogi memasuki area gedung perkantoran ini. Apalagi saat kakinya melangkah masuk, itu semua mata manusia yang ada di sana seolah sedang fokus menatap kearahnya.

Beberapa langkah berjalan di loby, tiba-tiba Angga malah menarik Nessa agar dekat dan berjalan seiring dengannya. Tentu saja aksinya itu membuat semua bertanya-tanya.

"Dih, Om ... kenapa juga harus bersikap seperti ini?" bisik Nessa pada Angga.

"Seperti yang ku bilang, agar semua tampak nyata dan benar. Tak semua orang bisa percaya begitu saja kalau aku dan kamu punya hubungan spesial," balas Angga.

"Memang kita nggak punya hubungan spesial, kan? Mau dibikin gimana pun, tetap saja akan terlihat aneh," komentar Nessa.

"Diamlah!"

Ada tanda seru dibelakang perkataan Angga. Otomatis Nessa dibuat diam. Takut juga nyari masalah sama orang sejenis Angga, sepertinya dia orang yang sedikit nekad. Dan juga, ia juga takut kalau Angga sampai marah padanya. Yang paling penting saat ini adalah ia punya tempat tinggal dan sekolahnya lancar jaya.

Sepanjang perjalanan, hanya ada tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang yang berpapasan dengan keduanya. Tapi seolah tak berani untuk bertanya. Hingga sampai di sebuah ruangan yang lumayan luas, barulah acting itu diakhiri.

"Lain kali, nggak usah pake pegangan tangan," ujar Nessa melepaskan tangannya yang masih berada dalam genggaman Angga.

Angga tersenyum menanggapi perkataan Nessa. "Bilang saja kalau kamu nervous saat aku menyentuhmu."

Seperti habis ditampar matahari, Nessa merasa wajahnya jadi panas. Jangan sampai ada rona merah di objek itu, hingga membuatnya dipermalukan.

Nessa tertawa sinis. "Om ... yang benar saja. Kenapa juga aku harus nervous? Memangnya kamu siapaku?"

"Calon suamimu," jawab Angga cepat.

Gadis itu terdiam. Tiba-tiba lidahnya terasa kelu untuk mengeluarkan kata-kata. Apa-apaan situasi ini? Bahkan saat Angga mengatakan 'calon suamimu' saja membuat pikirannya melayang jauh ke Antartika dan bersemayam di kutub Utara.

"Tepatnya calon suami dalam sebuah permainan," tambahnya sambil duduk di kursi kebesarannya.

Nessa harus mengingat perkataan Angga itu di otaknya dengan baik. Jangan sampai ia melupakan kalau hubungan ini hanya permainan, bukan kenyataan. Tapi, yang aneh adalah, kenapa ia merasa ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadanya saat Angga mengatakan itu? Rasanya sakit.

Tak ada pembicaraan dan obrolan lagi. Ia hanya bengong duduk di sofa, sementara Angga sibuk di meja kerjanya dengan tumpukan kertas di hadapannya. Matanya bergantian memandang laptop dan kertas-kertas itu secara bergantian.

Kadang raut wajahnya menampakkan seolah sedang berpikir keras. Nessa bisa melihat itu dengan jelas.

Beberapa saat kemudian, ia beranjak dari sofa.

"Kamu mau kemana?" tanya Angga pada Nessa tapi tak membuat pandangannya dari laptop teralihkan.

"Siapa?" tanya Nessa balik. Mendengar itu, barulah Angga menoleh padanya.

"Kamu lah."

"Kirain ngomong sama laptop," balas Nessa meledek.

Angga memasang wajah kesal saat mendapat balasan seperti itu dari Nessa. Gadis kecil ini seolah sedang mempermainkannya. Ia emosian, tapi entah kenapa kalau dengan Nessa emosinya jadi redup begini. Padahal ia sudah bersiap untuk marah, tapi seolah tertahan begitu saja.

"Mau kemana kamu?" ulangnya.

"Bikin minum buat, Om. Om mau apa, kopi atau teh?" tanya Nessa.

Angga beranjak dari kursinya dan melangkah menghampiri Nessa dengan memasang wajah penuh selidik. "Aneh. Kenapa kamu jadi sok perhatian begitu padaku?"

"Ya ampun ... jangan berpikiran buruk dulu. Aku hanya mau bikinin minum. Jangan baper gitu dong, Om. Kali aja aku sedang berniat mencampurkan racun di minumanmu," jelas Nessa sambil berlalu dari hadapan Angga keluar dari ruangan itu.

Sampai di luar, ia mencoba menetralisir jantungnya yang tiba-tiba jadi aneh. Ya ... sepertinya detakannya tak beraturan. Setelah aman, barulah ia kembali melangkah mencari dimana pantry di kantor ini.

"Maaf, Mas ... pantry dimana, ya?" tanya Nessa pada seorang karyawan yang berpapasan dengannya.

"Pantry ada di lantai 3, Mbak," jawabnya ramah dengan senyuman. "Eh, tunggu dulu, Mbak yang tadi sama Pak Angga, kan?" tanya dia pada Nessa.

"I-iya."

"Kalau boleh tahu, Mbak siapanya Pak Angga, ya?"

"Saya ..." Nessa ragu harus memberikan jawaban apa. Ia tak ingin bibirnya ikut-ikutan berbohong. "Mending tanya sama Pak Angga saja, ya," jawabnya segera berlalu pergi.

Ia menuju lantai 3 seperti yang dikatakan salah satu karyawan Angga barusan. Untung saja tadi ia bertanya, kalau tidak, kemungkinan buruknya adalah ia bakalan memutari kantor dengan luas dan tinggi yang tak terhingga.

"Loh, Mbak siapa?" tanya seorang OB yang saat itu berada di pantry. Tentu saja mereka bingung, Nessa yang tak tak mereka kenal, tiba-tiba masuk begitu saja.

"Hmm ... permisi, saya mau bikin minum buat Pak Angga," jawabnya. Padahal itu bukanlah jawaban dari pertanyaan yang diutarakan padanya. Sebenarnya, ia hanya mengelak saja, sih.

Beberapa OB hanya memandangi dirinya yang sedang membuatkan teh hangat untuk Angga. Lebih cepat minumannya jadi, itu lebih baik. Ya ... agar mereka tak bertanya lagi, siapa dia?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel