Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB : 8

Setelah menurunkan Nessa di pinggir jalan, Angga langsung melajukan mobilnya pergi begitu saja.

"Ampun deh tuh orang. Nggak ada baiknya sama sekali, ya. Sekali nolongin malah minta balasan. Sekarang, dia yang kesal, malah gue yang dibuang di jalanan begini," umpat Nessa sepertinya Angga.

Ia duduk di sebuah batu besar yang ada di pinggir jalan. Ngenes sekali nasibnya, udah kayak gelandangan. Pokoknya, saat ini, ia misqueen lahiriah. Enggak punya uang, dan terlebih lagi ia tak punya tempat tinggal sama sekali.

"Kenapa semuanya jadi kayak gini, sih. Gue capek, capek banget. Kapan semuanya berakhir? Tempat tinggal saja nggak punya. Ini perut juga laper banget lagi." Ia terisak sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Berusaha agar tangisnya tak terdengar oleh orang lain.

"Aku minta maaf," ucap seseorang.

Nessa kaget. "Om Angga," gumamnya saat melihat siapa yang berdiri di depannya saat ini.

"Maaf, aku bersikap tak baik padamu," jelasnya.

Nessa malah meghambur ke pelukan Angga. Sedikit tersentak dengan sikap gadis itu padanya. Jujur saja, entah mengapa tiba-tiba ia malah jadi salah tingkah dan bingung harus marah atau gimana?

"Sejujurnya aku kesal padamu. Tapi berhubung aku nggak punya tempat tinggal dan lagi laper, jadi semuanya ku abaikan," terang Nessa masih dalam keadaan memeluk cowok itu.

"Ness ..."

"Kalau mau ninggalin aku, nggak apa-apa. Tapi jangan di jalanan begini dan jangan dalam keadaan lapar," timpalnya.

Angga itu tipe yang lumayan cuek pada gadis. Tapi mendengar perkataan gadis yang saat ini memeluknya, seolah membuat tawanya mau pecah. Tapi berusaha ia tahan.

"Hmm ... baiklah. Lain kali akan ku Carikan tempat yang lebih bagus untuk meninggalkanmu," balas Angga.

Nessa langsung saja melepaskan diri dari Angga sambil memasang wajah masam.

"Memangnya aku barang, yang bisa ditinggalkan seenak jidat, Om, dan semau pikiran, Om?"

"Maybe," balas Angga. "Barang yang bernapas, cerewet, jutek dan ..."

"Dan?"

"Sudahlah, ayok pulang," ajak Angga. "Lagian, aku juga mau ke kantor."

"Om kerja?"

"Kamu pikir aku mendapatkan uang dari mana, kalau tidak kerja? Aku tak punya pohon berdaun uang yang bisa dipetik kapanpun," terangnya.

Nessa kadang berpikir kalau Angga itu adalah tipe cowok yang diam-diam tapi menghanyutkan. Dilihat dari tampangnya, begitu dingin. Tapi kalau sudah tahu orangnya sejenis apa, pasti bakalan tepok jidat. Suer ... nyebelin banget.

"Uang udah banyak juga, masih ngarepin warisan. Pake acara harus nikah segala lagi," gumam Nessa. Tapi ia merasa kalau Angga pasti mendengar semua ucapannya itu. Terlihat dari tampang yang dia pakai saat menatap ke arahnya.

"Heii ... jangan mengoceh terus. Kamu mau ikut apa enggak? Kalau mau, ayo. Kalau enggak, balikin uang aku yang dipake buat bayar sekolah kamu dan otomatis kamu bakalan aku balikin sama Widodo," terang Angga dengan ancamannya yang jelas-jelas pasti membuat Nessa ciut seketika. Dia tak memberikan sebuah pilihan.

"Om udah bayarin uang sekolahku?" tanya Nessa. Ekspresinya langsung berubah seketika layaknya sebuah ponsel yang baru diisi ulang kuota.

Angga tak menjawab, ia malah langsung masuk begitu saja ke dalam mobil. Sementara Nessa juga mengikutinya masuk.

Di dalam mobil, tak henti-hentinya Nessa tersenyum. Apalagi kalau bukan karena Angga sudah membayar tunggakan uang sekolahnya. Akhirnya, ia bisa belajar dengan tenang. Meskipun harus mengorbankan dirinya untuk menikah dengan Angga. Tapi, toh itu hanya sekadar status.

"Sebenarnya besok kamu sudah bisa masuk sekolah lagi."

"Benarkah?" Tergurat senyum di bibir mungil Nessa mendapatkan informasi itu.

"Hmm ... tapi untuk besok jangan dulu. Lusa saja," pintanya.

"Kenapa?" Senyumannya kembali memudar. Susah tegang ke plane Pluto, malah kembali jatuh ke bumi. Sakit, kan, rasanya.

"Aku udah mutusin kalau besok kita akan nikah."

"What!?''

Pendengarannya tak salah, kan? Atau, ini hanya mimpi belaka? Ayolah, kalau benar, tolong ... siapapun bangunkan dia.

"Yap. Besok kita akan nikah. Kamu tenang saja, aku juga udah urus semuanya. Toh, tak perlu ada pesta besar-besaran. Hanya akan dihadiri oleh keluarga saja," jelas Angga santai.

Tak tahukah dirinya kalau saat ini Nessa masih berada di ambang rasa kaget dan shock mendengar kabar itu? Nikah woy ... nikah! Gila bener.

"Om, jangan bercanda," komentar Nessa masih belum bisa percaya dengan keputusan yang diambil Angga. Nessa tahu kalau akan menikah dengannya. Tapi, haruskah secepat ini.

Angga menghentikan laju mobilnya di pinggir jalan. Ia seolah sedang mengumpulkan kalimat yang akan ia lontarkan pada Nesaa.

"Ini terlalu cepat," ujar Nessa.

"Tidak! Lebih cepat, lebih baik. Anggap saja ini hanya sebuah permainan. Kita nikah, punya surat nikah, dan next kita punya kehidupan masing-masing. Permainan hanya untuk besok."

"Apa, permainan? Next kita punya kehidupan masing-masing?" Nessa tersenyum sinis menyudahi perkataannya. "Jangan lupa, Om ... kamu melarangku untuk tak dekat dengan laki-laki manapun. Apa itu yang namanya kehidupan masing-masing? Maksudmu, kamu bisa sibuk dengan duniamu dan aku tidak?"

Nessa bisa melihat emosi di wajah Angga mendapat perkataan itu darinya. Kedua tangannya menggenggam stir mobil dengan geram.

"Itu namanya Om mau menang sendiri. Kamu bahagia dan aku yang tersiksa," tambah Nessa menyenderkan badannya ke jendela mobil.

Sepertinya stok bantahan di kepala Angga sedang kosong. Ia tak menjawab bahkan tak membantah satu katapun. Kemudian menyalakan mesin mobil dan kembali melaju dengan kecepatan standard.

Bahkan, sampai di rumah pun, Angga tak bicara apapun dan mendahului Nessa masuk kedalam. Begitupun dengan Nessa yang langsung masuk kamar. Entah kenapa dan apa yang terjadi, saat Angga mengatakan kalau pernikahan ini hanya permainan, hatinya begitu sakit layaknya teriris silet. Perutnya yang tadinya berasa lapar karena belum sarapan, bahkan tak berasa sama sekali.

Di saat pikirannya melayang-layang entah memikirkan apa, tiba-tiba seseorang masuk dan menghampirinya. Ya ... siapa lagi kalau bukan si pemilik rumah yang menurut Nessa tak ada sopan-sopannya sama sekali. Harusnya dia mengetuk pintu dulu, bukannya langsung menyelonong masuk begitu saja.

"Tadi aku sudah pesan makanan buat kamu, bentar lagi juga datang. Dimakan, ya. Aku mau ke kantor dulu. Bye."

Hanya mengatakan sederetan kalimat itu dan dia langsung berlalu pergi lagi. Seolah tak membiarkan Nessa mengeluarkan perkataan dari mulutnya.

"Menyebalkan sekali. Sok perhatian. Hanya untuk mendapatkan status pernikahan denganku," dengus Nessa beranjak dari tempat tidurnya. Bertepatan dengan suara bel di pintu utama.

Segera, ia keluar dari kamar dengan langkah cepat.

Pintu dibuka, menampakkan seorang laki-laki dengan dua buah kantong di genggaman tangannya.

"Maaf, Mbak ... apa benar ini kediamannya Bapak Anggara Surya Dipta?"

"Eh, i-iya," jawab Nessa ragu-ragu. Pasalnya ia tak tahu nama panjang Angga.

"Ini, Mbak ... pesanan Bapak Anggara," ujarnya sambil menyodorkan dua kantong berisi sesuatu yang ia yakini kalau isinya adalah sejenis makanan. Angga juga sudah bilang, kan, tadi sebelum pergi kalau sudah memesan makanan untuknya.

"Terimakasih, Mas," ucapnya.

Si pengantar makanan sudah pergi, dan ia kembali masuk. Lebih tepatnya menuju meja makan. Tadinya tak lapar, kini rasa itu kembali hadir saat aroma yang berasal dari makanan yang ada dihadapannya menusuk indera penciumannya.

"Ya ampun ... menggoda sekali," gumamnya mulai menikmati makanan yang sudah tertata rapi di depan matanya.

Ritual makan ia lakukan hingga semua menu habis tak tersisa. Mungkin, inilah yang dinamakan nikmatnya makan. Tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Selesai makan, kini ia bingung harus apa dan ngapain? Duduk diam di rumah bukanlah kebiasannya. Beresin rumah? Apanya yang mau diberesin, semuanya sudah rapi bahkan tak meninggalkan debu sedikitpun. Pemiliknya mungkin sejenis makhluk yang tak mengabaikan kebersihan. Terlihat sekali dari gaya dan sikapnya.

Tik ... tok ... tik ... tok

Ia hanya menghitung setiap pergeseran jarum jam. Hingga telepon rumah yang ada di ruang tamu berdering. Bingung, mau menjawab telepon itu atau tidak?

Bahkan, saat tangannya sudah bersiap di gagang telepon itupun ia masih ragu. Tapi, jika tak dijawab takutnya itu penting.

"Hallo ...," ujarnya ragu.

"Kamu lagi ngapain, sih, Ness? Dari tadi di telepon nggak dijawab-jawab." Tahulah, siapa yang bicara itu. Yang suka mengoceh layaknya kereta api.

"Kirain siapa," balas Nessa.

"Udah makan?"

"Udah."

"Tadinya aku mau meeting, tapi enggak jadi. Kamu bisa ke sini sekarang, kan?"

"Kesini? Kesini kemana?"

"Ke kantor lah."

"Ng-nggak mau," balas Nessa. Astaga! Jangan sampai dirinya dipermalukan di depan semua orang.

"Nessa! Kalau nggak begini, nggak ada yang percaya kalau kamu yang akan nikah sama aku," terang Angga.

"Tapi, enggak sampai harus datang ke kantor juga kali, Om," rengeknya.

"Pokoknya aku tunggu kamu di sini. Cek alamat kantorku di buku telepon."

"Tapi ..."

"Apalagi?!"

"Aku kesananya gimana? Masa iya jalan kaki," ujarnya sedikit pelan.

Yang membuat Nessa kesal adalah saat ia mendengar Angga malah tertawa disana. Apa ada yang lucu dengan perkataannya barusan? Gila tuh orang.

"Maaf, kamu bicaranya berbelit-belit. Sekarang, kamu naik ke lantai atas, masuk ke ruang kerjaku, ya. Di laci meja itu ada uang. Kamu ambil buat ongkos ke sini."

"Baiklah, Om," balasnya.

"Jangan memanggilku ..."

Nessa langsung saja meletakkan gagang telepon saat Angga masih bicara. Karena ia tahu apa yang akan dikatakan laki-laki itu. Apalagi kalau bukan masalah panggilan 'Om' yang dipakainya untuk memanggil Angga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel