Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB : 10

Selesai membuat teh hangat, segera Nessa kembali menuju ke ruangan Angga. Tapi, saat kakinya beberapa langkah lagi mencapai ruangan itu, seorang wanita menabraknya yang tengah berjalan. Hingga minuman yang ia pegang nyaris tumpah.

"Mbak, kalau jalan jangan sambil teleponan," tegur Nessa saat wanita itu dengan rasa tak bersalahnya malah menyelonong berlalu pergi begitu saja.

Mendengar teguran itu, dia menghentikan langkahnya kemudian berbalik menghampiri Nessa.

"Jadi kamu menyalahkan saya atas tabrakan sepele barusan?"

"Lah, memang Mbak yang salah, kan? Jalan segede gini, masih sempat-sempatnya nabrak saya. Itu karena Mbak jalan sambil teleponan," terang Nessa. Otaknya lumayan pintar untuk menjawab pertanyaan gpang seperti itu.

Sepertinya yang ia lawan ini bukanlah wanita baik-baik. Lihat saja wajahnya itu ketika Nessa mengatakan kalau dirinyalah yang salah. Tampangnya jutek, sok, dan sejenisnya.

Tak terima, wanita itu langsung saja mendorong Nessa dengan sengaja hingga ia terduduk di lantai. Mirisnya lagi, teh panas di gelas yang masih berada di pegangannya tumpah megenai wajahnya. Kebayang rasanya gimana, yang pasti itu sangat perih.

Ia menjerit saat rasa itu menerpa wajahnya.

"Jangan pernah melawanku!" gertaknya pada Nessa.

Beberapa karyawan yang berlalu lalang, sampai ikut terhenti melihat kejadian itu, tapi seolah tak ingin ikut campur.

"Dasar! Wanita jahat!"

Nessa mengumpat di saat wanita itu sudah bersiap untuk pergi. Tapi, umpatannya terlalu manis untuk diabaikan, hingga berujung kembalinya si wanita. Seolah tanpa berniat untuk berpikir, dia siap melayangkan tamparan kearah pipi Nessa yang saat itu sudah terlihat memerah terkena air panas.

"Berhenti!"

Suara bariton yang tercipta sontak langsung menghentikan tamparan itu berakhir di pipi Nessa. Padahal, tadinya sudah menerka rasa apa yang akan ia rasakan. Bukan rasa strawberry ataupun rasa jeruk.

Wanita itu, bahkan semua yang ada di sana mengarah pada si pemilik suara. Siapapun juga pasti tahu, kalau si pemilik suara berada dalam mode emosi.

"Angga ..." Wanita itu bergumam melihat Angga sudah berdiri di belakangnya.

Angga berjalan dan menghampiri Nessa yang saat itu masih menangis terduduk di lantai sambil mengibas-ngibaskan telapak tangan di depan wajahnya, berharap rasa perih dan panas itu bisa segera reda.

Segera, Angga membantu Nessa untuk berdiri dan mengelap wajah gadis itu dengan sapu tangan yang ia ambil dari sakunya.

"Perih banget," rintih Nessa. Bahkan, wajahnya terlihat memerah. Tentu saja, ini air panas loh yang tumpah ke wajahnya.

"Ayo ikut aku," ajak Angga membawa Nessa pergi dari sana. Ia bahkan tak menghiraukan ada wanita yang memandang dirinya dan Nessa dengan penuh emosi.

"Angga!!!" Dia menghentak kesal penuh amarah saat dirinya tak dianggap ada di sana oleh Angga. Ditambah lagi melihat perlakuan laki-laki itu pada Nessa. Membuat rasa kesalnya itu jadi naik level. Segera, ia menyusul Angga dan Nessa.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Angga pada Nessa.

"Nggak apa-apa gimana? Ini benar-benar panas tahu, nggak, Om," rengeknya sambil mengambil sebuah buku yang ada di meja dan ia gunakan sebagai kipas.

Angga beranjak dari posisi awalnya yang berjongkok di hadapan Nessa. Ia berniat mengambil obat, tapi langkahnya terhenti saat wanita yang menjadi pelaku tadi datang.

"Jelasin sama aku, siapa dia!?" tanya wanita itu pada Angga sambil mengarahkan pandangannya pada Nessa.

"Dia calon istriku. Kenapa, ada masalah?" tanya Angga balik.

"Apa ... kamu bilang calon istri? Angga! Kamu pikir selama ini kita dekat karena apa? Aku cinta sama kamu. Harusnya kamu menyadari itu."

Terukir senyuman sinis di sudut bibir Angga mendengar perkataan yang lebih ke pengakuan itu. ''Rosa, aku tahu kalau kamu mencintaiku. Tapi maaf, aku enggak punya rasa apa-apa sama kamu. Sebaiknya sekarang kamu pergi dari sini. Karena ku enggak mau kamu ngelakuin hal buruk lagi, terutama pada calon istriku!"

Wanita bernama Rosa itu semakin dibuat emosi atas pengakuan Angga. Ia yang lebih dulu mengejar cinta laki-laki itu, tapi malah wanita lain yang mendapatkan. Padahal bisa dikatakan gadis itu baru muncul di kehidupan Angga.

"Kamu dengar, kan ... pergi sekarang dari sini!"

Rosa segera berlalu dari hadapan Angga. Tentunya ia sempatkan melempar wajah tak bersahabatnya pada Nessa yang masih berkutat dengan wajahnya yang panas.

Rosa sudah pergi, Anggapun melanjutkan niatnya yang tertunda, mengambil sebuah salep yang ada di laci mejanya. Ia menanggalkan tuxedo yang masih menempel rapi di tubuh atletisnya, dan menggulung lengan kemejanya hingga siku, agar pergerakannya lebih mudah. Dasi yang masih mengikat kerah kemejanya ia tanggalkan dan digunakannya untuk mengikat rambut Nessa.

"Aku rasanya mau nangis," ujar Nessa saat Angga sudah duduk berhadap-hadapan dengannya.

"Bukannya dari tadi udah nangis," balas Angga mulai mengoleskan salep itu di wajah Nessa dengan hati-hati.

"Mau nangis kejer maksudnya, Om," ralat Nessa pada perkataannya.

"Nangis aja. Biar semua orang ngiranya aku lagi apa-apain kamu. Nikahnya jadi dipercepat hari ini."

Wajahnya perih, tapi ia lebih kesal pada omongan Angga. Pingin nabok wajah laki-laki yang ada dihadapannya ini, tapi sekarang ia sedang butuh belaian. Maksudnya, ia sedang butuh bantuan Angga. Jadi, niatnya ia tunda dulu. Next time kalau memungkinkan bakalan ia berikan tabokan itu.

"Ngarep banget nikah cepat sama aku. Jangan-jangan Om punya niat terselubung lainnya, ya? Mencurigakan sekali," ujar Nessa yang posisinya masih duduk dengan Angga yang sedang mengoleskan salep di wajahnya. Lumayan, rasa panas itu mulai sedikit berkurang. Tapi masalahnya sekarang adalah, hatinya yang tiba-tiba jadi panas karena posisi Angga yang begitu dekat dengannya.

"Bawel. Bisa diam tidak?" Angga menghentikan aktifitasnya di wajah Nessa.

"Maaf, aku membuatmu repot," gumam Nessa merasa tak enak. Sejujurnya hatinyalah yang saat ini merasa tak enak.

"Jangan cemberut. Jelek sekali," ledek Angga kembali mengoleskan salep itu. Parah, kan? Bahkan untuk marah dan bertindak kasar pada Nessa pun ia seolah tak bisa. Ada sesuatu yang seolah menahannya.

Setelah selesai mengobati wajah Nessa, Angga kembali pada aktifitasnya. Sementara Nessa hanya bisa duduk diam di sofa layaknya bonggol pohon pisang yang terbuang. Tahu apa yang dipikirkannya saat ini? Apalagi kalau bukan gadis bernama Rosa tadi. Siapa dia? Apa hubungannya dan Angga? Bahkan saat ini ia merasa sedang berada diantara sepasang kekasih. Apa statusnya sekarang adalah orang ketiga? Mau bertanya langsung pada Angga, takut.

"Ada sesuatu yang mau kamu tanyakan?" tanya Angga pada Nessa.

Ia hanya diam. Heran saja, kenapa Angga bisa tau kalau dirinya memang sedang ingin menanyakan sesuatu. Nessa beranjak dari sofa dan pindah duduk ke kursi yang berhadap-hadapan dengan meja kerja cowok itu.

"Hmm ... dia siapanya, Om?"

"Siapa?"

"Nenek sihir barusan. Eh, maksud aku tuh, cewek barusan." Nessa segera meralat perkataannya. Harusnya julukan itu ia simpan saja dalam otaknya. Eh, ini malah pake acara keceplosan segala. Sepertinya ia akan mempersiapkan kupingnya untuk mendapat Omelan Angga.

"Namanya Rosa."

Kalau masalah nama, sih, dirinya juga sudah tahu. Yang ia permasalahkan saat ini adalah, dia siapanya Angga?

"Tenang saja, dia bukan siapa-siapa bagiku. Mungkin, derajat kamu lebih tinggi dari dirinya di kehidupanku," terang Angga dengan gaya santainya.

Tapi, tak tahukah dia kalau saat ini Nessa merasa jantungnya tiba-tiba berhenti berdetak. Darahnya seolah berhenti mengalir. Otaknya mentok di kalimat yang dikatakan Angga.

"Nessa ..."

Panggilan Angga langsung membuyarkan Nessa dalam posisi bengongnya. "Eh, iya. Ada apa, Om?"

"Aku kesal padamu."

"Apa salahku?"

"Kenapa memanggilku seperti itu terus?"

"Memang kenyataannya begitu, Om. Aku masih bocah, nggak mungkin dong manggil nama doang pada orang yang posisinya jauhhhh lebih tua dari aku?"

Kesal, itulah yang ditunjukkan Angga mendengar perkataan gadis yang ada di hadapannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel