Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB : 7

Setelah menempuh perjalanan yang tak begitu panjang, Angga menghentikan laju mobilnya di depan sebuah rumah yang bisa dikatakan sangat besar. Ya ... setidaknya itu bisa terlihat dari pagar tinggi yang mengelilingi area rumah. Tak butuh waktu lama, seorang satpam segera membukakan pintu gerbang untuk mobil yang keduanya tumpangi bisa memasuki area rumah.

"Ini rumah siapa?"

"Orang tuaku," jawab Angga segera turun dari mobil.

"Astaga! Jadi, dia beneran mau membawaku ketemu sama orang tuanya?" gumam Nessa.

Angga membukakan pintu untuk Nessa. "Ayo turun," suruh Angga.

Nessa turun dari mobil. Tadi, sih, biasa saja. Tapi sekarang, kenapa ia jadi takut begini. Berasa mau ketemu calon mertua. Ah, ya ... dirinya melupakan itu. Memang saat ini ia mau bertemu calon mertua, kan? Lebih tepatnya, calon mertua dadakan, tak pernah terpikirkan, dan mungkin penuh keterpaksaan.

"Kenapa wajahmu seperti itu?"

"Ada apa dengan wajahku? Apa begitu cantik?" Pujilah diri sendiri sebelum dipuji orang lain. Sepertinya itulah yang sedang ia lakukan.

Angga tersenyum meledek perkataan Nessa. "Gadis bodoh. Maksudku, kenapa wajahmu jadi tegang begitu? Deg-deg'an atau takut, ya, ketemu calon mertua?"

Nessa diam saja. Apalagi yang akan ia katakan. Setidaknya memang itulah yang sedang ia rasakan. Ini sedikit gila! Kenapa juga ia harus merasa seperti itu? Hubungan yang akan tercipta antara dirinya dan Angga bukan sebuah kebenaran.

"Sudahlah, Om. Kalau bicara terus, aku batalin jadi istri bohonganmu. Mau?"

"Satu lagi," ujar Angga. "Jangan memanggilku dengan sebutan Om lagi. Apa menurutmu aku ini sudah tua?"

"Maybe," jawab Nessa tak perduli.

Angga yang tadinya sudah berjalan terlebih dahulu, berhenti tiba-tiba. ''Ayok," ujarnya sambil mengulurkan tangan pada Nessa.

"Haruskah?"

"Ya ... kita akan mulai permainannya. Jadi, bersikaplah padaku layaknya seorang kekasih. Mengerti, kan, apa maksudku? Kalau otakmu pintar, tak perlu ku jelaskan juga kamu pasti bisa paham," terang Angga sambil mengamit tangan Nessa.

Apa katanya barusan? Bersikaplah layaknya seorang kekasih? Hello ... tak tahukah si om-om mesum ini kalau ia belum pernah pacaran. Jadi, mana bisa ia mempraktekkannya. Apalagi prakteknya pada orang yang jelas-jelas tak ia cintai.

Saat sudah di depan pintu masuk rumah, Nessa menghentikan langkah kakinya. Membuat Angga yang posisinya sedang menggenggam tangannya sontak ikut terhenti.

"Apalagi, sih, Nessa?"

"Takut, Om," rengeknya.

"Apa yang kamu takutkan?"

"Enggak tahu."

"Intinya, jadi dirimu sendiri. Udah, itu aja," balas Angga langsung saja membawa Nessa masuk rumah.

Nessa merasa jantungnya seakan mau copot dan berhenti berdetak. Ia merasa badannya panas dingin, tapi ini bukanlah demam. Telapak tangannya bahkan basah oleh keringat. Tentunya Angga bisa menyadari itu.

"Tunggu."

Angga geram dan kesal. Dengan jarak dari mobil hingga pintu masuk yang hanya beberapa langkah saja, harus membutuhkan waktu yang lama hanya karena Nessa terus membuang waktu dengan alasan dan rengekan.

"Baiklah, kalau itu maunya, Om. Tapi aku punya satu syarat lagi," jelasnya dengan senyuman mengambang di sudut bibirnya.

Tiba-tiba saja sebuah lampu menyinari otaknya hingga sebuah ide muncul.

"Apapun itu," balas Angga.

"Om harus pinjami aku uang," ungkap Nessa. "Aku udah nunggak uang sekolah selama beberapa bulan."

"Hanya itu?"

"Ya."

"Itu perkara gampang," balasnya langsung menarik tangan Nessa untuk masuk dan menemui orang tuanya.

Keduanya masuk dan berjalan menuju sebuah ruangan. Sepertinya ini ruang keluarga.

"Pagi, Ma, Pa," sapa Angga pada sepasang suami istri yang saat itu sedang duduk di sofa.

Keduanya mengedarkan pandangan pada Angga. Tapi, lebih tepatnya kearah Nessa.

"Siapa dia?" tanya Surya, Papa dari Angga dengan tatapan dingin yang mengarah pada Nessa.

Nessa yang saat itu masih berdiri dengan posisi tangannya berada di genggaman Angga, langsung shock. Bagaimana tidak, tampang papanya Angga itu loh, membuat jiwa Nessa berteriak-teriak ketakutan. Bukan nyeremin, sih, bahkan bisa dikatakan masih tampan. Tapi, terlalu dingin.

"Bukankah Papa sama Mama memintaku untuk mendapatkan calon istri dalam waktu empat hari. Memang waktu yang sangat mepet, sih. Tapi sekarang aku membawanya ke hadapan kalian," jelas Angga.

"Jadi, ini gadisnya?" Giliran Emily, mamanya yang bertanya.

"Hmm ..."

"Silahkan duduk," suruh Emily pada Nessa.

Apalagi yang akan dilakukannya selain mengangguk dan menuruti suruhan wanita paruh baya yang akan menjadi mertuanya itu.

Berbeda dengan Surya, Emily lebih terlihat keibuan. Tapi, dibalik itu sisi tegasnya juga mendominasi.

"Siapa nama kamu?"

Nessa tak langsung menjawab. Ia malah mengedarkan pandangan kearah Angga yang duduk di sebelahnya.

"Jawab, Ness," gumam Angga sedikit berbisik. Berharap gadis itu bersikap seperti yang ia harapkan. Agar kedua orang tuanya tak menaruh curiga.

"Namaku Nessa, Tante," jawabnya masih ragu-ragu.

"Nama yang cantik, secantik pemiliknya," puji Emily.

Sebuah kembang api seolah sedang meledak di dalam ususnya. Baru kali ini ada orang yang memuji dirinya. Haruskah ia berteriak? Tidak, waktunya tak tepat.

"Usia kamu?" tanya Surya.

"Usiaku?" Bagaimana ini? Bukannya ia lupa akan usianya. Tapi pasti statusnya saat ini akan jadi masalah utama.

"Kamu masih ingat berapa usiamu saat ini, kan?" Emily membuyarkan lamunannya.

"Usiaku 17 tahun. Aku masih sekolah, Tante," jawabnya dengan ragu. Semoga saja kedua suami istri itu tak beranggapan kalau dirinya adalah seorang wanita tak benar.

Mendengar jawaban Nessa, baik Surya maupun Emily menunjukkan pandangan aneh. Tapi, itu mereka tujukan pada Angga.

"Kamu tak sedang berniat mempermainkan hati wanita, kan, Ga?" tanya Emily pada putranya.

Angga tersenyum. "Maksud Mama apa?"

"Dengan menikahi seorang anak sekolahan?"

"Tak ada salahnya, kan?"

"Ya ... kalau saling mencintai," balas Emily.

"Ma, Pa ... bukannya kalian memintaku untuk mencari pendamping dalam waktu empat hari. Sekarang aku mendapatkannya, dan kalian malah bersikap seperti ini."

"Om ... bersikap lebih baiklah kalau bicara dengan orang tua," ujar Nessa memberi saran

"Om?"

"Eh, i-itu ... panggilan kesayanganku, Tante," jelas Nessa sambil senyum gaje. Gila aja, masa iya manggil calon suami, Om.

"Jadi, gimana?"

"Terserah kamu saja," jawab Grace

"Papa nggak setuju," tolak Surya.

"Loh, kenapa, Pa?"

"Tak ada bukti kalau kalian itu saling cinta," jelasnya.

Nessa membelalakkan matanya. Bagaimana cara menunjukkan rasa cintanya pada Angga? Toh, ini semua hanya rekayasa. Jadi, rasa itu tak akan ada. Yang ada hanya rasa kesal yang ia punya untuk cowok ini.

Angga menarik tangan Nessa agar beranjak dari duduknya. "Terserah Papa mau percaya atau tidak. Yang penting, Nessa adalah calon istriku dan otomatis akan jadi menantu kalian."

Segera ia menyambar tangan Nessa dan membawa gadis itu pergi dari sana. Kalau terus berada di situasi itu kemungkinan sandiwaranya dan Nessa akan segera terbongkar.

"Angga!"

Angga mengabaikan panggilan Surya yang terkesan penuh emosi. Bahkan, Nessa merasa pergelangan tangannya seakan mau putus saja karena terus ditarik oleh Angga hingga menuju mobil. Sampai di depan pintu mobilpun, gadis itu dipaksa untuk segera masuk.

Dengan cepat ia lajukan kemudi mobilnya meninggalkan area tempat tinggal kedua orang tuanya. Tentunya masih dengan wajah penuh kekesalan.

''Kasar sekali. Lihat, tanganku jadi seperti ini karena dirimu," oceh Nessa sambil menunjukkan bekas memerah yang ada di pergelangan tangannya akibat cengkeraman Angga.

"Diamlah!"

"Berhenti di sini," pinta Nessa pada Angga. Tapi, keinginannya seolah tak di dengar. Atau, dia pura-pura tak dengar.

"Berhenti di sini, aku mau turun!"

Kali ini permintaan Nessa lebih terkesan pake emosi. Ia kesal dengan sikap Angga. Apalagi pada orang tuanya yang seolah tak ada sopan santunnya sama sekali. Pergi seenaknya, dan bicara dengan nada tinggi.

"Sana turun!" Bentak Angga.

"Pantas saja tak ada wanita yang mau denganmu. Sikap kasar, tak ada lembutnya sama sekali," ujar Nessa segera turun dari mobil.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel