Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB : 13

Hanya dengan satu tarikan napas, Angga begitu lancar mengucapkan janji suci itu. Andai ini sebuah kenyataan, mungkin rasanya tak akan seperti ini.

"Selamat datang di keluarga kami," ucap Emily menghampiri Angga dan Nessa. Tapi tujuan dari ucapannya itu adalah pada Nessa.

"Iya, Tante," balas Nessa lambat.

"Kenapa masih manggil Tante. Kamu harus selalu mengingatnya Nessa, mulai hari ini kamu adalah menantu kami. Otomatis kamu harus memanggil kami Mama dan Papa," jelas Emily berkomentar.

"I-iya, maaf, Ma. Aku belum terbiasa," terangnya tak enak. Lidahnya seolah berat menggunakan panggilan itu. Lagian, seumur hidup tak pernah panggilan itu ia ucapkan pada siapapun.

"Papa harap kamu bisa mengurus Angga dengan baik. Terutama kebiasaan buruknya yang suka marah-marah dan emosi nggak jelas," ujar Surya seperti sedang mengeluarkan kebiasaan putra semata wayangnya.

Angga menarik napas berat pertanda tak menyukai omongan papanya barusan. Apa beliau sedang berniat membongkar semua rahasia dan kebiasaan buruknya?

"Sudahlah, Pa, Ma, jangan cekokin istriku ini dengan Omelan kalian," timpal Angga merangkul pinggang Nessa dengan sangat posesif. "Bisa-bisa dia ikutan tertular sama Mama Papap yang suka ngomelin aku dan aku tak suka itu," balas Angga.

Nessa merasa kalau sikap Angga terlalu berlebihan. Haruskah ada adegan rangkul-rangkulan begini? Apalagi tangan yang berada di pinggangnya, benar-benar membuatnya risih.

Di saat mereka ngobrol, tiba-tiba seseorang datang dan langsung menampar Angga tepat di pipi kirinya. Hingga darah segar mengalir di sudut bibirnya. Nessa dan yang lainpun dibuat kaget.

"Kamu keterlaluan Angga! Bisa-bisanya kamu menikah dengan wanita ini, sementara aku kamu campakkan begitu saja! Kamu pikir aku ini barang yang bisa dibuang begitu saja?!"

Siapa lagi orangnya kalau bukan Rosa. Ya ... wanita yang datang ke kantor Angga kemarin dan membuat Nessa terkena air panas

Angga tersenyum sinis sambil menyeka darah yang ada di bibirnya. Pandangannya ia alihkan pada Nessa yang berada di sampingnya. Jelas, melihat adegan itu membuat Nessa agak cemas.

"Kamu lihat, kan, Ness ... ini adalah salah satu contoh kenapa aku nggak pernah suka sama dia," ujar Angga pada Nessa sambil mengarahkan telunjuknya pada Rosa yang masih berada di ambang emosinya.

Daripada ikut dalam masalah Angga dan juga Rosa, Nessa lebih memilih untuk diam.

"Dengar, ya, Rosa. Aku hanya menganggapmu sebagai teman biasa, nggak lebih dan nggak akan pernah lebih."

"Kamu pasti juga mencintaiku, Ga. Tapi kenapa memilih dia!?"

Berasa ingin kabur dari situasi ini. Tapi, ntar Angga malah marah padanya. Ia seolah berada dalam sebuah drama percintaan. Memang kenyataannya begitu. Harusnya saat ini ia sedang menyimak pelajaran yang diberikan guru di kelas. Bukannya jadi saksi bisu pertengkaran

"Aku sama Nessa saling mencintai, apa salahnya kalau kami berdua menikah. Ini nggak ada urusannya sama kamu!"

"Bohong! Apa dia cuma wanita yang kamu bayar buat jadi istri? Aku tahu itu, semenjak kejadian beberapa tahun lalu, kamu nggak pernah dekat dengan wanita manapun selain aku. Tiba-tiba kamu malah nikah sama dia?" tunjuk Rosa kearah Nessa. "Aku nggak percaya!"

Angga bersidekap dada. "Oo ... jadi kamu mau bukti kalau aku benar-benar mencintai Nessa? Oke. Kamu tahu, kan, gimana sifatku? Aku nggak akan pernah menyentuh wanita yang bukan kuncintai, apalagi berbuat lebih."

Surya dan Emily hanya bisa saling melempar pandang. Mau melerai, bukan saat dan posisi yang tepat. Ini masalah Angga, jadi keduanya berharap kalau putra mereka bisa menyelesaikannya.

Angga merangkul pinggang Nessa, membuat gadis yang awalnya berada di sebelahnya itu, berubah posisi menjadi berada di hadapannya.

"Dengar, kan, Ness ... Rosa mau minta bukti kalau hubungan kita benar-benar dari hati. Bukan hanya rekayasa," ujar Angga pada Nessa.

"Trus, apa?"

Apalagi yang akan dilakukan Nessa kecuali memasang tampang bingungnya. Apa maksud Angga bicara begitu?

Tanpa aba-aba, Angga langsung saja mencium bibir Nessa. Semua yang ada di sana bukannya kaget, malah memberikan tepuk tangan. Bagaimana tidak, status keduanya sudah sah menjadi suami istri. Jadi, nggak ada yang salah, kan?

Tapi, sikap Angga itu malah membuat Nessa shock dan kaget. Kedua matanya membola seketika ciuman itu ia terima. Berusaha menyudahi, tapi tak bisa, karena Angga menahannya. Ingin rasanya ia menggampar pipi laki-laki yang ada dihadapannya ini. Berani-beraninya mencuri ciuman pertamanya. Di sisi lain, hatinya benar-benar hancur. Air matanya menetes mewakili rasa itu. Padahal ia berharap kalau ciuman pertamanya akan diterima dari orang yang mencintainya. Bukan dengan cara seperti ini.

Sementara Rosa, ia benar-benar merasa sakit hati. Laki-laki yang ia cintai, malah membuatnya emosi dengan berciuman dengan wanita lain dihadapannya begini. Tak tahan, ia lebih memilih untuk pergi dari sana dengan wajah penuh emosi.

Seperginya Rosa, barulah Angga melepaskan ciuman di bibir Nessa, begitupun melepas kedua pergelangan tangan gadis itu yang ia tahan.

"Om benar-benar keterlaluan!" geram Nessa sedikit lambat dan berlalu pergi begitu saja. Ia tak menyangka kalau Angga akan melakukan tindakan sejauh ini. Meskipun dirinya sudah sah menjadi istri dari Angga, tapi ini hanya sebuah permainan.

Melihat sikap Nessa yang pergi begitu saja, tentu membuat kedua orang tua Angga bingung.

"Ada apa dengan Nessa. Kenapa dia ..."

"Nggak apa-apa, Ma. Dia cuman agak kesal karena Rosa tiba-tiba datang di acara kita," jelas Angga. Tapi sejujurnya ia paham, kenapa Nessa marah seperti itu. Gimana lagi. Rosa membuatnya terpaksa berbuat seperti itu. Kalau tidak, hidupnya tak akan pernah lepas dari wanita itu.

"Yaudah, mending sekarang kamu bicara sama dia. Takutnya dia salah paham. Ini kalian baru mengawali bahtera rumah tangga loh. Dan sudah seperti ini."

Angga menyetujui saran mamanya. Segera, ia menyusul Nessa. Meskipun tak tau harus mencari gadis itu kemana. Tapi ia yakin kalau Nessa tak akan pergi jauh. Ia tak memegang uang sama sekali.

Sampai di halaman depan, ia tak bisa menemukan Nessa. Tapi kembali mencoba mencari, hingga akhirnya pandangannya tertuju pada seorang yang posisinya sedang duduk di bawah pohon sambil menangkup wajah dengan telapak tangannya.

"Kamu ngapain di sini?" Ya ... setidaknya saat ini ia bisa mendengar dengan jelas kalau gadis yang ada di hadapannya ini sedang menangis. Entah kenapa tiba-tiiba saja ia merasa sangat bersalah.

"Aku minta maaf tentang yang barusan terjadi."

Akhir perkataan Angga, langsung dibalas Nessa dengan sebuah tamparan yang tepat mengenai pipinya. Tak tega, sih, melakukan itu. Tapi saat ini ia benar-benar marah. Pasti sangat sakit, terlihat sekali dari sudut bibirnya yang kembali mengeluarkan darah. Apalagi tadi Rosa juga sudah memberikan itu.

"Itu balasan atas sikap Om yang seolah memandang diriku sebagai wanita murahan!"

"Kenapa kamu berpikiran begitu? Aku tak pernah menganggapmu seperti yang kamu bilang. Makanya aku mau memilihmu."

"Jangan lupakan kalau pernikahan ini adalah sebuah permainan! Om sendiri, kan, yang mengatakan itu dan membuatku agar selalu mengingatnya. Hanya sebuah permainan. Jadi, jangan bersikap melebihi batas padaku, begitupun sebaliknya. Tapi, Om melanggarnya sendiri."

"Kalau aku nggak melakukan itu, Rosa tak akan percaya," bantah Angga tak terima.

"Om nikah sama aku untuk mendapat kepercayaan dari kedua orang tua, Om atau dari Rosa?" tanya Nessa dengan emosi yang masih menguasai hatinya.

Angga tak menjawab. Setidaknya yang dikatakan Nessa memang benar adanya. Ia hanya ingin orangtuanya percaya. Tapi kenapa ia malah jadi tersulut emosi dan merasa tertantang saat Rosa meminta bukti tentang hubungan keduanya?

"Om nggak tahu, kan, kalau yang barusan itu ciuman pertamaku?" Nessa mewek-mewek nggak jelas.

Angga menahan tawanya. Takut, kalau Nessa marah lagi. Ini saja masih belum reda masa ia harus mendapat amukan lagi.

"Dan Om malah mengambilnya! Dasar, pencuri!"

"Jadi, gimana?"

"Apanya yang gimana?!"

"Kali aja kamu mau minta ganti rugi dan minta pertanggung jawaban. Atau, kamu mau ambil balik ciumannya juga boleh, kok."

Apa-apaan tawarannya itu. Nessa mencopot hels yang ia kenakan dan memukuli Angga dengan benda bertumit itu. Ya ampun ... gregetan sekali laki-laki ini.

"Om ... aku lagi marah loh ini. Nggak lihat tampang marahku?"

"Iya ... iya, aku kan udah minta maaf. Aku suruh ambil balik ciumannya malah marah. Trus, mau kamu apa?"

Mau kamu apa? Hello ... Yakali dirinya mau ngambil balik ciuman itu. Itu berarti otaknya sudah tak waras.

"Nah, nggak bisa jawab, kan? Jadi, sekarang kamu ikut aku ke dalam. Mama Papa bingung tahu, nggak, ngeliat kamu pergi gitu aja. Mereka pasti mikir kalau kita lagi ada masalah."

"Memang kenyataannya begitu, kan? Kita memang ada masalah. Dan pembuat masalahnya itu adalah Om sendiri," omel Nessa dengan wajah juteknya. Kemudian, berlalu bergi meninggalkan Angga yang masih berdiri mematung.

Satu yang ada di pikiran Angga saat ini? Kenapa ia bisa pasrah begitu saja saat Nessa mengomelinya. Diomeli mamanya saja ia berasa ingin mengamuk dan pastinya berontak. Sepertinya ada masalah serius di dalam dirinya hingga menjadi pasrah begitu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel