BAB : 11
"Aku punya ide," ujar Nessa sedikit melambatkan volume suaranya.
Dahi Angga berkerut mendengarnya. Entah apalagi yang sedang dipikirkan bocah yang ada dihadapannya ini. "Ide apa?"
"Om kan butuh banget calon istri dalam waktu dekat. Lah, kalau udah ada calonnya, kenapa sampai pusing-pusing nyariin? Kan ada nenek sihir barusan. Jadi, bisa dong, bebasin aku," terang Nessa menunjukkan wajah penuh sumringahnya. Kali aja ini adalah pintu menuju kebebasan.
Angga mengambil pulpen dan menjitak dahi Nessa dengan benda itu.
"Sakit, Om," ringisnya.
"Sudah ku bilang, kan, aku mau wanita yang dalam kehidupannya tak memikirkan masalah uang. Dan itu sangat tak sesuai dengan Rosa."
"Apa bedanya denganku? Nggak lupa, kan, kalau aku ngelakuin ini semua juga karena uang?"
"Ya ... setidaknya aku tahu kemana perginya uang itu. Pertama, untuk menukar dirimu pada Widodo. Dua, untuk melunasi tunggakan uang sekolahmu," jelas Angga. ''Jadi, apa kamu mau komentar lagi?"
"Tapi, Om ..."
"Sudahlah, jangan banyak bicara lagi. Besok kita nikah," balas Angga sambil merapikan berkas-berkas di mejanya. "Sudah sore, kita pulang," ajaknya.
Angga berjalan terlebih dahulu, sedangkan Nessa, ia masih berkutat diam di kursinya. Padahal tadinya ia sudah berharap banyak bisa menghilang dari kehidupan Angga, tapi sepertinya takdir berkehendak lain. Dengan langkah gontai ia berjalan cepat mengikuti langkah cowok itu. Tentunya masih dengan wajah manyun.
Di perjalanan menuju mobil, lebih tepatnya saat keluar dari lift, Nessa malah dibikin kaget lagi dengan sikap Angga yang merangkulnya agar berjalan lebih dekat.
"Haruskah seperti ini? Bikin risih tahu, nggak," gumamnya.
"Ya ... agar mereka bisa percaya sepenuhnya kalau kamu benar-benar akan menjadi istriku."
Saat ini ia sudah duduk di kelas tiga SMA. Seumur-umur ia tak pernah di sentuh oleh cowok. Bahkan bisa dikatakan ia sangat anti saat ada cowok yang berusaha mendekatinya. Tapi saat bersama Angga, kenapa ia jadi seolah pasrah begini?
---000---
Tepatnya saat waktu menunjukkan pukul 8 malam. Nessa menghampiri Angga yang saat itu sedang duduk di teras depan sambil membaca buku. Tak enak, sih, mengganggunya yang sedang sibuk, tapi sepertinya ia memang harus membahas masalah ini dengan sangat serius.
"Om, aku mau bicara serius," ujar Nessa menghampiri sambil duduk di kursi yang ada di samping Angga.
Angga yang tadinya fokus pada buku yang sedang ia baca, kini beralih mengarah pada Nessa. Tak hanya itu, ia malah menatap gadis itu dari atas hingga ujung kaki.
"Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?"
Petanyaan Nessa tak ia jawab. Tapi malah menanggalkan sweater yang dikenakannya dan menutupi bagian paha Nessa yang terbuka karena saat itu dia hanya mengenakan hot pants.
Mendapatkan sikap manis seperti itu, bagaimana dirinya tak terserang diabetes akut. Rasanya, ada kembang api yang sedang meledak di otaknya, hingga membuat guncangan hebat. Semoga saja tak terlalu parah, hingga membuatnya gila.
"Nggak mau, kan, kalau aku melakukan itu padamu sebelum adanya pernikahan?"
"Hah?!"
Nessa kaget, tapi Angga malah tersenyum puas melihat reaksi kaget gadis itu. Leluconnya sangat ampuh ketika mempermainkan Nessa.
"Tu, kan, Om pasti nikahin aku karena ada maunya," oceh Nessa.
"Bercanda doang. Yakali aku minat sama anak kecil kayak kamu. Maaf, kamu bukan tipeku." Angga kembali melirik kearah badan Nessa. "Bahkan dengan body seperti ini, aku nggak yakin kalau kamu bisa melakukan ..."
Terserah, nggak mau mikirin dosa karena sudah melawan pada yang lebih tua lagi. Langsung saja ia menjitak kepala Angga hingga cowok itu mengaduh.
"Kamu sudah berani ya sekarang," umpat Angga tak terima.
"Hoyadong. Bener, kan, ternyata Om nikah sama aku itu karena memang ada niat terselubung. Jadi takut," ujar Nessa bergidik ngeri.
"Apaan, sih? Siapa juga yang punya niat terselubung. Kalau aku cuman mau menikmati tubuh wanita, di luaran sana juga banyak. Nggak harus ngeluarin modal sebanyak itu juga bakalan dapat."
Semoga saja tak ada setan yang jahil berada diantara dirinya dan Angga. Bisa-bisa nangkring di otak mesum Angga, habislah ia diperawani sebelum waktunya. Kabur dari situasi seperti ini adalah hal terbaik.
"Eh, mau kemana. Bukannya mau bicara hal serius sama aku?" tanya Angga saat Nessa berlalu pergi dari hadapannya.
"Enggak jadi," jawabnya berlalu masuk rumah.
Sampai di kamar, ia hanya mondar-mandir memikirkan permasalahannya dan Angga. Bagaimana nanti kehidupannya kalau sudah menikah? Bagaimana sekolahnya?
"Nessa, buka pintunya," panggil Angga sambil mengetuk pintu kamar.
"Mau ngapain, Om? Aku mau tidur loh ... ngantuk," jawab Nessa.
"Nggak, cuman mau ngingetin kalau besok kita nikah. Jadi, jangan melupakan hal itu. Pasang alarm biar aku nggak memaksa masuk membangunkanmu," jelas Angga.
"Iya, aku akan mengingatnya."
Tak ada respon lagi, itu berarti Angga sudah tak berada di depan pintu kamarnya lagi. Langsung, ia mengeram.
"Astaga! Bagaimana ini?" Kemarin rasanya tak seperti ini. Kenapa tiba-tiba saja ia merasa gelisah dan takut begini saat akan menikah dengan Angga. Apa ia gila, saat mau saja menerima dan dipaksa menikah?
Satu jam ...
Dua jam ...
Ia masih duduk sambil menekuk kedua lututnya di sudut kamar. Memikirkan bagaimana kelanjutan hidupnya nanti. Menikah tanpa rasa cinta? Membayangkan saja membuatnya tak sanggup. Meskipun Angga mengatakan kalau pernikahan ini hanya sebuah status.
"Aku nggak bisa kayak gini," gumamnya.
Ia beranjak dari duduknya dan mengambil tas miliknya yang ada di tempat tidur. Tenang saja, itu hanya tas dan tak ada isinya sama sekali. Sudah dikatakan juga kalau ia hanya gadis miskin dan tak punya apa-apa.
Langsung saja, ia keluar dari kamar. Tahu, kan, apa niatnya saat ini? Ya, melarikan diri.
Dengan langkah tergesa-gesa dan jantung berdebar, ia menuju pintu utama. Tapi, baru saja tangannya menggapai pintu, seseorang dengan cepat menariknya. Bahkan, saking kuatnya tarikan itu membuatnya berakhir di tubuh seseorang.
Ia kaget, sebuah tangan merangkul dan melingkar kuat di pinggangnya. Sedangkan kedua tangannya dikunci hingga dirinya tak dapat bergerak.
"Kamu melarikan diri, ya?"
Sudah bisa dipastikan siapa pemilik suara itu tanpa harus ia lihat terlebih dahulu wajahnya.
"Lepasin aku, Om," pinta Nessa berusaha lepas. Tapi tetap tak bisa. Apalagi rangkulan di pinggangnya lumayan kuat.
"Aku kan sudah bilang, janqam pernah kabur dariku. Karena itu tak akan pernah bisa. Kamu itu diciptakan memang untukku," bisik Angga di telinga Nessa.
Seperti disambar petir. Nessa sedikit shock mendengar penuturan Angga. Laki-laki itu memang bicara spontan, tapi entah kenapa setiap kalimat sejenis yang keluar dari mukutnya membuat hati Nessa menjadi tak karuan.
"Om, aku mohon, lepasin aku. Aku janji, nanti kalau udah punya uang bakalan ganti semua hutangku sama Om. Tapi plissss, lepasin aku, bebasin aku." Kali ini Nessa sedikit memohon. Ia sangat berharap bisa terlepas dari Angga. Yang ia takutkan hanya satu, rasa yang tengah ia hadapi saat ini malah semakin berkembang.
"Kamu nggak akan kemana-mana. Kita akan nikah!"
Cengkeraman di pergelangan tangan Nessa semakin kuat. Hingga gadis itu sedikit meringis menahannya.
Angga yang tadinya berada di belakang Nessa, mengubah posisinya menjadi berjadap-hadapan. Tapi tetap dengan mengunci kedua tangan gadis itu.
Angga mendekatkan wajahnya pada Nessa. "Apa perlu aku ngelakuin sesuatu dulu, biar kamu nggak berniat untuk kabur dari sini? Jangan pikir dengan diamku berarti diam. Aku bisa saja lakuin itu agar membuatmu jadi milikku seutuhnya. Tapi, aku nggak lakuin, kan?"
Terlihat butiran bening mengalir dari kedua pipi Nessa.
"Aku baik padamu, dan aku berharap kamu juga begitu padaku. Tapi jangan salahkan aku ketika emosiku memuncak saat kebaikanku kamu jadikan mainan saja."
Nessa merasa nyawanya seolah berada di tenggorokan. Posisi Angga yang sangat dekat begini membuatnya takut. Apalagi kedua tangannya yang berada di cengkeraman Angga yang terasa panas. Ia seolah tak memiliki celah untuk lepas.
"Atau, kamu memang mau aku lakuin sesuatu dulu biar nggak ada niatan lagi untuk kabur?"
Nessa menggeleng. Mulutnya seolah terkunci untuk menjawab, membantah dan berkomentar. Kali ini ia merasa berada di genggaman cowok mesum.
Tiba-tiba saja Angga membekap mulut gadis itu. Tapi dengan sebuah sapu tangan yang sudah siap di telapak tangannya.
Berusaha berontak atas sikap Angga padanya. Tapi, entah apa yang terjadi, ia merasa kepalanya benar-benar pusing. Dunia seolah sedang berputar dengan sangat kencang. Penglihatannya tiba-tiba menjadi gelap.
"Om, jahat banget sama aku," ujar Nessa sebelum kesadarannya benar-benar hilang hingga dirinya terkulai lemas tak sadarkan diri di pelukan Angga.
"Maaf, aku harus lakuin ini ke kamu. Salahmu juga masih berniat kabur dariku. Aku sudah memperingatkan mu, tapi peringatanku malah kamu abaikan," gumam Angga segera membawa Nessa menuju kamar. Tepatnya menuju kamarnya.
Sampai di kamar, ia menidurkan Nessa dan menaggalkan sepatu yang dia kenakan.
"Dan maaf juga, sepertinya aku harus lakukan itu agar kamu tak bisa kabur dariku. Setidaknya kamu dan aku harus terikat," ujar Angga.
