Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

pertemuan

“Astaga! Gue dapet ikan gede banget.” Seorang lelaki berdiri dipinggir sungai. Tangannya memegang gagang pancing dengan erat. Si gagang pancing terlihat sangat melengkung, menandakan jika memang dia dapat ikan yang gede. “Wooii lo ngapain berenang disitu sih! Anyiing nakuti ikan. Pantes aja dari tadi nggak ada ikan yang mau naik.” Si cowok pemancing ini ngomel ke aku. Aku yakin dia seumuran Aura, adikku yang masih sekolah SMA.

Dengan sangat kesal, terpaksa aku berenang ketepi. Tepat disamping cowok pemancing ini, aku naik dengan susah payah. Lalu duduk setelah berhasil naik.

“Untung aja kaki lo nggak kena pancing.” Dia sibuk lepasin senar pancing yang bundet di pergelangan kakiku.

Aku hanya diam melihat kesibukannya. Setelah selesai membenarkan pancing, dia tak lagi memasang umpan. Malah menyimpan pancing itu didekatnya. Lalu menatapku yang hanya diam dengan wajah menyedihkan.

“Lo nggak kelihatan bocah. Tapi kenapa lo main air disungai? Atau....” Matanya membulat dan telunjuknya mengacung kearahku. “Lo bunuh diri ya?”

Aku Cuma diam, tapi detik kemudian kepalaku mengangguk. Membenarkan kata-katanya.

“Waah udah gila ya. Lo ada masalah apa hum? Kalo ada masalah bawa mancing aja. Atau main layang-layang gitu. Masak nyebur ke sungai sih. Dasar gesreh! Terus lo pikir bakalan cepet mati?” dia mencibirkan bibirnya. “Tau bisa renang kok bunuh dirinya nyebur ke air. Ya nggak bakalan mati bego! Nggak niat banget bunuh diri. Gangguin orang mancing aja.”

“Aaarrggg! Huhuhuhu.....” Kembali aku menangis tergugu. Memeluk kedua lutut dan menyembunyikan wajah diantara lengan.

Si cowok pemancing kelabakan karna melihat tangisku.

“Hey, kenapa lo nangis. Sorry sorry. Gue nggak maksud bilang lo bodoh. Tapi itu kan nyata. Iisshh payah.” Dia mengacak rambutnya dengan kesal. Kesal karna melihatku menangis tanpa sebab.

“Aku tu lagi sedih. Jangan diceramahin. Kamu nggak ngerti banget sih!! Nyebelin. Dasar bocah!” gantian aku ngomelin dia.

“Iya iya tau lo lagi sedih. Maaf ya, gue nggak tau kalo orang sedih itu suka ngelakuin hal aneh.” Ucapnya lagi.

Aku kembali menangis, tak lagi menanggapi ocehannya itu. Hingga kurasa sesak didada mulai berkurang, baru kuangkat kepala. Mengusap mata yang terasa sangat perih. Sekarang aku sudah bisa merasa kedinginan. Tubuhku sampai sedikit bergetar.

“Nih pakai.” Si cowok itu melepas hoddie yang dia gunakan.

Tanpa merasa malu ataupun canggung, kuraih pemberiannya lalu memakainya. Kurasa nggak perlu ngomong makasih.

Hening.

Kami berdua hanya duduk menatap air sungai yang sudah terlihat agak jernih. Dia sepertinya tau jika aku benar-benar sedang bersedih saat ini.

“Harusnya aku tadi membiarkan tawon itu menyerang. Pasti aku akan mati saat itu juga. Kenapa tadi malah nyebur ke air sih!! Dasar bodoh.” Ngumpat ke diri sendiri.

Si cowok tersenyum miring menatapku. “Baru nyadar!” timpalnya.

“Tatap aku.” Aku menarik lengannya sedikit. Memaksanya untuk menatapku.

Dia terlihat heran, sampai keningnya berkerut. “Kenapa?”

“Apa aku terlihat sangat jelek?”

Tanpa nunggu mikir, dia langsung ngangguk mantap. “Malah nggak ada cantiknya sama sekali.”

Aku mendekik. Ini dia ngomong jujur ya? Kok aku jadi ngerasa kesel banget sih. Mau marah, juga nggak logis. Kulepaskan cengkraman tanganku. Lalu kembali mataku menatap air didepan.

“Apa karna aku nggak cantik? Jadi Lian memilih menikahi wanita lain?”

“Tapi kenapa setelah semua sudah fixs? Kenapa dia nggak ninggalin aku dari dulu? Lalu? Setelah tenda pernikahan terpasang, apa yang akan aku lakukan? Duduk sendiri dipelaminan? Ya Tuhan, candaanmu beneran nggak lucu.” Aku menutup wajah dengan kedua tangan.

“Elo kabur dari pernikahan?” tanya si cowok pemancing.

Aku ngangguk. “Ya, aku baru aja kabur dari acara akhad nikah calon suamiku dengan wanita lain.”

“Maksudnya lo ditinggal kawin?” tanya si cowok dengan penasarannya. Aku hanya ngangguk membenarkan.

“Miris banget kan nasibku. Padahal tinggal lima hari lagi kita nikah. Tapi dia malah nikahin wanita lain. Sialnya, aku datang keacara itu.” Kembali tangisku meleleh.

Mengingat dia yang berdiri disamping Luna. Lebih menyakitkan saat mengingat aku memilih kebaya itu. Dua hari yang lalu, aku datang ke butik. Mencoba kebaya itu sebelum jadi sepenuhnya. Nggak nyangka, setelah jadi, bukan aku yang memakainya. Sial emang!!

“Kasian banget sih nasib lo.” Dia menepuk pundakku pelan, menggelengkan kepalanya. Mungkin benar-benar merasa iba padaku.

Kutatap dia lekat. “Katakan, apa yang harus kulakukan sekarang? Pasti keluargaku sangat malu jika membatalkan semuanya.” Kembali mata ini menatap lurus kedepan.

“Dengan undangan yang sangat banyak dan sudah menyebar. Apa lagi tenda dan pihak WO yang sudah ku booking. Hah!! Aku harus bagaimana?” kembali mataku berair. Kurasa aku sudah tak punya ide apapun.

Cowok disampingku ini diam tak berkata apapun. Mungkin dia sama sekali nggak peduli dengan keluh kesahku. Ya, untuk apa dia peduli, aku bukan siapa-siapanya yang wajib dia pedulikan.

Dia berdiri setelah kami hanya saling diam. Membereskan alat pancing dan memasukkannya kedalam tas ransel yang ada disampingnya.

“Ayo.” Ajaknya. Berjalan kearah motor gede warna hijau yang terparkir tak jauh dari kami duduk.

Aku masih diam menatapnya. Masih nggak ngerti maksudnya apa.

“Ayo ikut gue. Ntar gue anterin pulang.” Mulai nyalain mesin motor. “Atau lo mau balik nyebur?”

“Enggak.” Segera berdiri dan jalan kearahnya. Langsung aja aku naik ke jok belakang.

Motor langsung jalan menjauh dari sungai. Melewati sawah-sawah yang sangat luas dan indah dengan tanaman padi. Sesaat aku merasakan serpaan udara yang sejuk dan asri. Sekitar 10 menit, motor si cowok berhenti didepan rumah sederhana dengan ukuran 68.

“Turun.” Perintahnya.

Aku nurut, turun dan diam memperhatikan rumah kecil ini. Cat rumah yang dulu berwarna hijau itu sudah hilang karna jamur. Gentengnya juga hitam dan ini benar-benar kecil.

Si cowok melangkah masuk keteras rumah. Menaruh tas yang dia gendong di meja depan.

“Pak, Buk.” Panggilnya. Aku masih mematung disamping motornya. Dia menatapku, lalu melambaikan tangan. “Sini.”

Kembali kuturuti kata-katanya. Aku berjalan masuk keteras, dan tanpa disuruh, kududukkan pantat ke kursi dari kayu yang sudah beberapa kali ditambal.

Kriiiet

Pintu depan terbuka, seorang wanita tua dengan rambut yang memutih muncul dari balik pintu. Tersenyum menatap si cowok. Sedangkan cowok itu meminta tangan si wanita untuk disalami, kemudian mencium punggungnya dengan takzim. Aku berdiri dan melakukan hal yang sama.

“Datang kok nggak bilang dulu de.....”

“Buatin minum ya buk. Haus.” Si cowok memotong kata-kata wanita didepannya.

“Ya udah ibuk buatin dulu.” Wanita itu masuk, dan si cowok natap kearahku.

“Gue ambilin baju yang kering ya.” Aku Cuma ngangguk dan si cowok tadi masuk kedalam rumah.

Kembali kutaruh pantat di kursi yang tadi. Apa ini rumahnya ya? Terus tadi itu ibuknya? Kok nggak mirip. Motornya juga bagus banget, kaya’ nggak mungkin dengan motor bagus begitu rumahnya reot begini.

“Nih, ganti dulu. Itu kamar mandinya ada disamping rumah.” Dia ngasih sebuah celana joging dan kaos oblong.

Aku menerimanya, membolak balikkan celana dan kaos yang dia beri. “Ini punya kamu?”

Dia ngangguk. Aku berdiri dan jalan menuju samping rumah. Masuk kekamar mandi yang sangat sempit, tapi cukup bersih. Memakai celana pendek warna hitam polos yang sedikit kebesaran. Kaos warna hitam dengan tulisan ‘Damn’ di bagian depan. Kulapisi kaosnya dengan hoddie yang tadi kupakai. Tak mungkin dengan tanpa BRA aku bisa biasa saja. Tentu akan mengundang pikiran-pikiran negatif.

Dia duduk memainkan benda tipis ditangannya. Ada dua gelas teh hangat diatas meja, sepiring bakwan jagung disamping gelas itu.

Dia tersenyum melihatku. “Pas juga ya ditubuh lo.”

Aku hanya nyengir. “agak kegedean dikit. Tapi masih bisa kukondisikan.”

Ngambilin segelas minum dan nyodorin ke aku. “Nih, biar anget.”

Aku menerimanya. “Makasih ya.” Lalu kuminum, hampir setengahnya. “Ini rumahmu?” dianya ngangguk tanpa natap aku. “Yang tadi itu, ibumu?” dia ngangguk lagi. Ngambil gorengan dan menggigitnya.

“Umur lo berapa?” tanyanya kemudian.

Aku mengerutkan keningku. Menatapnya heran. “Kenapa nanyain umur?”

“Penasaran.” Dia balas menatapku tajam, tatapan kami bertemu untuk beberapa detik.

Aku mengalihkan pandangan, tak mampu terlalu lama bertatapan dengan lawan jenis. “Aku 25 tahun.”

Dia tertawa kecil. “Nama lo siapa?”

“Audy.” Jawabku singkat.

“Nama lengkap lah.” Tanyanya lagi.

“Emang kenapa sih. Nanyanya bawel banget.” Aku mulai cemberut. Meraih gelas untuk kembali meminumnya.

“Biar besok pas ijab qobul gue ngucapnya lancar.”

“Uhuk...uhuk...uhuk.” aku tersendak karna kata-katanya yang nggak mutu ini. Kutatap dia dengan jengkel.

“Nggak usah bercanda ya. Aku lagi galau, jangan candain dengan pernikahanku yang gagal.” Kataku dengan kesal.

“Gue serius. Lima hari lagi kan elo nikahnya. Gue pasti datang gantiin calon lo yang nggak ada akhlak itu.”

Aku menatapnya tak percaya. Apa maksudnya coba?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel