Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

kembali kekost

“Gue mau gantiin calon lo yang nggak ada akhlak itu. Tunggu aja, lima hari lagi gue datang ke rumah lo.”

Ucapannya terngiang dikepala. Namanya Elang Prakosa, lelaki berumur 18 tahun yang saat ini masih duduk dibangku SMA. Tepatnya kelas 12 seumuran Aura, adikku. Yang benar saja aku akan menikah dengannya. Menikahi anak labil seperti dia. Umur kami pun berpaut cukup jauh.

Lamunanku buyar saat moge hijau Elang berhenti didepan rumah Lina. Aku turun dari motor, diam menatap rumah itu. Cukup ragu untuk melangkah masuk kedalamnya.

“Tungguin ya. Aku ambil barangku dulu didalam.”

Elang ngangguk, memiringkan kepalanya sambil tersenyum manis ala anak muda jaman sekarang. Tampan dia.

Segera kulangkahkan kaki memasuki teras. Belum juga mengetuk pintu, Lina sudah muncul dari balik pintu itu. Dia menatapku dengan iba. Lalu berhambur memelukku.

“Maafin aku Dy, aku beneran nggak tau tentang semua ini.” Ucapnya dalam pelukan.

Kuelus punggungnya pelan. “Santai aja Lin, aku nggak apa kok.” Sakit sebenarnya, tapi aku mampu menahannya. Tangisku sudah kering karna sedari tadi udah nangis.

Lina melepaskan pelukan. Menatap celana yang kupakai, aku yang tak memakai alas kaki dan hoddie yang kebesaran. Lalu beralih natap Elang yang masih nagkring diatas motor.

“Kamu pakai celananya dia?” nunjuk kearah Elang.

Aku tersenyum dan ngangguk. “Aku mau ambil tas yang tadi ketinggalan. Sorry nggak jadi bermalam dirumah kamu. Aku balik hari ini.”

“Ya udah bawa aja motornya Dy. Aku besok baliknya gampang.”

Aku geleng kepala. “Enggak Lin. Aku balik bareng Elang.”

Mata Lina membulat. “Dia?” kembali nunjuk Elang.

Aku ngangguk lagi. “Bisa minta tolong ambilin tasku?”

“Ii—iya bentar ya.” Lina masuk kedalam.

Tak begitu lama, Lian keluar. Sudah dengan baju santai. Wajahnya terlihat sangat terkejut menemukanku ada didepannya. Memegang kunci mobil, pasti dia akan pergi.

“Audy, kamu dari mana? Dari tadi aku nyariin kamu. Ponsel juga kamu tinggal.”

Aku diam tak menjawab pertanyaannya, sama sekali tak berniat untuk bicara dengan dia. Melihat wajahnya, rasa nyeri kembali mengerayap di relung hati. Sungguh untuk saat ini aku nggak sanggup menatapnya, aku nggak sanggup ngobrol sama dia.

Dia menarik lenganku, menggenggam tanganku lalu menciumnya. “Aku hanya mencintaimu Dy. Aku nggak mencintainya. Beri aku waktu beberapa bulan. Aku akan bercerai dan kembali menikah denganmu.”

Mataku membulat. Benar-benar sinting!! Kutarik tanganku dengan cepat.

“Nggak perlu!! Aku nggak butuh kamu nikahi. Aku bisa urus masalahku sendiri.”

Lina muncul diambang pintu. Segera kuraih tas ransel yang ada ditangan Lina.

“Dy, kamu nggak tau cerita lengkapnya. Semua nggak kaya’ yang kamu duga.”

“Aku nggak menduga apapun Li. Hubungan kita sudah berakhir saat kamu membohogi aku.”

Luna keluar, disusul dengan tante Linda, ibunya Luna dan Lina. Aku menatap Luna untuk sepersekian detik. Ada wajah ketakutan disana. Entah apa yang dia sembunyikan dariku.

Kutarik nafas sedalam-dalamnya. Aku mengulurkan tangan padanya. “Selamat ya Lun atas pernikahanmu. Semoga awet sampai maut memisahkan.” Ucapku sebiasa mungkin.

Wajah Luna, Lina dan tante Linda terlihat kikuk. Aku terkekek geli. Dasar pengkhianat.

“Makasih mbak.” Balasnya lirih.

Beralih aku menatap tante Linda. “Maaf ya tante, aku nggak bisa nginep disini. Aku pamit pulang.” Kucium punggung tangan wanita yang sudah sangat lama kukenal ini.

“Iya Dy, maafkan anak tante ya.” Dia meraih tubuhku. Memelukku, aku hanya diam tak membalas pelukannya. “Semoga kamu secepatnya menemukan kebahagiaan.”

“Amin.” Ucapku.

“Aku pamit ya, Lin.” Kulambaikan tangan dan segera pergi melangkah meninggalkan rumah itu.

Lian terlihat ingin menahanku, tapi dengan cepat Luna melingkarkan tangannya kelengan suaminya itu.

Elang langsung menyalakan mesin motor, dan membawaku pergi dari rumah itu. Aku diam dalam tangis, tak peduli dengan Elang yang berkali-kali melirikku lewat kaca spion. Hatiku benar-benar sangat hancur untuk sekarang.

“Kalo butuh sandaran, punggung gue siap kok.” Ucapnya sedikit menoleh agar aku mendengarkannya.

Ya memang saat ini aku sangat membutuhkan itu. Nggak perlu jawab apapun, aku melingkarkan kedua tangan diperutnya. Menyandarkan kepala dipunggung Elang dan menangis melepaskan semua sesak didada.

Perjalanan sekitar 4 jam kurang 15 menit, moge hijau Elang sampai di kontrakan yang sudah sejak lama kuhuni dengan Lina. Aku turun, berdiri disamping motor Elang.

“Yuk turun dulu, aku bikinin kopi.” Tawarku.

Kukira dia akan menolak dan memilih segera pergi. Namun salah, dia turun dan mendahului langkah kakiku. Langsung duduk dikursi teras, menyandarkan punggung dengan nyaman disana.

“Ada makanan nggak mbak? Gue lapar.”

“Cckk, dasar.” Umpatku lirih.

Dia terlihat cuek, ngambil ponsel dan mulai main game. Aku masuk, membuatkannya mie goreng instan dan segelas kopi.

“Ini kamu makan. Aku mau mandi bentar ya.”

“Ok.” Tanpa malu dia meraih sepiring mie goreng yang kusajikan dan mulai melahapnya.

Aku tak pedulikan bocah itu lagi. Segera masuk untuk membersihkan diri. Cukup lama dikamar mandi, setelah selesai aku keluar menemui Elang, masih dengan rambut yang terbungkus handuk.

“Eh kamu kelaparan ya.” Mie goreng dan kopi itu sudah tandas tak ada sisa.

“Iya, dari pagi belum makan.” Ucapnya. “Boleh ngerokok?”

Aku mendekik. “Enggak, kontrakanku nggak ada yang boleh ngerokok.”

“Iya deh, nurut tuan rumah.” Kembali dia ngambil ponsel, mencari posisi ternyaman dan mulai terdengar bunyi game dari ponsel itu.

“Lang, kamu sekolah dimana?”

“Di SMA Harapan. Bentar lagi juga udah lulus.” Jawabnya tanpa beralih dari layar ponsel.

“Kamu berangkat ke sekolah dari rumah?”

“Ya iya lah. Emang mau dari mana lagi.”

“Jauh banget Lang. Terus kamu berangkat jam berapa dari rumah?”

“Eh,” dia natap aku. Mematikan ponselnya. “Enggak, maksud gue dari rumahnya paman yang Cuma dekat sama sekolahan.”

Aku ngangguk. “Oh gitu.”

“gue besok datangnya kealamat mana?” tanyanya sambil natap aku.

Aku diam sesaat, sebenarnya masih bingung. Mikirin reaksi keluarga dan para tamu undangan yang kaget karna nama mempelai pria beda sama yang di kertas undangan.

“Kenapa? Ragu sama gue?” dia mencibikkan bibirnya. “Emang ya gue masih sekolah, masih bocah. Tapi gue bisa bertanggung jawab sama apa yang udah gue omongin. Lo bisa pegang janji gue. Pasti gue bahagiain elo, nggak akan gue biarin lo nyesel nikah sama gue.” Kata-kata yang sangat meyakinkan.

Tapi entah, aku belum bisa yakin. Saat ini aku nggak bisa berfikir lain. Hanya bisa nerima dia. Ya hanya itu pilihanku.

Dia nyodorin ponselnya. “Nih, tulis nomor lo. Besok kita kangen-kangenan lewat hape.”

“Iihh dasar.” Aku tertawa kecil mendengar kata-katanya. Kutulis nomorku di layar ponselnya. Lalu kukembalikan setelah selesai menulis.

“Emang kamu nggak punya pacar disekolah?”

Dia geleng kepala. “Enggak, gue nggak pernah pacaran.”

“Aku bebasin kamu Lang. Walau kita udah nikah, kamu bebas kok. Aku nggak akan ngekang.”

“Nah siip tuh. Gue paling suka kebebasan.” Kembali dia asik dengan ponselnya.

Apa bakalan kek gini ya suasana nikah sama bocah? Makan ati dong ya. Huufftt aku menghembuskan nafas dengan kesal.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel