BAB : 7
kaca mobil hingga si pemilik mobil yang ada di dalamnya, keluar.
"Heh! Apa-apaan ini!" bentaknya di hadapan Dira.
"Reino! Kamu yang apa-apaan! Bisa-bisanya ciuman sama cewek lain di dalam mobil, aku ini pacar kamu!" balas Dira.
"Hah, pacar," ucap Reino sambil tertawa licik. "Aku kan udah bilang waktu itu. Dira, kamu mau nggak jadi pacar aku, mumpung hatiku belum ada yang ngisi. Tapi lihat sekarang, hatiku udah ada yang ngisi," tunjuknya ke arah cewek yang masih duduk di dalam mobil.
"Kamu benar-benar keterlaluan ya, Rei," geram Dira.
"Ya, itu bukan salahku, sih. Kamunya aja yang terlalu polos."
'Plakk!!'
Dira langsung menampar pipi Reino, kemudian berlalu pergi. Setidaknya ia sudah melampiaskan kemarahannya dengan sebuah tamparan.
Dira kembali ke mobilnya. Ia yang tadinya berniat untuk belanja, sekarang malah kembali menuju rumahnya. Hidupnya menjadi tak karuan.
"Loh, Non udah balik lagi?" tanya bibik yang berpapasan dengannya saat hendak ke kamar.
"Aku mau istirahat, jangan ada yang gangguin," pesan Dira dengan tegas.
"Baik, Non," balas bibik sambil mengangguk.
Mungkin Dira baru saja sampai di kamarnya, tiba-tiba bel berbunyi. Bibik yang berada di dapur segera menuju pintu utama untuk membukakan pintu.
"Malam, Bik," sapa seseorang yang berada di balik pintu.
"Eh, Den Leo. Mau ketemu sama Non Dira ya," tebak bibik. Ya iyalah, Bik. Masa iya mu ketemu Bibik.
"Iya, Bik. Ada, kan?"
"Ada, Den. Tapi barusan sih, Non pesennya nggak boleh ada yang ganggu," terang bibik. "Tapi, Bibik coba dulu ya, Den." Bibik segera menuju ke kamarnya Dira.
"Non, ada yang mau ketemu," teriak Bibik menggedor-gedor pintu kamar.
Jelas saja itu membuat Dira kesal. Padahal ia sudah berpesan supaya tak mengganggunya. Tapi baru beberapa menit pesan itu disampaikannya, sekarang sudah dilanggar oleh Bibik.
'Ceklek'
"Bibik! Nggak denger, tadi aku bilang apa?"
"Tapi, ini yang datang tu Den Leo, Non.'
Dira sangat ingin menemuinya, tapi ia kembali menyadari kalau hubungannya dan Leo telah berakhir. Jadi, nggak ada yang namanya pertemuan lagi. Cukup hanya sekedar hubungan dosen dan mahasiswi.
"Aku nggak mau ketemu dia. Suruh saja dia pulang."
"Tapi, Non. Kayaknya Den Leo lagi ..."
Tanpa menunggu perkataan Bibik hingga selesai, Dira langsung saja menutup pintu kamarnya.
"Ya ampun, jantung saya berasa mau copot," gumam Bibik yang kaget mendengar suara hempasan pintu yang tertutup.
Bibik kembali turun ke bawah menemui Leo yang masih berdiri di depan pintu. Ia berusaha kuat untuk berdiri tegak, padahal saat itu rasanya tubuhnya sudah tak kuat lagi untuk berdiri kalau saja tak ia paksakan.
"Maaf, Den. Tapi, Non Diranya nggak mau ketemu sama Den Leo," ujar Bibik merasa tak enak.
"Gitu ya, Bik," balas Leo. "Oiya, Bik. Saya boleh minta air putihnya nggak, Bik," pinta Leo pada Bibik.
"Iya, Den. Bibik ambilin dulu." Bibik segera menuju ke dapur untuk mengambil air, karena menurutnya Leo memang sedang sakit. Wajahnya terlihat sangat pucat dan lesu.
Saat itulah, Leo mengambil kesempatan untuk segera menuju ke kamar Dira. Setibanya di depan kamar Dira, ia mengetuk pintu.
"Bibik, aku kan udah bilang kalau aku nggak mau ketemu sama dia!" teriak Dira di dalam kamar.
Leo kembali mengetuk pintu, berharap Dira segera membukakan pintu untuknya. Karena saat ini, ia merasa sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya. Bahkan pandangannya sudah mulai mengabur.
"Dira," panggil Leo.
Tak berapa lama, pintu di buka dari arah dalam. Seiring dengan robohnya Leo karena memang sudah lemah. Untung saja saat itu Dira berada di depannya, hingga ia tak jadi merosot ke lantai.
"Leo, kamu kenapa?"
Dira langsung panik dengan keadaan Leo yang suhu tubuhnya memang sangat panas, saat bersentuhan dengan kulitnya. Bahkan hembusan napasnya di dekat wajah Dira terasa panas.
Dira segera membopong tubuh Leo ke atas tempat tidur. Setelah itu, ia langsung keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil handuk dan air untuk mengompres.
"Non, lagi ngapain?" tanya bibik yang melihat Dira yang panik.
"Leo, badannya panas banget, Bik," jawab Dira.
"Den Leo? Kirain barusan udah pergi. Herannya tadi kenapa mobilnya masih di depan," ucap bibik. "Makanya Bibik tadi mau bilang sama Non Dira, kalau Den Leo kayaknya lagi sakit. Tapi Non nggak mau dengerin Bibik dulu, dan malah nggak mau ketemu," terang Bibik pada Dira.
Dira tak berkomentar apa-apa. Ia akui, kalau itu salahnya. Harusnya tadi menemui Leo dulu. Padahal, sudah tahu kalau Leo lagi sakit.
"Bibik buatin bubur ya, Non," ujar bibik.
"Iya, Bik," jawabnya.
Setelah mendapatkan yang dibutuhkan, Dira segera menuju ke kamarnya lagi.
"Kamu jadi sakit pasti gara-gara semalem, ya," gumam Dira sambil mengompres dahi Leo.
Leo terus mengigau nggak jelas, mungkin itu dari efek demamnya.
"Non, ini buburnya," ujar bibik yang berdiri di pintu kamar Dira sambil menenteng baki berisi semangkuk bubur dan air minum. Kebetulan pintu kamar Dira tak tertutup.
"Bawa sini, Bik," pintanya.
"Gimana, Non. Panasnya udah redaan belum?" tanya bibik sambil meletakkan baki di atas meja.
"Udah, dikit sih, Bik."
"Ntar juga redaan. Mending, sweaternya Den Leo dilepas aja, Non. Biar panasnya bisa keluar, nggak mengendap," jelas bibik memberi saran.
"Oke, Bik,"
"Ya udah, Non. Bibik keluar dulu."
Dira sepertinya akan mengikuti saran bibik. Ia melepaskan sweater yang melekat di badan Leo.
"Maaf, ya. Aku nggak sopan melepas pakaianmu, Pak dosen," ucap Dira bicara sendiri, tapi tertuju pada Leo.
Sudah satu jam'an Dira menunggu Leo sadar, sampai ia terlelap di samping Leo. Apalagi saat ini lagi hujan, itu membuat matanya semakin mengantuk saja.
"Dira," panggil seseorang lirih, tapi Dira bisa mendengar panggilan itu dengan jelas. Matanya langsung melek seketika itu juga.
"Leo, kamu udah sadar. Apa yang kamu rasain? Mana yang sakit? Apa masih pusing? Masih panaskah?" tanya Dira sambil memegangi dahi Leo.
Leo tak menjawab satupun pertanyaan yang diajukan Dira. Ia malah langsung menarik Dira ke pelukannya.
"Aku rela sakit seperti ini, asalkan bisa di perhatikan sama kamu, Ra," ucap Leo masih memeluk Dira.
Dira masih bisa merasakan sedikit suhu panas yang berasal dari tubuh dan nafas Leo yang berhembus di lehernya.
"Leo, aku ..."
Dira hendak melepaskan diri dari pelukan Leo, tapi Leo malah menahannya.
"Sepertinya, aku harus sakit dulu, agar bisa mendapatkan moment ini," ucapnya.
"Aku tak ingin kamu sakit."
"Tapi kamu sudah berhasil membuat hatiku patah. Dan asal kamu tau, itu rasanya sangat sakit," jelas Leo.
Dira yang tadinya hanya menerima pelukan dari Leo. Mendengar pernyataan Leo membuat hatinya bergetar dan langsung mengeratkan pelukan di tubuh Leo.
"Kamu tau, kalau aku juga tak ingin melakukan itu. Tapi ..."
"Tapi kamu tak mau memperjuangkan hubungan kita, Ra. Kamu lebih rela melepaskanku begitu saja," timpal Leo.
"Aku bukanlah wanita yang kuat."
"Ya, wanita memang makhluk yang tergolong lemah. Karena tekad dan keinginannya mendapatkan sesuatu, kadang membuat mereka harus kuat."
Dira mulai mencerna ucapan yang di lontarkan Leo.
Leo mulai melepaskan Dira dari pelukannya. "Tapi, sepertinya semua sudah terlambat. Kamu sudah menjadi milik laki-laki lain, dan kamu juga sudah memaksaku untuk menjadi milik wanita lain," terang Leo tak bersemangat.
"Hubunganku dan Reino sudah berakhir."
"Kenapa? Bukannya dia jauh lebih baik dariku."
Dira menganggap perkataan Leo lebih tertuju pada sebuah sindiran untuk dirinya.
"Kamu tau, siapa yang terbaik untukku. Ya itu kamu, Leo."
Leo yang tadinya masih rebahan, kini ia mencoba untuk bangun dan duduk berhadap-hadapan dengan Dira. Meskipun kepalanya masih berdenyut pusing.
"Kamu tau. Mati karena berperang, itu sungguh membanggakan. Di bandingkan, tetap hidup, tapi lari dari peperangan. Itu lebih memalukan," jelas Leo.
"Hei, ini bukan peperangan,"
"Ini perang dengan kenyataan, Dira. Kamu harus paham itu."
Dira hanya diam tak bergeming lagi. Setiap perkataan yang diucapkan Leo, membuatnya semakin merasa bersalah.
Leo segera bangkit dari duduknya. "Terima kasih, kamu sudah memberikan kesempatan untukku menikmati moment singkat ini. Sepertinya, aku memang sudah tak pantas lagi untukmu."
"Tunggu," ucap Dira menahan Leo yang hendak berlalu pergi.
"Aku nggak mau, tertipu untuk kedua kalinya. Saat aku sudah berharap, ternyata malah ... “
