Bab 8 Setitik Harapan dan Bom Waktu
Siang telah berganti menjadi malam yang gelap gulita hanya ada rembulan dan bintang-bintang yang bertebaran di atas sana.
Zia duduk di samping Keyla dengan wajah tertekuk. Rasanya kini Zia ingin berteriak di depan Davas meluapkan semua rasa sakit hatinya. Malu, gara-gara kelakuan dua pria itu tadi pagi membuat banyak karyawan berbisik-bisik tentangnya.
Hanya Keyla yang selalu senantiasa berada di sisinya. Jonas, entahlah pria itu seakan menghilang ditelan bumi setelah melakukan keributan di acara perlombaan.
“Ayo di makan,” suara itu menghamburkan Zia dari lamunannya.
‘Aku memang salah mencintaimu. Tapi mengapa kau tidak bisa menghargai perasaanku sedikit saja.’
“Zia, ayo makan,” ucap Keyla lembut sambil mengusap bahu Zia pelan.
Zia mengalihkan pandangnya menatap Keyla dalam diam lalu tersenyum.
“Kalau lu lelah, berhentilah Zia,” bisik Keyla pelan lalu beralih menyantap makannya tanpa menunggu jawaban dari Zia yang kini kembali memasang wajah ditekuk.
Selama makan malam berlangsung Zia lebih memilih diam sedangkan yang lainnya sibuk mengobrol dan bercanda gurau.
Tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang menepuk pelan bahu Zia, sehingga membuat Zia mendongakkan wajahnya yang langsung bertatapan dengan wajah pria yang ia cintai.
“Ada apa Pak?” tanya Zia sopan dengan menegakkan tubuhnya dari posisi duduk.
Davas memasang wajah datarnya. Tidak menjawab, ia malah menarik tangan Zia tanpa peduli akan tatapan karyawan lain yang melihat perlakuannya terhadap Zia.
“Ada apa Pak?” tanya Zia setelah mereka berada di tempat yang lumayan sepi.
“Jangan dekat-dekat sama Jonas,” ucap Davas datar dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Zia diam. Keningnya sudah benar-benar berkerut, tidak mengerti arah bicara bosnya ini.
“Maksud Bapak?” tanya Zia lembut dengan menatap lekat manik mata Davas yang tampak sendu.
“Kamu itu tuli atau apa ya! Setiap saya ngomong kamu selalu gak mengerti. Intinya saya gak mau kamu dekat-dekat dengan Jonas,” ucap Davas dengan tatapan mata elangnya membuat Zia merasa tertekan.
“Maaf sebelumnya Pak, tapi Bapak tidak ada hak melarang saya harus bergaul sama siapa saja,” balas Zia dengan nada yang kurang bersahabat, membuat Davas mengeratkan tangannya kuat-kuat.
“Kamu mau saya pecat!” ucap Davas dengan rahang mengeras.
“Tolong ya Davas, kamu gak bisa ngelarang aku sesuka kamu, kamu tidak memiliki hak apapun. Lagian ini tidak ada menyangkut dengan masalah kantor,” balas Zia tidak mau kalah dengan suara yang lebih tinggi.
“Jauhi dia dan saya akan pikirkan tentang rasa cinta kamu sama saya,” ucap Davas lantang lalu meninggalkan Zia yang tengah mematung di tempatnya setelah mendengarkan ucapan Davas barusan.
Cukup lama Zia mematung lalu seulas senyuman tercetak jelas di wajahnya.
Pagi yang sangat cerah membuat Zia sudah bersiap dengan celana selutut di perpadukan kaos panjang yang hampir menutupi seluruh tangannya.
“Gue joging dulu ya,” bisik Zia pelan tepat di telinga Keyla yang masih terlelap dalam tidurnya.
Zia melangkahkan kakinya gontai menuruni anak tangga. Tanpa Zia sadari ada sepasang mata yang mengamatinya sadari tadi.
Setelah keluar dari dalam Villa. Zia mulai melangkahkan kakinya lebih cepat atau lebih tepatnya berlari kecil.
Bruk
Zia tersungkur dengan tangannya yang menopang bobot tubuhnya agar tidak bersentuhan dengan aspal yang kasar dan pastinya dapat membuat tubuh tergores.
Zia mendongakkan wajahnya dengan kesal melihat sosok seseorang yang mengenakan jaket kebesaran dengan penutup kepala serta masker hitam menutupi wajahnya.
Zia menegakkan tubuhnya tanpa bantuan orang di hadapannya saat ini, yang diyakini Zia adalah seorang pria.
“Lu gak punya mata ya!” ucap Zia ketus sambil menatap tajam sosok pria di harapannya.
Pria itu menurunkan penutup kepalanya dan menarik kasar masker hitam yang ia kenakan. Zia yang melihat siapa sosok pria di hadapannya kini membulatkan matanya dengan sempurna.
“Davas?!”
“Hm,” gumamnya pelan menanggapi panggilan Zia yang tampak terkejut.
“Kamu kok bisa di sini?”
Bukannya menjawab Davas malah menautkan jari-jarinya disela-sela jari Zia dengan sangat erat.
Zia yang merasa Syok kembali membulatkan matanya sempurna dan menatap Davas tidak percaya.
“Davas?” panggil Zia lirih. Bukannya menjawab Davas malah menarik tangan Zia mengikuti gerakannya berlari-lari kecil.
***
Di sinilah mereka sekarang berada. Di dalam pesawat Korean Air Keberangkatan menuju Jakarta.
Hal yang sangat melelahkan untuk menunggu beberapa jam di dalam pesawat.
Kini Zia tengah asik mendengarkan musik sedangkan Davas lebih memilih sibuk dengan gadget di tangannya dan Jonas lelaki itu memilih berada di pojok yang jaraknya cukup jauh dari tempat Zia dan Davas berada.
Sekitar satu jam di dalam pesawat. Perut kecil Zia sudah meronta-ronta meminta diisi. Davas yang mendengar suara perut Zia hanya dapat terkekeh kecil lalu memanggil salah satu Pramugari untuk membawakan makanan untuk Zia.
“Makan yang banyak,” ucap Davas lembut lalu mengusap rambut Zia pelan. Membuat detak jantung Zia berdetak tidak beraturan.
Zia hanya bisa tersenyum tipis menanggapi ucapan Davas. Selama Zia menyantap makanannya, ia selalu merasa tidak tenang karena sedari tadi mata biru milik Davas tidak pernah sedetik saja tidak memperhatikan gerak-geriknya.
“Hmm.”
“Kenapa?” tanya Davas cepat dengan mengambil cepat jus jeruk lalu menyodorkan tepat di hadapan Zia.
Zia mengerutkan dahinya hingga berlipat- lipat. “Cepatlah minum, bukannya tadi kamu keselek,” ucap Davas dengan polosnya.
Zia mengiris melihat tingkah laku seorang pengusaha ternama bersikap sebodoh ini.
Tidak ingin membuat Davas terlihat bodoh, membuat Zia segera mengambil ahli gelas yang disodorkan Davas lalu meneguknya secara perlahan.
“Terima kasih,” ucap Zia pelan setelah selesai meneguk seluruh air yang berada di dalam mulutnya.
Davas tersenyum dengan tatapan lembut. Membuat mata Zia tidak dapat berpaling ke lain arah.
“Aku mencintaimu,” ucap Zia pelan lalu di tanggapi Davas dengan usapan lembut di kepalanya.
Sekitar 6 jam penerbangan. Membuat otot-otot Zia terasa kaku. Yang bisa ia lakukan hanya duduk di kursi yang cukup lebar, memainkan gadgetnya, membaca majalah yang sebenarnya tidak menarik sama sekali, dan hal kecil lainnya, membosankan.
“Ayo?” ajak Davas dengan mengulurkan tangan kanannya.
Zia masih mematung pada tempatnya dengan menatap nanar tangan Davas di hadapannya kini.
“Ayo?” ajak Davas lagi dan langsung menautkan tangannya disela – sela jari Zia.
“Lebih baik kita jalan masing-masing aja Dav, gak enak kalau dilihat sama yang lain,” ucap Zia lirih dengan menundukkan kepalanya.
“Biarin aja. Kamu kan pacarku,” balas Davas cepat dan langsung menarik tangan Zia hingga sampai Boarding Area, Zia bisa melihat banyak karyawan yang memandangnya sinis, terutama fans-fans Davas di kantor.
Zia melepaskan tangan Davas pelan, namun Davas langsung menatap tajam ke arah Zia.
“Zia?”
Zia mengalihkan pandangannya, di mana ia dapat melihat Jonas berdiri tidak jauh darinya dengan memamerkan senyumannya.
Jonas melangkahkan kakinya mendekat, sepasang mata Davas tidak bisa berhenti menatap sinis ke arah Jonas yang tampak mengabaikannya.
“Pulang bareng yuk? Keyla juga bareng kita kok,” tawar Jonas dengan mengumbar senyumannya.
Belum sempat Zia membuka mulutnya, Davas sudah lebih dulu mengeluarkan suaranya.
“Lebih baik Anda pulang sama Keyla saja biar Zia pulang sama saya,” ucap Davas tajam dengan penuh penekanan.
Jonas mengalihkan pandangannya menatap Davas dengan tajam.
“Memang Anda siapanya Zia, bisa ngatur sesuka Anda!” ucap Jonas sarkastis.
“Oh, sepertinya Anda belum tahu kalau Zia itu kekasih saya mulai sekarang,” balas Davas dengan tersenyum miring.
Jonas diam sejenak, kemudian ia menatap Zia dengan penuh tanda tanya.
“Maaf ya Jo, kamu pulang bareng Keyla aja ya, biar aku sama Davas,” ucap Zia dengan seulas senyuman yang terkesan terpaksa.
Jonas tertawa hambar, namun dengan cepat juga ia menganggukkan kepalanya.
“Oke, kamu pulang bareng Pak Davas aja, hati-hati ya,” ucap Jonas sebelum menghilang dari hadapan mereka.
“Aku gak suka sama dia,” celetuk Davas membuat Zia menoleh ke arah Davas yang kini tengah menatap lurus ke depan.
“Sudahlah Dav, dia cuma teman aku aja kok,” balas Zia lembut.
“Aku merasa dia itu akan menjadi bom atom suatu saat nanti dalam hubungan kita,”
Zia hanya mampu tersenyum dalam diam. ‘Entahlah, mungkin firasat kamu memang benar Dav,’
Bersambung...
